Tivanusantara – Polisi dari Polda Maluku Utara dan Polres Ternate berhasil membubarkan ratusan mahasiswa yang menggelar aksi di Mapolda, Senin (26/5). Polisi beralasan mahasiswa sudah melewati batas waktu demonstrasi. Massa aksi dibubarkan tepat pada pukul 18.00 lewat beberapa menit. Kapolres Ternate, AKBP Anita Ratna Yulianto menuturkan, beberapa saat sebelum langkah pembubaran dilakukan, pihaknya sudah lebih dulu mengingatkan mahasiswa agar demonstrasi hanya berlangsung hingga pukul 18.00.
Sebagaimana diketahui, pada aksi tersebut, mahasiswa mendesak Polda Maluku Utara agar membebaskan 11 warga Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara yang telah ditahan beberapa pekan lalu. Mereka ditahan karena dituduh melakukan tindakan premanisme saat melakukan aksi protes terhadap aktivitas salah satu perusahaan tambang yang diduga semena-mena.
Kepada massa aksi, Kapolres menyampaikan bahwa tuntutan mahasiswa tersebut tidak serta langsung diakomodir. Apalagi penyidik telah dua alat bukti yang cukup terkait dengan tindakan 11 warga yang mengarah ke kriminalitas. “Kalau massa aksi tidak terima dengan hal ini, maka silakan dilakukan praperadilan. Bukan dengan cara seperti ini,” ujar Anita.
Sementara koordinator aksi, Mujahir, menyatakan pihaknya akan melakukan konsolidasi massa untuk melakukan aksi lanjutan dengan tuntutan bebaskan 11 warga yang ditahan tanpa syarat. “Kami tetap menuntut agar 11 warga yang membela haknya yang kini ditangkap agar segera dibebaskan. Ini tuntutan kami dan akan terus melakukan aksi lanjutan,” tegasnya.
Pantauan di lapangan, pembubaran aksi ini sempat terjadi ketegangan. Polisi dan massa aksi saling dorong dan terjadi saling kejar. Beruntung ketegangan ini cepat dilerai dan massa aksi membubarkan diri dengan tertib.
Proses hukum
Polda Maluku Utara benar-benar serius memproses hukum 11 warga Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara, yang melakukan aksi protes atas dugaan tindakan semena-mena salah satu perusahaan tambang. Penyidik Polda menetapkan 11 warga itu sebagai tersangka dengan tuduhan tindakan premanisme lantaran diduga menbawa senjata tajam saat melakukan aksi beberapa waktu lalu.
Sementara itu, gelombang protes terhadap Polda Maluku Utara terbilang kian membesar. Pada Senin (26/5) dari pukul 15.00 hingga 18.00, ratusan mahasiswa menggelar aksi di depan Mapolda, menuntut supaya 11 warga itu dibebaskan. Bagi massa aksi, yang dilakukan 11 warga itu bukan tindakan premanisme, tetapi sebagas menuntut agar hak-hak mereka dipenuhi perusahaan tambang. Justru, kata massa aksi, perusahaan tambang lah yang melakukan tindakan semena-mena di Halmahera Timur.
Ratusan massa aksi yang menamakan diri aliansi peduli masyarakat Maba itu menggelar aksi dengan cara duduk lesehan dan membentangkan spanduk tuntutan di jalan raya depan Mapolda. “Kami minta bebaskan 11 warga yang ditahan, sebab mereka bukan pelaku kriminalitas, mereka menyuarakan hak atas tanah mereka yang dicaplok perusahaan,” teriak salah satu massa aksi.
Aksi ini digelar sejak pukul 15.00 WIT hingga sore ini. Dalam tuntutannya, massa aksi menyuarakan pembebasan 11 warga yang masih ditahan atas tuduhan kriminalitas. Hingga berita ini ditayangkan, aksi masih berlangsung. Pihak kepolisian memperingatkan agar massa aksi membubarkan diri tepat pada pukul 18.00 WIT atau jam 6 sore.
Sebagaimana diketahui, pada 18 Mei 2026, puluhan warga Maba Sangaji, Halmahera Timur menggelar aksi penolakan terhadap salah satu perusahaan tambang. Akibat aksi itu, polisi kemudian mengamankan 27 orang untuk diperiksa, 11 orang selanjutnya ditetapkan tersangka dan ditahan.
Sementara itu
Sedangkan Direktur Riset dan Opini Anatomi Pertambangan Indonesia, Safrudin, menyesalkan langkah Polda Maluku Utara yang menjerat 11 warga Halmahera Timur tersebut dengan tuduhan melakukan tindakan kriminal atau premanisme. “Kami menyesalkan langkah Polda Maluku Utara yang menyebut warga Halmahera Timur sebagai pelaku premanisme hanya karena menyuarakan penolakan terhadap aktivitas tambang yang dianggap merampas ruang hidup mereka,”ujranya.
Menurutnya, tuduhan premanisne ini menunjukan cara pandang negara yang tidak adil terhadap masyarakat yang mempertahankan tanahnya sendiri dari aktivitas korporasi yang merusak lingkungan dan mengancam keberlangsungan hidup mereka.
Alih-alih mendengar dan melindungi hak-hak konstitusional warga, lanjut Safrudin, aparat justru bertindak represif dan memberi ruang aman bagi kekuatan modal. Sementara warga dituduh preman karena membawa alat kerja tradisional dan atribut aksi, para pelaku intimidasi berseragam atau yang diduga bagian dari kepentingan perusahaan tak pernah tersentuh hukum. “Di mana keberpihakan negara ketika rakyat berteriak untuk hidup,” tutupnya menegaskan. (xel)
Tinggalkan Balasan