Oleh: Gusti Ramli
Sekretaris Karang Taruna Soa Romdidi Desa Saria
____________
DI tengah hiruk-pikuk aktivitas nelayan, secangkir kopi sering jadi teman paling jujur untuk merenung. Dan di momen ini, renungan itu terasa semakin dalam.
Setiap peringatan Hari Sumpah Pemuda menjadi ruang batin untuk menakar kembali sejauh mana semangat persatuan dan idealisme pemuda 1928 masih berdenyut di zaman ini. Di tengah derasnya arus digitalisasi, krisis sosial-ekonomi, dan tantangan perubahan global, peran pemuda tidak lagi cukup hanya dengan seruan heroik, tetapi harus diwujudkan dalam gerakan nyata yang inovatif dan berdampak. Di titik inilah Gerakan Inovasi Pemuda (GIOP) melalui Karang Taruna Soa Romdidi Desa Saria menemukan relevansinya.
Karang Taruna bukan sekadar wadah sosial, melainkan laboratorium gagasan bagi generasi muda desa untuk belajar memimpin, berkolaborasi, dan menciptakan solusi atas persoalan lokal. GIOP menjadi bentuk konkret semangat Sumpah Pemuda di era modern, semangat yang tidak hanya menyatukan tekad, tetapi juga menumbuhkan kreativitas, kemandirian ekonomi, dan tanggung jawab sosial.
Dalam konteks inilah refleksi Sumpah Pemuda menemukan wajah barunya. Bukan lagi sekadar romantika sejarah, tetapi energi transformasi sosial yang hidup di tangan pemuda Desa Saria.
Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia kembali diingatkan pada satu momentum historis yang menandai kesadaran kolektif kaum muda dalam merumuskan arah perjuangan bangsa, Sumpah Pemuda 1928.
Namun, refleksi atas peristiwa itu bukan sekadar mengenang tiga butir ikrar monumental, melainkan upaya menelaah ulang bagaimana semangat persatuan, kebangsaan, dan bahasa kini diartikulasikan dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi masa kini. Di tengah derasnya arus globalisasi dan fragmentasi identitas.
Di bibir pantai Desa Saria, semangat Sumpah Pemuda kembali menggema, bukan melalui upacara atau seremonial, tetapi lewat momentum bersejarah: bangkitnya Karang Taruna Soa Romdidi di Desa Saria. Sebuah peristiwa yang tampak sederhana, namun menyimpan makna revolusioner, bahwa generasi muda Desa Saria sedang menegaskan diri sebagai bagian dari sejarah panjang pergerakan pemuda Indonesia yang lahir dari sumpah 28 Oktober 1928.
Pemuda dan Asas Kepemimpinan Revolusioner
Dalam teori kepemimpinan modern, seperti yang dikemukakan oleh James MacGregor Burns (1978) dalam konsep Transformational Leadership, seorang pemimpin sejati bukan hanya mampu mengatur, tetapi juga menginspirasi dan mentransformasi lingkungan sosialnya.
Semangat ini sejalan dengan nilai yang kini diemban oleh Karang Taruna Soa Romdidi, bahwa kepemimpinan pemuda harus menjadi gerakan sosial yang progresif dan revolusioner (bukan dalam arti menggulingkan), tetapi menggugah kesadaran kolektif masyarakat desa untuk bergerak bersama menuju perubahan.
Kepemimpinan revolusioner pemuda di Desa Saria harus berpijak pada tiga prinsip dasar:
1. Kesadaran sosial, bahwa setiap langkah perubahan harus berakar pada realitas masyarakat.
2. Keberanian berpikir kritis, agar tidak terjebak dalam rutinitas administratif semata.
3. Kemandirian gerak, sebagai bentuk pembebasan dari ketergantungan politik maupun ekonomi yang melemahkan daya juang pemuda.
Sebagai organisasi sosial kepemudaan, Karang Taruna Soa Romdidi memiliki peluang besar untuk menjadi motor penggerak perubahan di Desa Saria dalam empat ranah utama:
1. Pendidikan:
Melalui inisiatif seperti Sekolah Desa, bimbingan belajar, dan literasi digital, Karang Taruna dapat menjadi jembatan pengetahuan di tengah kesenjangan pendidikan yang masih terasa. Pendidikan bukan hanya soal ruang kelas, tetapi bagaimana pemuda mampu menumbuhkan kesadaran berpikir kritis di kalangan masyarakat desa.
2. Ekonomi:
Di era ekonomi digital, pemuda harus mampu menciptakan model ekonomi kreatif berbasis potensi lokal, seperti pengembangan teknologi pada sektor kelautan, UMKM berbasis teknologi, hingga promosi wisata budaya Desa Saria. Karang Taruna dapat menjadi penggerak koperasi pemuda atau usaha bersama yang menumbuhkan kemandirian ekonomi desa.
3. Sosial:
Dalam konteks sosial, pemuda harus hadir sebagai agen integrasi sosial, meminimalisir konflik internal desa, serta memperkuat solidaritas antarwarga. Gerakan sosial yang humanis menjadi bentuk konkret sumpah “bertumpah darah satu, berbangsa satu, berbahasa satu” di level desa.
4. Politik:
Pemuda tidak boleh alergi terhadap politik, sebab politik adalah ruang perjuangan nilai. Karang Taruna Soa Romdidi perlu melahirkan kesadaran politik etis dan partisipatif, yang berorientasi pada pelayanan dan advokasi kebijakan publik di tingkat desa.
Dalam refleksi Hari Sumpah Pemuda, Karang Taruna Soa Romdidi Desa Saria perlu memaknai sumpah 1928 bukan sekadar simbol sejarah, tetapi manifesto moral: bahwa kesetiaan pada tanah air harus diterjemahkan dalam kesetiaan pada pengabdian lokal.
Revolusi hari ini bukan lagi melawan penjajah bersenjata, tetapi melawan ketertinggalan, kemiskinan, dan apatisme (tidak peduli) terhadap hal-hal sosial. Pemuda Desa Saria, melalui Karang Taruna Soa Romdidi, ditantang untuk membuktikan bahwa perubahan besar bisa lahir dari ruang kecil, dari komunitas, dari niat tulus untuk bergerak.
Hari Sumpah Pemuda 2025 harus menjadi momentum evaluasi dan afirmasi: bahwa pemuda bukan hanya objek pembangunan, tetapi subjek perubahan sosial. Karang Taruna Soa Romdidi Desa Saria kini memegang estafet sejarah itu.
Dengan kepemimpinan yang kritis dan revolusioner, mereka bukan hanya menjaga semangat persatuan, tetapi juga menyalakan bara perubahan — dari Saria, untuk Halmahera Barat, dan untuk Indonesia.
Pemuda Berkarya, Desa Berdaya. (*)

 
											 
						 
						 
						 
						 
						 
						 
							 
							 
							 
							 
							 
							 
							 
							
Tinggalkan Balasan