Oleh: Asma Sulistiawati
Pegiat Literasi
___________________
MARAKNYA judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol) yang menjerat generasi muda Indonesia tak lagi bisa dipersempit sebagai problem moral personal atau lemahnya literasi keuangan. Fenomena ini adalah gambaran telanjang dari bekerjanya sistem kapitalisme digital yang menjadikan anak muda sebagai pasar, bukan sebagai generasi yang harus dilindungi.
Berbagai media nasional melaporkan bahwa pemuda dari kelompok ekonomi terbatas menjadi sasaran utama iklan judol dan pinjol akibat kerja algoritma platform digital. Kompas.id dalam laporan tahun 2025 mengungkap bagaimana algoritma membaca kondisi ekonomi, kebiasaan, hingga kecemasan pengguna, lalu menyodorkan iklan judol dan pinjol sebagai “solusi cepat”. Dalam situasi terhimpit, tawaran itu menjadi sangat menggoda namun mematikan.
Data riset Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) yang diberitakan Kompas Bandung pada 28 November 2025 memperlihatkan kenyataan yang mengkhawatirkan sekitar 58 persen Gen Z menggunakan pinjol untuk kebutuhan gaya hidup dan hiburan. Fakta ini menunjukkan bahwa pinjol bukan sekadar alat darurat, melainkan telah menjadi bagian dari budaya konsumsi instan yang rapuh.
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat lonjakan rekening pinjaman usia muda secara nasional. Tempo.co (2025) bahkan mengulas bagaimana banyak Gen Z terjerat utang pinjol berbunga tinggi yang berdampak serius pada kesehatan mental dan relasi sosial.
Fenomena ini tak hanya terjadi di pusat-pusat kota besar. Di kawasan timur Indonesia, termasuk Maluku Utara, persoalannya bahkan tampil lebih telanjang.
Periode Januari–April 2025 menunjukkan lonjakan outstanding pembiayaan pinjol di Maluku Utara sebesar 146,63 persen secara year-on-year, menurut data yang dirilis otoritas keuangan. Angka kredit macet memang tercatat rendah, namun itu justru menandakan semakin masifnya ekspansi pinjol ke daerah yang akses perbankan formalnya terbatas. Di balik statistik itu, realitas sosialnya jauh lebih gelap.
Pada Agustus 2025, publik Maluku Utara diguncang kasus pembunuhan di Halmahera Timur. Pelaku disebut nekat menghabisi nyawa rekannya setelah terlilit utang akibat judi online hingga ratusan juta rupiah. Ia sebelumnya sempat meminjam uang dan terjerat pinjol setelah terus kalah berjudi. Kasus ini menjadi bukti tragis bahwa judol dan pinjol bukan sekadar “aplikasi hiburan” atau “produk keuangan”, melainkan pintu masuk kehancuran hidup.
Kapitalisme Digital dan Kerentanan Struktural Generasi
Judol dan pinjol tumbuh subur karena lahir dari rahim sistem ekonomi kapitalisme yang gagal menjamin kesejahteraan individu. Anak muda hari ini berhadapan dengan lapangan kerja sempit, upah rendah, biaya hidup tinggi, dan absennya jaminan sosial yang memadai. Dalam tekanan itu, judol dan pinjol tampil sebagai fatamorgana seolah memberi jalan pintas keluar dari masalah.
Negara, sayangnya lebih sering berperan sebagai penonton. Penutupan satu situs judi dibalas lahirnya ratusan situs baru. Edukasi keuangan digaungkan, tetapi sistem pendidikan tetap menanamkan nilai sekuler-materialistik dimana sukses diukur dari gaya hidup dan kepemilikan, bukan dari integritas dan tanggung jawab. Generasi pun tumbuh tanpa benteng nilai saat dihadapkan pada risiko tinggi.
Ruang digital memperparah keadaan. Platform media sosial bekerja berdasarkan logika kapitalisme murni retensi, trafik, dan keuntungan iklan. Algoritma tidak peduli keselamatan pengguna. Ia hanya membaca kebiasaan dan kebutuhan, lalu mendorong konten yang paling menguntungkan. Anak muda yang gelisah ekonomi justru dibanjiri iklan judol dan pinjol.
Ekspansi masif pinjol ke wilayah seperti Maluku Utara menunjukkan bahwa kapitalisme digital kini menembus hingga pelosok. Ketika perbankan formal sulit diakses, pinjol tampil sebagai “penolong”. Padahal, bagi banyak anak muda, utang itu justru menjadi awal lingkaran setan yaitu gali lubang, tutup lubang serta kehilangan arah hidup.
Judol dan pinjol dengan demikian bukan penyimpangan. Ia adalah produk sah dari sistem yang menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, sementara keselamatan generasi dianggap nomor sekian.
Islam sebagai Solusi Sistemik dan Beradab
Islam memandang masalah ini dari akarnya. Sistem ekonomi Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu mulai dari pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Negara tidak boleh membiarkan generasi mudanya hidup dalam kondisi terdesak yang mendorong mereka berjudi atau berutang ribawi demi bertahan.
Pendidikan Islam pun tidak berhenti pada penguasaan keterampilan, tetapi membentuk kepribadian. Generasi dididik untuk menjadikan halal dan haram sebagai standar perilaku. Judi diharamkan karena merusak akal dan tatanan sosial, sementara riba diharamkan karena menindas dan memperbudak. Ketika nilai ini tertanam kuat, rayuan algoritma tak mudah menjerumuskan.
Dalam Islam, pengelolaan ruang digital tidak diserahkan sepenuhnya pada pasar. Infrastruktur digital dibangun untuk menjaga akhlak, keamanan, dan kemaslahatan masyarakat. Konten yang merusak dan menormalisasi maksiat dicegah sejak desain sistemnya. Teknologi menjadi sarana pelayanan publik, bukan alat eksploitasi.
Pada akhirnya, generasi Muslim harus disadarkan akan identitasnya bukan sekadar konsumen dalam sistem kapitalis, melainkan hamba Allah dan pembangun peradaban. Pembinaan Islam yang berkelanjutan dan aktivitas dakwah ideologis menjadi benteng penting agar generasi tidak terus menjadi korban sistem yang rusak.
Judol dan pinjol hanyalah gejala. Kapitalisme digital adalah penyakitnya. Dan Islam, dengan sistem kehidupan yang menyeluruh, adalah solusi nyata untuk menyelamatkan generasi dan masa depan bangsa. Wallahu’alam. (*)

Tinggalkan Balasan