Oleh: Tirta Wowotubun

Ketua HMI Komisariat Non-Eksakta UNNU Cabang Tidore

_______________

TULISAN ini saya tulis bukan berlandaskan pada teori, uraian data ataupun kerapian argumentasi. Tulisan ini sebagai teks provokasi guna menghadirkan kembali spirit-spirit perjuangan mahasiswa sebagaimana fitrah seorang mahasiswa itu sendiri.

Dengan melihat realitas yang ada tentang berbagai macam problematika yang kian marak, ketidakadilan sosial, dalam aspek ekonomi, politik hingga hukum, tak hanya itu banyak kita temui kriminologi hijau dengan sistem kapitalisme yang mengakar hingga kepada para birokrasi juga pemangku kepentingan. Borjuis makin kaya sedangkan proletariat yang kian melarat. Tatkala dari sekian banyaknya masalah, dimana posisi mahasiswa sekarang?.

Kadang di antara mereka (mahasiswa) ada yang manja, takut sekaligus gembira, tapi juga kadang ada yang pemberani, nekat dan romantis. Juga ada yang tampak saleh, lugu dan begitu taat. Dari banyak tipe mahasiswa yang kita temui dengan berbagai sikap dan pola pikir yang beragam, maka dengan apa kita bisa menghadirkan eksistensi dari semangat perjuangan. Ingin kutanyakan kepada kalian mahasiswa yang sedang membaca tulisan ini, apalagi yang dapat membuat kalian bergerak? Jika perekonomian dikuasai bangsa asing maka kemiskinanlah akibatnya, katakan pada saya kesejahteraan apa yang dihadirkan di tempat di mana tambang digali? Sebut apakah ada kemakmuran tempat dimana hutannya dijarah? Dan tolong beritahu kepadaku, apa keamanan tempat dimana perkebunan dibuka dan tanah adat diambil paksa? Kita semua tahu mereka mencoba untuk menjadi pahlawan devisa karena memang minimnya lapangan pekerjaan di sini. Semuanya direbut dan diambil oleh asing dengan menggunakan penguasa sebagai kaki tangannya.

Untuk apa fakultas pertambangan, kedokteran hingga teknik dibuka puluhan tahun jika ladang kerja dikelola oleh asing. Sebab pada ujungnya mereka jadi budak yang diajak merampok kekayaan alam sendiri. Apa gunanya membuka pendidikan hukum kalau yang muncul adalah jual beli keadilan. Sudahilah kenangan masa-masa heroik pada tahun 1966, 1974 hingga 1998. Sudah saatnya untuk kita bangkit dan melawan.

Biarkan tulisan ini menjadi inspirasi guna membakar kesesatan berpikir di kalangan mahasiswa. Dalam sangkar yang terkucil dari jerit rakyat itulah kalian belajar. Buku, ceramah dan kegiatan akademik tak mampu mengangkat nyali kalian. Semua tahu pada akhirnya kalian hanya jadi barisan sarjana yang mengabadikan penindasan. Kemudian tahu-tahu kalian berada bersama para jahanam, hidup bersama mereka bahkan bekerja untuk mereka.

Jadi bagaimana penindasan itu diputus? Tak ada cara lain kecuali membangkitkan kembali gerakan. Bukankah pada saat ospek, kata pembawa perubahan selalu dikumandangkan? Lantas situasi dan kondisi apa yang telah diubah? Ataukah masih ada yang tunduk pada keadaan? Sebab banyak pengecut yang memilih bersikap menjilat dan diam sebagaimana disebut oleh Nietzche-mayat berjalan yang disiram parfum.

Che Guevara memberi tauladan bagaimana sarjana kedokteran dapat mendirikan negeri tangguh bernama kuba. Atau bahkan Ali Syariati yang telah menuliskan citra intelektual sekaligus dosen progresif. Melalui ide-idenya revolusi iran ditancapkan akarnya. Juga Soekarno yang kala muda mampu mengangkat ide kemerdekaan hingga jadi kebutuhan massa.

Lantas sekarang apa yang bisa kita banggakan pada para pejabat kita? Apakah ada dari mereka yang meminta maaf jika terjadi kesalahan? Sanggupkah Menteri Pertanian mundur jika panen petani gagal? Bahkan mampukah anggota parlemen mohon ampun karena memboroskan anggaran? Semua itu adalah harapan berupa mimpi.

Maka atas dasar kezaliman yang membudaya, mahasiswa mesti hadir untuk menumpas habis itu semua. Meski banyak yang terbalut oleh ketakutan, kekhawatiran. Ingat perjuangan pasti dihiasi oleh pemukulan, penangkapan bahkan berujung pada kematian, namun biarkan api perjuangan itu berkobar seperti halnya api yang membakar hangus pedagang kaki lima di Tunisia karena tidak tahan atas ketidakadilan yang ada. Sebab konsekuensi dari hidup hanya satu dan itu mati, maka pilihannya adalah menjadi pejuang atau pecundang. Berjuang sampai mati atau diam sampai mati.

Jika ditinjau dari jejak historis, banyak pahlawan pada masa lampau walaupun kini-beberapa di antaranya bersalin rupa menjadi pecundang: menghiasi parlemen tanpa proposal perubahan yang berarti. Sebagian malah memilih bersekutu dengan para penguasa dan penjarah alam. Ikut serta merampok kedaulatan negeri ini dengan dalih nista: memperkuat demokrasi dan melonjakan pertumbuhan ekonomi. Hanya sedikit di antara mereka yang masih memilih berada bersama massa tertindas dan menjadi pembela hak-hak yang ditindas. Maka masa depan bangsa terdapat pada mahasiswa yang berupa representasi dari kaum muda.

Tengok Mesir yang berguncang karena suara massa kaum muda. Kepalan tangan mereka dan bersatunya banyak kekuatan telah mengusir sang presiden. Hal yang sama terjadi di Prancis, di mana mereka mampu meruntuhkan pemerintahan dengan sistem monarki absolut itu. Bahkan Turki, Brazil dan Portugal. Dimana aksi massa telah mengguncang dengan keras tatanan politik. Segera nasib penguasa mereka sama; lari tunggang langgang!.

Lantas apa yang masih membuat kalian diam? Setelah melihat segala macam kejahatan yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Para korporasi yang dilindungi penegak hukum menciptakan kerusakan di mana-mana. Yang melawan ditangkap, pergerakan dicegat, suara dibungkam bahkan bersorak pada keadilan yang diperjualbelikan. Mau contoh yang seperti apa lagi? 11 orang yang ditangkap hanya karena tidak mau tanahnya dirusak. Pembelaan keluar dari mulut yang berdosa, membela mati-matian mereka yang memiliki modal. Lantas apa yang membuat gerakan tak bangkit? Apakah tunggu sampai hutan kita di babat habis? Ikan berubah menjadi nikel? Sampai pada kebijakan untuk memiskinkan mereka yang tertindas? Bangkit kawan. Bangkitlah dan melawan.

Sekali lagi penulis ingin katakan bahwa tulisan ini adalah sebagai provokasi bukan data, uraian teoritis dan kerapian argumentasi; melainkan sebisa mungkin tulisan ini dibaca dalam posisi aksi: berdiri di bawah siraman cahaya matahari, dihadiri oleh lautan massa dan dikelilingi barisan polisi. Marilah kita bangkitkan lagi keberanian yang sudah tenggelam dan sampaikan pesan tegas pada massa: waktunya kita bangkit dan melawan. (*)