Oleh: Djul Fikram Isra Malayu
Staf WALHI Malut

______________________

KAMPUNG Kulo merupakan penjaga keramat jere lagae cekel dan tanah adat Sawai yang terletak di Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Ketika pagi hari akan diawali dengan kicauan burung, disusul suara pacul petani yang menggarap lahan perkebunan. Ibu-ibu bekumpul di tepi sungai untuk mencuci, sementara anak-anak bermain dengan riang berkejaran di halaman rumah atau berenang di sungai yang airnya dingin, mata pencarian utama adalah pertanian dan perkebunan. Pisang, kelapa, sayur, ubi, melimpah. Sebagian warga juga mencari ikan di sungai atau mengumpulkan hasil hutan seperti sagu (papeda) ditambah mereka berburu rusa dan hewan lainnya. Dari hasil tangkapan itu, menggunakan perangkap, tombak, dan panah.

Kehidupan sosialnya sangat erat, Gotong royong adalah napas desa. Setiap ada hajatan, pembangunan rumah, atau panen, seluruh warga bahu-membahu, musyawarah untuk mufakat menjadi landasan dalam setiap pengambilan keputusan, ikatan kekeluargaan sangat kuat dan perselisihan jarang sekali terjadi.

Tradisi dan budaya terjaga dengan baik, upacara adat sering diadakan, diiringin alunan musik tradisional dan tarian yang diwariskan turun temurun. Pengetahuan lokal tentang tanaman, obat, cuaca, ekosistem hutan sangat dihargai dan diajarkan dari generasi ke generasi. Udara bersih dan air yang melimpah membuat kampung ini menjadi tempat yang nyaman dan sehat untuk ditinggali.

Tidak ada polusi, tidak ada kebisingan mesin, hanya suara alam dan aktivitas manusia yang selaras.

Cerita kampong, tentang alam dan sejarah

Secara singkat, Kampung Kulo dulu, suku Sawai yang bikin kampung ini tahun 1911, berawal dari mulanya lagae cekel yang merupakan leluhur adalah sebuah nama yang memiliki filosofi tersendiri dari turun temurun kesultanan Tidore. semasa hidupnya membersamai alam yang menguasai 12 bahasa daerah yakni bahasa Tobelo, bahasa Galela, bahasa Patani, bahasa Gorap, bahasa Tidore, bahasa Ternate, bahasa Bacan, bahasa Makeang, bahasa Modole, bahasa Buli, bahasa Ihama dan bahasa Sawai.

Torang (kami) punya Legenda LAGAE CEKEL adalah seorang yang berilmu tinggi ”Sakti Mandraguna” dari Suku Sawai (suku asli pedalaman Halmahera Tengah). Konon Suku Sawai adalah suku liar yang terkenal sangat kejam dan ditakuti di dataran Halmahera sampai di Raja  Ampat. Ada Cerita Rakyat yang menuturkan bahwa konon diadakan rapat pembagian wilayah kekuasaan kolano-kolano di kesultanan Tidore masa itu, dan semua elemen adat yang ada dalam wilayah kesultanan Tidore diundang untuk menghadiri rapat dimaksud. Semua pemuka Adat dan Bobato kesultanan telah hadir. Tapi ternyata rapat belum dapat dilaksanakan karena beliau “LAGAE CEKEL” belum hadir. Konon cerita LAGAE CEKEL di kalangan masyarakat Suku Sawai dia salah seorang keturunan tertua Sultan Tidore sehingga harus menunggu kehadirannya…Dia sendiri menetap di Pulau Halmahera. Untuk dapat menghadiri rapat di kesultanan Tidore ini, LEGAE CEKEL dengan kebesaran ilmunya, menyeberangi laut tanpa perahu/sampan. Dia menggunakan galah untuk melompat dari Desa Akelamo ke atas atol (depan Kel. Tongowai) yang sengaja dia munculkan sebagai tumpuan kedua sebelum mencapai pulau Tidore. Ketika sampai di depan pendopo kesultanan Tidore dan disambut oleh kerabat Istana yang lain, beliau tidak langsung masuk namun duduk di teras beranda sambil menggoyang-goyang kaki dan bertanya “Dimana Sultan??? Kemudian Sultan pun keluar untuk menemuinya. Namun alangkah herannya dia karena Sultan ternyata bertubuh kecil jika dibanding kandengan dia. Menurut dia seorang sultan harusnya bertubuh besar, kekar dan garang, sambil terus menggoyang-goyangkan kakinya dia berkata ”SULTAN KONG PE KACIL BEGITU, SAYA PAMALAS”.. karena sudah paham karakternya, Sultan pun berucap SAWAIWAI-WAI. Lagae Cekel pun berkata : ”Saya so tinggal di dara di pulo besar itu kong ngoni kase pasaya sudah. Kanon cerita rakyat LAGAE CEKEL pun diberikan kekuasaan di pulau Halmahera. Dia hidup di Halmahera sampai mati dan dikubur di tengah hutan belantara Halmahera… Lokasi Makam LAGAE CEKEL terletak + 3 km di belakang SP III Transmigrasi Kobe Kulo. Namun sampai saat ini rupa dan bentuk fisik LAGAE CEKEL tidak dapat digambarkan, Asal-usulnya pun tidak diketahui jelas dari mana beliau berasal. Baca selengkapnya  https://annienugraha.com/tidore-dalam-balutan-sejarah-kesultanan-tidore/


Yohanis Koke, menyebutkan sampai sekarang torang (kami) menjadikan jere sebagai kepercayaan leluhur lagae cekel, Ini samua papa perjuangkan tanah adat (kampung Kulo) demi torang (kami) pe anak cucu yang akan datang untuk dapat nikmati torang (kami) punya hasil alam ini, dan sampai sekarang kulo ini saya tara (tidak) bisa kase tinggal, karena saya jaga saya pe leluhur, dan sampai sekarang saya diangkat sebagai kepala suku dan itu sampai sekarang saya jaga kampong adat ini.

Yohanis Koke, juru kunci penjaga jere lagae cekel dan wilayah tanah adat Sawai, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Oktober 2025.

Kampung Kulo, dari desa trans Kobe perjalanan melewati jalur sungai menggunakan speead fiber untuk bisa msuk ke kampung pedalaman, bahkan perjalanan memakan waktu berjam-jam (4 jam atau lebih) tergantung lokasi dan kondisi medan, terkadang perjalanan menuju kampung pedalaman seperti (kampung Kulo) itu sangat sulit, kondisi jalan kurang memadai, apalagi pengaruh cuaca, curah hujan yang kuat dan angin kencang dapat menunda perjalanan karena banjir dan tumpukan lumpur di sepanjang aliran sungai yang semakin sulit di hadapi.

Meskipun perjalanan menantang, daerah pedalaman Halmahera, termasuk Kulo Jaya, menjadikan hutan dan alam sebagai penopang kehidupan masyarakat seperti berburu secara tradisional hutan adalah sumber utama bagi warga dengan cara berburu hewan seperti babi dan rusa menggunakan perangkap, tombak, dan panah, bahkan hutan juga menyediakan bahan untuk membangun tempat tinggal tradisional seperti rumah dari rangkaian kayu beratapkan daun sagu dan woka. Selain itu, populasi hewan dilaporkan semakin berkurang juga kondisi sungai dan wilayah tanah adat Sawai yang dihuni warga setempat semakin terancam karena faktor ekspansi industri nikel. Lagi-lagi kerusakan lingkungan dan hutan adat yang dibuka untuk perluasan tambang, aliran sungai Akejirah yang merupakan jalan penghubung, sumber air yang dikonsumsi masyarakat tercemar. Faktor lain ialah pohon yang berfungsi sebagai benteng telah dirombak, juga tidak luput dari wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sudah mengalami perubahan dari alami. Sungai-sungai yang menjadi ruang tangkapan seperti biak koli, udang, ikan mengalami kerusakan tertimpu lumpur dan juga membuat badan sungai sering berwarna kecokelatan.

Dokumentasi: Oktober 2025.

Aktivitas perusahan PT. IWIP justru semakin dekat dengan kampung Kulo yang membuat kekhawatiran warga karena kampung  yang mereka tempati merupakan wilayah Jere sebagai tempat perlindungan, hutan tanah adat Sawai yang diwariskan dari sejarah turun temurun para leluhur lagae cekel, kini dalam bayang-bayang industri ekstraktif.

Yamris Koke, warga setempat juga menyebutkan, hal ini disebabkan karena aktivitas ekspansi industri nikel yang membabat habis hutan juga memukul keras mata pencaharian masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup pada sektor pertanian lokal. Tidak hanya itu.

Yohanis Koke, juru kunci dan penjaga tanah Jere Lagae dan tanah adat Sawai, menyatakan bahwa sejak perusahaan masuk beroperasi torang (kami) pe sungai sudah jauh berbeda dari sebelumnya, yang awalnya torang (kami) menjadikan badan sungai itu sebagai tempat mandi dan cuci pakaian hingga kini torang (kami) sudah tidak bisa lagi, bahkan sungai itu menjadikan akses jalan hubung  menggunakan perahu dari dusun Kulo ke desa Trans Kobe bahkan ketika torang (kami) di sini pergi mencari di kebun harus menggunakan perahu, jadi kondisi sungai Akejira ketika hujan dan terjadi banjir, tumpukan lumpur akan semakin tambah parah.

Pada 12 Mei 2025 lalu banjir kembali menerjang desa (Kulo) dengan ketinggian air lebih satu meter, banjir bandang tersebut nyaris menenggelamkan rumah warga, perabotan rumah, bahkan makanan pokok dari pohon (pisang) juga ikut tergenang banjir, dengan warna air tampak amat kecokelatan, adapun laporan warga setempat menyebutkan tidak ada korban jiwa, akan tetapi rumah dan tanaman hasil kebun disapu banjir dan tidak ada harapan sama sekali.

Dokumentasi: kondisi banjir melanda Kulo pada Mei 2025.

Sebanyak 13 desa Sumber: BPS Maluku Utara, 2022  dengan total jumlah masyarakat 12.986 orang harus hidup berdampingan dengan kawasan industri nikel. Tentu, bukan atas kehendak untuk hidup bersama, juga tidak spontan kehadiran tambang raksasa tersebut, lebih daripada itu ada proses politik yang dikehendaki melalui Negara yang amat lengket dengan pemodal besar, kemudian diiringi undusan seolah atas kehendak dan kemauan warga setampat.

Sebagai masyarakat yang bergantung hidup pada hasil kebun, kehadiran tambang merupakan nestapa bagi mereka, dan selebihnya celoteh kemakmuran yang digemakan Negara hanyalah isapan jempol belaka. Sesungguhnya kemiskinan begitu dekat dengan mereka, sementara tanah yang mereka rawat dirampok Negara untuk menambah-kaya-kan para pemodal.

Pada 26 Oktober 2025, sungai Akejirah banjir kembali menunjukan dengan warna kecokelatan tepat berada di jembatan penyeberangan (Kulo Jaya). Adapun kondisi sungai menurut warga setempat Yamris Koke, menyampaikan bahwa kondisi sungai Akejirah berubah berwarna kecokelatan bukan barulah pertama kali, akan tetapi sudah terjadi berulang kali tanpa ada sebab hujan bahkan banjir. Hal ini diduga menyebabnya karena faktor industri perusahaan yang terus beraktivitas hingga membuat kondisi badan sungai akejirah makin rusak dan tidak lagi diharapkan.

Kondisi sungai Akejirah, kampung Kulo, Oktober 2025.

Kehadiran Industri pertambangan di Halmahera Tengah adalah menjadi daya rusak bagi lingkungan hidup dan masyarakat setempat. Derita warga atas luapan air sungai yang menggenangi pemukiman, sungai tercemar, hingga tanaman, dan kebun warga di sekitar disapu rata ketika industri tambang itu bercokol. Sungai-sungai yang berada di kawasan Weda Tengah telah menunjukkan warna yang kontras, seperti Air Sungai Akejira di Desa Kulo yang telah berwarna keruh. Cokelat merah-kehitaman. Meskipun pada saat kemarau, dan lebih parah jika hujan. Perubahan warna air itu akibat dari sedimentasi material, karena ada aktivitas pengerukan tanah yang dilakukan perusahaan tambang nikel di daerah hulu kemudian sisa lumpur ada yang masuk ke badan sungai.

Perjalanan menuju kampung Kulo di pedalaman Halmahera adalah sebuah petualangan yang keras, melintasi darat dan air, namun akan membawa Anda ke wilayah yang masih memegang teguh kekayaan alamnya, di mana hutan, sungai, dan kebun menjadi sumber kehidupan utama bagi masyarakatnya.

Dokumentasi Warga : Warga pedalaman sangat bergantung pada sungai karena sungai menyediakan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup dan berfungsi sebagai tulang punggung bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya mereka.