Oleh: Prinselia Hermawan
Kader GMKI Cabang Ternate

______________

BERADA pada zaman ketika aplikasi keuangan lebih pintar dari manusia, di mana teknologi mampu menghitung setiap sen pengeluaran. Namun, banyak dari kita sebenarnya sudah tahu apa yang dibutuhkan untuk memperbaiki keuangan, yaitu dengan cara menabung dan berhemat, tetapi masalahnya adalah lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.

Menurut World Bank (2023), lebih dari 56% individu usia produktif di Asia Tenggara mengalami kecemasan finansial yang bukan disebabkan oleh kemiskinan, melainkan oleh rasa kehilangan arah hidup. Mereka punya penghasilan, tapi tidak punya kendali. Mereka punya target, tapi tidak punya ritme. Artinya, masalah keuangan menjadi salah satu cerminan dari kekacauan hidup.

Pada tahun 2023, laporan survei Google Trends menunjukkan adanya kenaikan pencarian kata “cara cepat kaya” meningkat hingga lebih dari 40% dalam dua tahun terakhir, sedangkan frasa “cara menata hidup” hampir tidak menunjukkan perubahan.

Tren ini memperlihatkan obsesi kita pada hasil ekonomi tanpa mempedulikan proses eksistensialnya. Kita ingin stabil secara finansial, tetapi jarang bertanya: untuk hidup seperti apa sebenarnya uang itu kita cari?

Eldar Shafir, seorang ekonom perilaku dari Departemen Psikologi Universitas Princeton, menulis bahwa kemiskinan bukan hanya tentang kondisi ekonomi, tapi juga tentang kondisi mental. Tekanan finansial menguras kapasitas berpikir manusia.

Di titik ini, jelas bahwa mengatur keuangan tanpa mengatur hidup hanyalah reaksi spontan terhadap kecemasan, bukan tindakan sadar menuju kestabilan.

Riset NUS Behavioral Study (2022) mengungkapkan bahwa 73% masyarakat berpenghasilan tinggi di Asia Tenggara merasa “selalu kekurangan waktu dan uang”, padahal mereka termasuk golongan 20% terkaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa keberlimpahan materi tidak otomatis membawa rasa cukup. Karena mengatur keuangan tanpa mengatur hidup sama saja seperti memperbaiki jam tangan yang rusak di ruangan tanpa cahaya. Kita sibuk membetulkan jarum, tapi tidak tahu bahwa arah waktunya sudah keliru.

Kegagalan dua seni ini, mengatur uang dan mengatur hidup sebenarnya berasal dari satu sumber yang sama yaitu kehilangan kesadaran diri. Mungkin, yang perlu diatur pertama kali bukan uang, bukan juga jadwal hidup, tetapi rasa cukup itu sendiri. Dan di situlah, seni hidup dan seni finansial akhirnya menemukan titik temu, yaitu keseimbangan yang tidak bisa dibeli.

Mengatur keuangan tanpa mengatur hidup adalah seperti mengatur air di ember bocor, untuk itu keduanya harus sejalan untuk diperbaiki dan dikembangkan. Tidak peduli seberapa hati-hati kita menuangnya, semuanya akan tetap terbuang jika lubang eksistensi tak pernah diperbaiki. Begitu pula sebaliknya jika mengatur hidup tanpa memahami keuangan ibarat menanam bunga di tanah tandus indah sebentar, tapi mudah layu. (*)