Oleh: Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu
_____
SEORANG ibu yang dijanjikan oleh sebuah partai untuk tampil di Pilkada kecewa berat. Duka yang ganda! Lebih-lebih karena rasa dukanya ditinggal suami belum benar-benar pulih. Ia seorang ASN. Suaminya adalah seorang pejabat daerah yang punya prestasi. Beliau wafat beberapa waktu lalu. Ia sangat menyesal dan merasa tertipu oleh “orang partai” yang cerdas berjanji dan beralibi. Ibu ini sudah mengeluarkan uang banyak untuk “orang partai” itu atas nama mengurus ini dan itu serta untuk acara di sana dan di sini.
Berita “partai” makin heroik belakangan ini. Di satu daerah, pimpinan partainya dipecat oleh pimpinan pusatnya. Di daerah lainnya, pemecatan demi pemecatan juga terjadi. Belum lagi soal calon-calon dan pencalonan; kader dan non kader; koalisi demi koalisi; dan jejeran para (mantan) pejabat yang antri mencalonkan diri atau yang menawarkan diri, dst. Ada yang pernah menjabat di atas memilih “turun kelas”, ada yang sudah pernah berposisi ini dan itu puluhan tahun, masih mau lagi berlanjut untuk posisi ini dan itu. Semua gejala itu menjadi urusan “partai politik” di sepanjang tahun 2024.
Pertanyaannya, Politik di negeri ini sudah mengantarkan ke mana pencapaian martabat Indonesia di tengah-tengah perubahan dunia? Hampir semua parameter negara-global cenderung menempatkan negeri kita di posisi yang “biasa-biasa” saja. “Reformasi dikorupsi,” demikian investigasi Tempo edisi Januari 2024.
Tampaknya, politik kita lebih dominan hanya memproses pembentukan “elite yang menjadi pejabat” dengan kekuasaan yang serba sepihak, mengelompok, dan nyaman/hedonis dengan mentalitas status quo. Di alam nyata, “fasilitas negara” lebih banyak dimanfaatkan bukan untuk kebajikan dan kepuasan publik melainkan demi kenyamanan elitisme orang-orang berkuasa karena jabatannya.
Di berbagai tingkatan, mentalitas “cari nyaman” dengan posisi itu demikian tampak. Bentuk-bentuk tanggung jawab yang dibangun di atas komitmen dan dedikasi kerja semakin mengecil panampakannya.
Partai-partai kita sewajarnya melahirkan pemimpin-pekerja-pemikir, bukan menjadi pemelihara kelompok pencari rasa aman dan pemain-pemain yang maunya selalu nyaman dengan fasilitas kekuasaan dan seremoni politik serta rutinitas birokrasi yang seluruhnya dibiayai oleh negara.
Nilai dasar “Politik” –dengan “P” besar seharusnya kembali ditegakkan dan diabdikan setulus-tulusnya oleh partai-parti di negeri ini, bersama-sama dengan “Pemerintahan” –dengan “P” besar dalam mewujudkan governance dan tata-kelolanya yang memihak kepada keadilan bagi semua golongan dan generasi.
Di banyak tempat, apa yang dengan mudah kita saksikan sepuluh tahun terakhir ini adalah kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok politik begitu lihai dibungkus dengan pembenaran berulang dan bahasa basa-basi yang rutin. Kepentingan publik ditumpangi dengan sesaknya retorika politik dan kebijakan.
Gaya dan bahasa yang dimunculkan setiap hari makin jauh dari keteladanan, baik dalam arti bertata-negara maupun dalam pergaulan sehari-hari. Antara kata dan perbuatan, kesenjangannya makin menganga. Kita kehilangan pegangan, karena keteladanan nyaris sudah mati.
Kita kehilangan rasa malu dan sikap berani memihak kepada kebenaran karena “siasat” hidup semakin mengedepan. Hidup tak lagi dirasakan sebagai “panggilan”, melainkan ruang bagi prinsip “aji mumpung”. Kejujuran sudah tumpul.
Emosi dan rasio untuk berteriak kepada kebohongan tak lagi beroleh tempat di ruang-ruang rapat pimpinan dan di sidang-sidang resmi, pun di upacara-upacara dan di seremoni-seremoni. Diam-diam kita pongah menutupi apa yang “sebenarnya” terjadi di alam nyata. Aturan dan akal sehat tak berdaya di hadapan akal-bulus, nafsu kuasa, uang, dan perkawanan.
Kegundahan kita sudah lama: tentang hilangnya pegangan dan keteladanan.
Jangan ragu! Amatilah dalam pergaulan sehari-hari kita. Perhatikan sejenak di tempat-tempat kerja kita: kepentingan pribadi dan tindakan jangka pendek makin mengepung! Ketulusan berkorban dan keterpanggilan berbuat untuk hari esok yang lebih baik makin terasa sebagai “pemanis bibir” saja.
Kita seperti tak punya lagi ukuran-ukuran moral dan kepantasan dalam menyikapi sesuatu. Orang cenderung “mendua” ketika bersikap terhadap kebenaran. Rasa malu dan prinsip tanggung jawab nyaris sudah diparkir jauh di dunia lain. Setiap orang makin mudah mengedepankan kepentingannya sendiri, betapa pun kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah “demi” orang banyak, demi negara dan demi kepentingan bersama.
Kini kita demikian mudah membungkus keaslian diri dengan bersolek-kata dan muka di publikasi yang artifisial. Tidak jarang bahkan kemewahan dan ketenaran digiring sedemikian rupa oleh banyak “kalangan atas” di wilayah publik. Semuanya demi mengelabui motif-motif aslinya dalam kiprah kerja-kerjanya.
Semua tahu betapa pemberitaan media selalu memiriskan hati ketika percakapan nasional belakangan ini terus meluas tentang “robohnya kemuliaan” di kalangan atas. Demikian banyak terbukti bahwa yang kini bertengger di kekuasaan bukanlah terdiri dari para negarawan yang punya integritas dan moralitas tinggi, dengan kedalaman pemahaman (praktik) bernegara yang mumpuni dan dengan keagungan pribadinya sebagai “pengabdi bangsa”.
Kemewahan gaya hidup dengan fasilitas dan uang negara dipeluk dengan penuh congkak dan tanpa rasa malu di ruang-ruang kuasa. Tampaklah bahwa kini yang tersisa (?) adalah kepercayaan-kepercayaan psikologis bahwa masih banyak orang baik yang lurus dan orang hebat yang berani di negeri ini. Inilah yang masih kita yakini, saksikan dan rasakan. Orang seperti itu tersebar di banyak tempat. Mereka berperan dengan cara dan dayanya masing-masing.
Mereka masih terus menyuarakan kebenaran dan mengerjakan cita-cita luhur republik ini. Mereka sangat paham dan terus berusaha bahwa “abad kegelapan” tidak boleh menjerat masa depan Indonesia. Mereka tidak pernah kehilangan harapan. Mereka mengukuhkan sikap-sikap patriotis di berbagai arena kehidupan, mulai dari dunia perdesaan di pelosok, usaha-usaha kecil menengah di perkotaan, perdebatan-perdebatan aktual di parlemen, program-program pemberdayaan di instansi-instansi negara, di kantor-kantor media independen, NGOs, kelompok-kelompok muda-kreatif, di sekolah-sekolah, hingga di universitas, dst.
Negara jangan sampai dikelola sebagai “pelayan” buat keserakahan dan nafsu-nafsu sepihak demi (kepuasan) politik jangka pendek, sementara negeri-negeri lain demikian melaju sangat cepat kemajuannya. Generasi mereka semakin produktif, sementara pelajar-pelajar kita menghabiskan waktunya ‘main game’. Kota-kota (provinsi) mereka makin berdaya ekonomi kreatifnya, sementara kota-kota kita semakin “tua-tua keladi” penampakannya. (*)
Penulis adalah Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: basriamin@gmail.com
Tinggalkan Balasan