Oleh: Firdaus Muhidin

Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Maluku Utara

________________

INDONESIA dikenal sebagai negeri dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Alam Indonesia ibarat arsitektur dunia yang menyimpan berbagai sumber kehidupan di dalamnya. Wilayah timur Indonesia, khususnya Maluku Utara, sejak lama dikenal kaya akan sumber daya alam, pangan lokal, dan kekayaan laut yang berlimpah. Namun, kekayaan ini pula yang menjadikan wilayah tersebut incaran para investor, terutama di sektor pertambangan nikel.

Nikel kini menjadi salah satu komoditas paling strategis di dunia. Ia adalah bahan utama untuk teknologi masa depan, mulai dari baterai mobil listrik (EV), telepon pintar, hingga peralatan energi terbarukan. Dalam konteks global menuju green energy atau energi hijau, nikel disebut sebagai “emas baru” di era energi bersih. Permintaannya terus meningkat, menjadikan Indonesia sebagai pemain kunci dalam rantai pasok global.

Pemerintah pun melihat nikel sebagai sumber devisa dan pendapatan negara yang besar. Setiap tahun, ekspor nikel dan produk turunannya menyumbang triliunan rupiah ke kas negara. Dana itu disebut-sebut dapat digunakan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan pendidikan dan kesehatan, serta membuka lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar tambang. Dalam pandangan para pengambil kebijakan, nikel adalah sumber daya strategis, bernilai tinggi, dan menjadi kunci masa depan energi dunia.

Melalui kebijakan hilirisasi industri, pemerintah berupaya agar Indonesia tidak hanya mengekspor bijih mentah, melainkan juga mengolahnya di dalam negeri menjadi bahan baterai, baja tahan karat, dan produk teknologi tinggi. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan nilai jual nikel berkali-kali lipat dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun di balik slogan kemajuan itu, ada sisi lain yang jarang diungkap: kerusakan lingkungan dan kehilangan ruang hidup masyarakat adat.

Salah satu wilayah yang menjadi sorotan adalah Provinsi Maluku Utara, terutama Pulau Halmahera, yang kini menjadi episentrum industri nikel nasional. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.302/Menhut-II/2013 tanggal 1 Mei 2013, luas kawasan hutan di Maluku Utara mencapai 2.511.781 hektare, dan sekitar 71 persen di antaranya, atau 1.790.667 hektare, berada di Pulau Halmahera.

Dengan luas wilayah Pulau Halmahera itu satu per satu masuknya tambang tampaknya tak terkontrol dengan baik oleh pemerintah. Seperti ditemukan kasus, dalam kasus penggunaan lahan tanpa izin seluas 148,25 hektare oleh PT. IWIP, ini tandanya bahwa ada lokasi lain yang merupakan lahan negara yang dikuasai dan dimanfaatkan untuk kepentingan sekelompok orang. Dan kasus-kasus lainya terhadap maraknya perusahaan-perusahaan di Maluku Utara pada umumnya dan khususnya di tubuh Pulau Halmahera yang tak mengantongi izin. Dalam konteks ini Maluku Utara dalam pusaran oligarki tanpa kendali.

Dari rentetan luas Pulau Halmahera yang dibabat habis pertambangan tersebut bukan hanya sekadar hamparan pepohonan, melainkan rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna, serta masyarakat adat yang telah hidup dan bergantung pada alam selama ratusan tahun. Mereka tidak hanya melihat hutan sebagai sumber ekonomi, tetapi juga sebagai ruang hidup, identitas, dan warisan leluhur yang tak ternilai.

Kini, rumah mereka terancam. Dalam hitungan bulan atau tahun, kawasan yang dahulu hijau dan rimbun berubah menjadi lahan gundul, danau limbah, serta hamparan tanah merah bekas tambang. Kehancuran ekologis ini berarti pula hilangnya kebahagiaan dan kenyamanan masyarakat yang telah berabad-abad hidup berdampingan dengan alam.

Masuknya industri tambang sering kali menghadirkan paradoks: di satu sisi menjanjikan kemajuan, namun di sisi lain menimbulkan luka ekologis dan sosial. Henry Manampiring, penulis Filosofi Teras, pernah mengingatkan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, spesies manusia berhadapan dengan ancaman kepunahan yang disebabkan oleh ulahnya sendiri. Jika jutaan tahun lalu dinosaurus punah karena meteor, maka manusia bisa binasa karena keserakahannya terhadap alam dan sesamanya.

Mengikuti ajaran filsuf Yunani kuno Hierocles, manusia sejatinya harus memperluas lingkar kasih sayangnya hingga mencakup seluruh umat manusia dan alam semesta. Masalah seperti perubahan iklim dan kerusakan lingkungan seharusnya menjadi perhatian bersama. Hidup selaras dengan alam bukan sekadar pilihan moral, melainkan kewajiban etis. Ketika manusia mencemari bumi hingga mengancam kehidupan banyak makhluk, ia sejatinya telah menyimpang dari kodratnya sendiri.

Kerusakan lingkungan akibat tambang nikel tidak hanya memusnahkan flora dan fauna, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial-budaya masyarakat adat. Adat istiadat yang telah berakar berabad-abad kini terguncang oleh ekspansi industri. Dalam konteks ini, kita diingatkan pada prinsip hukum universal: Salus Populi Suprema Lex Esto artinya bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Persoalan Halmahera bukan semata tentang masa kini, melainkan juga tentang masa depan keberlanjutan hidup manusia dan alam. Pulau Halmahera adalah potret ekosistem yang seimbang antara manusia dan hutan, di mana kehidupan berlangsung secara alami. Kini, keseimbangan itu tengah diuji.

Mayoritas penghuni pulau ini adalah masyarakat adat. Maka, pelanggaran terhadap lingkungan di sana juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Hutan adat yang menjadi sumber kehidupan kini dibabat habis oleh industri tambang. Penambangan yang tidak terkelola dengan baik berpotensi menyebabkan bencana ekologis: banjir, longsor, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Karena itu, pemerintah dan perusahaan harus memastikan bahwa kegiatan tambang dijalankan dengan prinsip keberlanjutan di antaranya adalah menjaga kelestarian lingkungan, memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal, serta menghindari korupsi dan ketimpangan ekonomi. Tanpa itu, dalam hemat saya industri tambang hanya akan menjadi “kejahatan yang terstruktur”, sementara kebaikan lingkungan dan sosial justru tidak terstruktur.

Ironisnya, meskipun Maluku Utara kini mencatatkan laju pertumbuhan ekonomi mencapai 32,09 persen pada kuartal II tahun 2025 tertinggi di Indonesia berkat salah satu pendorongnya di sektor pertambangan industri nikel, nyatanya rakyatnya masih menghadapi kemiskinan struktural dan marginalisasi. Pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat kecil. Seperti yang disampaikan Wakil Gubernur Maluku Utara (Sarbin Sehe) di tengah kegiatan GO PUBLIC Seminar “Road to Go Public” di Ternate pada Kamis, 2 Oktober 2025 bahwa “meskipun Maluku Utara disebut sebagai daerah yang pertumbuhan ekonomi tercepat, bahkan salah satu tertinggi di dunia saat ini, namun kemajuan itu belum dirasakan oleh masyarakat Maluku Utara secara merata”.

Ini mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi di Maluku Utara yang ditopang sektor pertambangan belum sepenuhnya menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat. Sektor pertanian kelapa, cengkih, pala, dan kopra yang dulu menjadi tulang punggung ekonomi lokal kini mulai tergerus oleh ekspansi tambang.

Maluku Utara adalah cermin dari dilema pembangunan modern: antara harapan tambang dan kehilangan ruang hidup.

Pertanyaannya kini, apakah kita rela menukar rumah hijau yang telah menjadi nafas kehidupan selama berabad-abad dengan kilauan nikel yang hanya memberi keuntungan sesaat?

Perlu juga kita memikirkan bahwa adat-istiadat yang berabad-abad, adat-istiadat yang sudah menjular – akar itu, juga budaya lokal dan ruang hidup mereka perlu kita jaga dan kita rawat bersama demi keberlangsungan hidup selaras dengan alam untuk generasi mendatang. (*)