Tivanusantara – PT Wana Kencana Mineral (WKM), salah satu perusahaan tambang nikel di Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara, yang diduga tak miliki izin reklamasi, sudah diketahui publik luas. Banyak pihak bahkan geleng-geleng kepala ketika tahu PT WKM sudah kantongi izin terminal khusus (tersus) tanpa ada izin reklamasi.

Dari sekian dugaan pelanggaran yang dilakukan PT WKM tersebut, Anatomi Pertambangan Indonesia dukungan penuh terhadap langkah-langkah penegakan hukum yang tegas, terbuka, dan tidak diskriminatif dalam menangani kasus ini.

Direktur Riset dan Opini Anatomi Pertambangan Indonesia, Safrudin Taher menuturkan, informasi bahwa PT WKM melakukan aktivitas produksi tanpa mengantongi izin reklamasi beredar luas, sehingga aparat penegak hukum tidak boleh lagi mendiamkan kasus tersebut. Bagi dia, ini adalah pelanggaran yang jelas terhadap ketentuan perundang-undangan di sektor pertambangan dan lingkungan hidup. Lebih memprihatinkan, perusahaan ini diduga telah mengantongi izin terminal khusus (tersus) meski belum memenuhi kewajiban reklamasi. Bila terbukti, hal ini tidak hanya mencerminkan lemahnya pengawasan, tetapi juga membuka celah praktik penyimpangan tata kelola sumber daya alam.

Pemberian izin tersus tanpa dasar yang sah, terutama tanpa pemenuhan izin reklamasi, patut dicurigai sebagai bentuk kelalaian administratif, atau bahkan dugaan penyalahgunaan wewenang yang harus diusut secara menyeluruh. Tidak tertutup kemungkinan adanya keterlibatan oknum pejabat di kementerian/lembaga terkait, yang wajib dimintai pertanggungjawaban hukum.

Selain itu, berdasarkan putusan Mahkamah Agung, Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (KPT) telah dicabut dan dialihkan kepada PT WKM. Dalam proses hukum yang sama, sebanyak 300 ribu metrik ton bijih nikel ditetapkan sebagai sitaan negara. Namun ironisnya, pada tahun 2021, PT WKM justru diduga secara diam-diam telah menjual 90 ribu metrik ton dari bijih nikel tersebut — tindakan yang patut diduga sebagai pelanggaran pidana terhadap aset negara.

“Dari aspek lingkungan dan kewajiban reklamasi, Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui Surat Nomor 340/5c./2018 telah menetapkan Jaminan Reklamasi Tahap Operasi Produksi 2018–2022 dengan total nilai sebesar Rp13.454.525.148. Namun, hingga kini, PT WKM hanya melakukan satu kali pembayaran jaminan reklamasi, yaitu pada tahun 2018 sebesar Rp124.120.000, jauh di bawah kewajiban yang telah ditetapkan,” ujarnya.

Menurut Safrudin, fakta-fakta yang sudah terungkap itu semakin menegaskan adanya kelalaian serius dan dugaan pelanggaran berlapis yang dilakukan oleh PT WKM, baik terhadap kewajiban lingkungan, kepemilikan aset negara, maupun integritas sistem perizinan nasional.

“Maka kami mendesak Kepada Polda Maluku Utara dan Kejaksaan Tinggi, agar mengusut tuntas dugaan pelanggaran perizinan, termasuk indikasi penjualan ilegal 90 ribu metrik ton bijih nikel yang sebelumnya merupakan aset sengketa antara PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (KPT) dan PT WKM. Kepada Kementerian ESDM dan Kementerian Perhubungan, agar memberikan penjelasan resmi kepada publik terkait dasar penerbitan izin terminal khusus kepada PT WKM. Transparansi dalam proses ini penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat,”harapnya.

Ia juga meminta ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP), agar melakukan audit investigatif terhadap proses peralihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan kepatuhan reklamasi di wilayah Halmahera Timur.

“Kami meyakini bahwa hanya dengan penegakan hukum yang konsisten, transparan, dan bebas intervensi, sektor pertambangan Indonesia dapat dibangun secara berkelanjutan, adil, dan berpihak pada kepentingan masyarakat serta kelestarian lingkungan,” tutupnya tegas. (xel)