Oleh: Ardi Turege
Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara 

_____________

DI balik lanskap indah Pulau Morotai, Maluku Utara, tersimpan luka yang menganga luka yang ditoreh bukan oleh alam, melainkan oleh tangan-tangan serakah yang mengatasnamakan investasi dan pembangunan. Tambang besi yang merambah bumi Morotai telah mengubah wajah pulau itu dari surga akan menjadi ladang penderitaan. Namun ironisnya, pemerintah daerah seolah-olah mengangkat bahu, menutup mata, dan bersikap seakan bodoh amat atas jeritan rakyatnya sendiri.

Pulau Morotai, yang selama ini dikenal sebagai permata di Maluku Utara, kini akan  menghadapi luka ekologis dan sosial seperti daerah lain, akibat dari akan beroperasinya tambang besi yang kian menggila. Air bersih bakal tercemar, hutan dibabat, dan berimplikasi pada hasil laut yang merosot. Sementara masyarakat menjerit, pemerintah daerah justru bersikap seolah tidak peduli.

Di tengah keresahan yang melanda masyarakat Morotai Jaya, sikap pemerintah daerah dalam menghadapi kekhawatiran mereka terhadap tambang besi seolah menunjukkan ketidakpedulian yang sangat mencolok. Masyarakat Morotai Jaya (terkhususnya Desa Pangeo dan Toara) yang khawatir akan dampak lingkungan dan sosial dari eksploitasi tambang besi di wilayah mereka merasa tidak didengarkan. Bahkan, rasa takut yang tumbuh di tengah warga khususnya terkait dengan degradasi alam dan ancaman terhadap mata pencaharian mereka justru dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu diperhatikan secara serius.

Sikap “bodoh amat” ini bukan hanya soal abai, tapi juga mencerminkan matinya nurani dan minimnya keberpihakan terhadap rakyat kecil. Pemerintah daerah yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak warga malah menjadi pelayan kepentingan modal. Mereka lebih sibuk mengatur pertemuan dengan investor ketimbang duduk mendengar keluh kesah warga pesisir yang ada  Morotai Jaya.

Sikap ini bukan sekadar abai, tetapi mencerminkan struktur kekuasaan yang telah terkooptasi oleh kepentingan ekonomi elit dan korporasi tambang. Pemerintah daerah yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan rakyat justru menjelma menjadi agen kapitalis, dan mengatakan (TIDAK MENGETAHUI IZIN IUP TERSEBUT).

Kekuasaan tidak hanya bekerja melalui paksaan (coercion), tetapi juga melalui hegemoni  yang berbentuk dominasi ideologis yang membuat ketidakadilan seolah-olah wajar (Antoni Gramci). Dalam konteks Morotai, narasi pembangunan dan investasi pertambangan dikemas seakan-akan demi “kemajuan daerah”. Pemerintah daerah pun larut dalam wacana ini, dan menormalisasi kerusakan lingkungan sebagai harga yang “layak dibayar” demi pertumbuhan ekonomi.

Dalam kerangka ini, “bodoh amat” bukan hanya ketidaktahuan, tapi hasil dari kooptasi ideologis. Pemerintah daerah telah termakan oleh narasi kapitalisme ekstraktif yang menempatkan sumber daya alam sebagai komoditas belaka.

Dari sudut pandang Marxis, negara termasuk pemerintah daerah, bukanlah entitas netral. Ralph Miliband, seorang pemikir neo-Marxis, menyebutkan bahwa negara kerap berfungsi sebagai alat dari kelas dominan, yakni pemilik modal. Di Morotai, hal ini terlihat jelas: pemerintah justru memfasilitasi izin-izin tambang, mengabaikan protes masyarakat, dan tak jarang malah mengerahkan aparat untuk membungkam suara kritis.

Sikap “bodoh amat” ini bukan tanpa sebab. Ia berakar dari struktur relasi kuasa yang menempatkan elit politik lokal dan perusahaan dalam satu jejaring kepentingan. Ketidakpedulian pemerintah juga bisa kita lihat Melalui Paradigma konsep ketidakpedulian struktural, di mana sistem birokrasi dan kebijakan dibuat tidak untuk mendengar rakyat, melainkan untuk melayani prosedur dan formalitas. Akibatnya, penderitaan masyarakat Morotai dianggap hanya sebagai “data dampak” yang tidak mengubah arah kebijakan. Dengan kata lain, mereka bukan tidak tahu mereka memilih untuk tidak peduli. (BODOH AMAT).

Sikap “bodoh amat” terhadap penderitaan masyarakat Morotai bukanlah kebetulan. Ia adalah hasil dari struktur kekuasaan yang timpang, ideologi pembangunan yang buta lingkungan, dan kooptasi negara oleh kepentingan modal. Pemerintah daerah telah kehilangan fungsi utamanya sebagai pelindung rakyat. Jika situasi ini terus dibiarkan, Morotai bukan hanya akan kehilangan alamnya, tapi juga kemanusiaannya

Dalam Pasal 1 ayat (5) UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. “Menyatakan bahwa urusan pemerintahan daerah mencakup kewenangan untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Lantas dengan sikap kepedulian yang terjadi saat ini, apakah ini dimaksud dengan melindungi? Apakah ini yang dimaksud dengan mensejahterakan? Sedangkan masyarakat Morotai Jaya (Desa Pangeo dan Toara) hidup dalam bayang-bayang kengerian akan beroperasinya tambang besi.

Tentu hal ini menjadi satu kajian atau diskursus untuk pemerintah daerah baik kabupeten maupun provinsi, untuk mengkaji kembali terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) Pasir Besi yang akan beroperasi di Morotai.

Solusinya: pemerintah kabupaten dan provinsi mengambil sikap dan menolak izin usaha pertambangan Pasir Besi di Morotai dibatalkan. Hal ini sesuai dengan prinsip keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (salus polulis suprema lex exto). (*)