Oleh: Igrissa Majid
Direktur Indonesia Anti Corruption Network
___
MENGEJUTKAN, tanggal 10 November 2023, Gubernur Maluku Utara atas usulan Badan Kepegawaian Daerah (BKD), telah melantik Imran Yakub sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara definitif. Sosok yang kontroversial, dan diduga kebal hukum ini, sebelumnya adalah pelaksana di Biro Umum tanpa melalui seleksi terbuka. Pelantikan dirinya saya meyakini tanpa rekomendasi KASN, karena proses pengangkatannya sangat singkat. Diusul tanggal 6 November 2023 dan dilantik setelah empat hari kemudian. Lantas, apakah proses pemilihan jabatan tinggi dalam satuan organisasi pemerintah daerah tanpa mekanisme terbuka ini bermasalah?
Pertimbangkan Masukan DPRD
Kebijakan mengenai pelantikan pejabat setingkat kepala dinas, tidak akan menuai kritik publik dan lembaga legislatif di tingkat daerah, selama itu dilakukan sesuai mekanisme yang terbuka dan kompetitif. Memang, yang perlu dihindari adalah unsur kedekatan baik secara personal maupun kelembagaan.
Sebaliknya, kewenangan kepala daerah yang memilih dan mengangkat seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam jabatan tertentu harus memenuhi mekanisme formal. Di dalam mekanisme itu, secara normatif harus dilihat dalam aspek yang luas dan komprehensif. Bahkan perlu keterlibatan DPRD berdasarkan fungsi pengawasannya. Peran DPRD tidak dapat tersubordinasi dalam tataran kebijakan yang hendak dibuat oleh pemerintah daerah. Keduanya harus sejajar sebagai wujud checks and balances dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya masing-masing.
Karena itu, dalam hal pelantikan Imran Yakub yang sangat kontroversial itu, Gubernur Maluku Utara perlu mempertimbangkan masukan maupun saran dari DPRD, yang memiliki komisi khusus untuk mengontrol kebijakan di sektor pendidikan. Sehingga tidak terjadi dominasi sepihak oleh Gubernur (executive heavy), yang menimbulkan kegaduhan berkepanjangan.
Tidak ada Alasan yang Menguatkan
Secara administratif, saat dilantik sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara, Imran Yakub masih officially pegawai Halmahera Selatan. Hal ini telah bertentangan dengan ketentuan sistem mutasi. Ketentuan mengenai mutasi cukup gamblang sebagaimana telah tertuang dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19 Tahun 2023 tentang Mutasi/Rotasi Pejabat Pimpinan Tinggi yang Menduduki Jabatan Belum Mencapai Dua Tahun.
Di sinilah, peran BKD harus mengkroscek secara detail mengenai status kepegawaian Imran Yakub, apakah bersangkutan qualified secara administrasi atau tidak. Di sisi lain, dan yang paling utama adalah, mengenai kompetensi, rekam jejak, dan integritas, termasuk moralitas. Beberapa aspek ini mutlak dalam rangka proses pengisian jabatan tinggi di instansi pemerintah daerah. Karena itu sifatnya “wajib” melalui mekanisme formal, berdasarkan tahapan dalam sistem merit, mulai dari tata cara pengisian jabatan, penyusunan rencana seleksi, hingga terbentuknya panitia seleksi.
Di samping itu, dalam pelaksanaan tahapan sebagaimana dimaksud di atas harus bersifat terbuka, supaya mengetahui secara objektif atas kemampuan seorang ASN yang mengisi jabatan yang lowong. Sebab ini problem penyelenggaraan dan manajemen ASN, sehingga sangat perlu dibuat dengan asas keterbukaan, profesional dan akuntabel.
Karena itu, beberapa hal prinsip di atas harus diperhatikan oleh Gubernur melalui BKD, mulai dari rekam jejak yang melekat kepada Imran Yakub sejak dilantik sebagai ASN, hingga pengisian jabatan yang sekarang. Sehingga, dapat selaras dengan norma dan ketentuan Undang-Undang No. 20 tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), maupun lampiran Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Nomor 19 tahun 2019 tentang Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi secara Terbuka dan Kompetitif di Lingkungan Pemerintahan.
Selanjutnya, dalam penyelenggaraan kebijakan, harus berdasarkan kepastian hukum, karena landasan ini tersistematiskan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan. Landasan tersebut erat dengan kasus yang pernah menyeret Imran Yakub di pengadilan ketika menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maluku Utara.
Meski kini telah menyandang status bebas, namun tidak ada klausul dari putusan majelis hakim tingkat pertama, banding, maupun kasasi, yang secara eksplisit memerintahkan kepada Imran Yakub untuk kembali menduduki jabatan yang sama, pada saat setelah diputus bebas dan/atau setelah beberapa tahun sejak putusan dibacakan. Putusan majelis hakim secara kontekstual perlu dilihat dalam ranah atau kompetensi peradilan pidana, mulai dari tingkat judex factie hingga judex jurist yang mengadili “perkara tindak pidana” bukan “perkara jabatan secara administratif.”
Adapun dalam karakterisasi putusan, harus dibedakan mana klasifikasi putusan perkara perdata, sengketa administrasi, dan pidana. Dari segi tingkatan, yang oleh Pemerintah Daerah Maluku Utara pahami adalah, putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi telah mencantumkan perintah supaya Imran Yakub dikembalikan ke jabatan semula, justru itu tidak termuat sama sekali.
Memang tidak demikian dalam setiap putusan pidana di MA terkait permohonan kasasi. Karena merujuk pada ketentuan pemeriksaan untuk kasasi mulai dari Pasal 244 hingga Pasal 257 KUHAP, tidak secara terang benderang memuat klausul yang menerangkan bahwa MA harus mencantumkan ketentuan yang bersifat perintah jika suatu putusan dikabulkan atau ditolak.
Buktinya, dalam amar putusan MA No. 93 K/Pid.Sus/2017 hanya menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Ternate, dan membebankan biaya perkara tingkat kasasi kepada negara. Sedangkan amar putusan PN Ternate, Nomor 07/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tte, tanggal 23 Juni 2016, intinya adalah memulihkan hak-hak Terdakwa Imran Yakub dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya, karena tidak terbukti secara sah bersalah.
Perlu digarisbawahi, dipulihkannya hak-hak Imran Yakub sebagai terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya, ini yang keliru ditafsirkan bahwa cakupannya termasuk pengembalian jabatan. Hal ini perlu dilihat dari penerjemahan kata per kata. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, memulihkan artinya memulangkan, mengembalikan. Kemampuan artinya kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Kedudukan artinya keadaan yang sebenarnya; status (keadaan atau tingkatan orang, badan, negara). Harkat artinya derajat (kemuliaan dan sebagainya). Martabat artinya tingkat harkat kemanusiaan, harga diri.
Akumulasi dari terjemahan ini hanya dapat berlaku dalam hal posisi Imran Yakub sebagai warga negara dan ASN, bukan jabatan yang melekat sebelumnya. Sebagaimana dalam penjabaran KUHAP, menerangkan bahwa penempatan kedudukan hanyalah sebagai makhluk Tuhan yang mempunya derajat kemanusiaan, dan harus diperlakukan dengan nilai luhur kemanusiaan. Penjabaran dalam KUHAP ini juga masih kabur, tidak dengan jelas penyebutan yang mengarah pada pemulihan terkait jabatan.
Dengan kata lain, sejauh ini masih terdapat kerancuan dan ketidakjelasan peraturan perundang-undangan, yang spesifikasinya mengatur untuk dikembalikan seorang ASN pada jabatan semula dalam konteks perkara pidana, baik di tingkat pertama hingga kasasi. Sebab, belum ada peraturan secara tertulis yang memberi kewenangan kepada majelis hakim pidana untuk mencantumkan dalam amar putusan terkait frasa pengembalian jabatan seorang terdakwa.
Karena itu, dikatakan bahwa Imran Yakub menduduki kembali jabatan yang pernah diembannya merupakan perintah putusan MA sungguh memalukan, sesat pikir, dan tidak beralasan. Dalam putusan MA terkait putusan kasasi No. 93 K/Pid.Sus/2017 sebagaimana saya sebutkan di atas, dalam amarnya tidak tercantum frasa yang menegaskan pengembalian jabatan semula. Di sini, Gubernur harus memperhatikan dengan benar, apakah bersangkutan setelah mendapat putusan bebas masih layak mengemban jabatan yang sama? Apakah dalam penyelenggaraan kepentingan daerah bersangkutan patuh pada hukum publik, dan tidak bertetantangan dengan asas umum pemerintahan yang baik?
Sekali lagi, karena ini ranah atau kompetensi peradilan pidana, yang oleh MA hanya mengabulkan atau menolak sesuai dengan apa yang tertuang dalam memori kasasi, tidak lebih dari itu. Perlu dipahami juga bahwa suatu perkara yang diputuskan di tingkat kasasi, MA hanya menitikkan pada tiga hal, yakni apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya (Pasal 253 KUHAP).
Jadi suatu perkara pidana dalam tingkat kasasi bukan tentang bagaimana kedudukan, kemampuan, serta harkat dan martabat seorang terdakwa berstatus ASN disidangkan kembali, kemudian mendapat penguatan dari MA untuk kembali kepada jabatannya, melainkan hanya bersifat mengoreksi putusan pengadilan di bawahnya. Jika benar, maka dikabulkan. Jika sebaliknya, maka ditolak. Tidak ada embel-embel lain, atau klausul mengenai perintah kepada seorang terdakwa yang kemudian menjadi alasan bagi Gubernur Maluku Utara mengangkat kembali Imran Yakub dalam jabatan yang sama.
Dengan demikian, terlepas dari kekeliruan Gubernur menafsirkan putusan MA dengan menyebut sebagai “perintah”, maka cukup kembali kepada aturan yang bersifat spesialis, yakni UU ASN, maupun Peraturan Menteri sebagaimana saya sebutkan di atas.
Saran kepada Gubernur
Jangan melihat aspek beneficial politics yang pada akhirnya hanya menguntungkan Anda semata. Jangan pula senyampang karena menjelang akhir masa kepemimpinan, sehingga kebijakan mengenai rolling jabatan harus mengabaikan prinsip dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jadi setop buat alasan memalukan dengan pandangan-pandangan yang keliru. Waktu Anda tidak lama lagi turun takhta, wariskan hal-hal baik untuk umat dan bangsa. Jelaskan ke masyarakat, apa urgensinya melantik Imran Yakub? Secara kapabilitas, apa idenya untuk kemajuan pendidikan Maluku Utara? Paitua mangarti katarada? Itu saja! (*)
Tinggalkan Balasan