Oleh: Syarif Tjan
Direktur TJAN Institute, Pengamat Lingkungan dan Sosial
_____________
“Suplemen fiskal boleh ada, tapi kemandirian daerah harus tumbuh — sebab keberlanjutan tak mungkin lahir dari ketergantungan.” (Gubang)
Pemangkasan dana transfer ke daerah (TKD) yang mulai diwacanakan pemerintah pusat untuk tahun depan menimbulkan kegelisahan di banyak daerah. Di Maluku Utara, termasuk Kota Ternate, isu ini seperti alarm yang membangunkan dari tidur panjang ketergantungan fiskal.
Selama ini, dana transfer ibarat oksigen bagi daerah. Ia menghidupi belanja rutin, membayar gaji, dan menjaga roda pelayanan publik tetap berputar. Tapi oksigen itu tak selalu tersedia. Ia bisa menipis kapan saja, tergantung arah kebijakan fiskal nasional dan kemampuan negara menjaga defisit.
Padahal, bila mau jujur, TKD sejatinya hanyalah suplemen keuangan (penopang jangka pendek agar tubuh fiskal daerah tetap sehat). Sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah makanan pokok yang menumbuhkan kemandirian jangka panjang. Filosofinya sederhana: suplemen boleh ada, tapi kemandirian harus tumbuh — sampai akhirnya suplemen itu tak lagi dibutuhkan.
Sayangnya, sebagian besar daerah masih nyaman hidup dari suplemen itu. Pola pikir birokrasi lama (menunggu instruksi, menanti transfer, dan membelanjakan tanpa inovasi) masih mengakar. Pemerintah daerah sering berperan sebagai pelaksana pasif, bukan penggerak ide.
Di titik inilah gagasan Reinventing Government dari David Osborne dan Ted Gaebler kembali relevan. Pemerintah, kata mereka, seharusnya tidak sibuk mendayung, tapi mengemudikan perahu. Bukan sekadar menjalankan rutinitas administratif, melainkan menciptakan nilai publik dengan cara baru.
Jika dibaca dengan kacamata itu, pemangkasan TKD bukanlah bencana, melainkan undangan untuk bertransformasi. Pertanyaannya kini bukan lagi, “Dari mana uang akan datang?” melainkan, “Bagaimana kita bisa menciptakannya sendiri?”
Dan mungkin, jawabannya ada di tempat yang sering luput dari radar keuangan daerah: lingkungan hidup.
Menambang Emas Hijau
Selama ini, sektor lingkungan sering dipandang sebagai “pos pengeluaran.” Di situ uang keluar, bukan masuk. Namun, jika dikelola dengan visi baru, justru di sanalah tersimpan emas hijau (sumber ekonomi yang ramah bumi sekaligus menyehatkan fiskal daerah).
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) punya peluang untuk menjadi pelopor perubahan. Ia tak cukup lagi berperan sebagai “penjaga kebersihan,” melainkan harus berevolusi menjadi penggerak ekonomi hijau — lembaga yang melahirkan nilai ekonomi dari keberlanjutan.
Salah satu pintu masuknya adalah penerapan prinsip “polluter pays” (pencemar membayar). Prinsip ini sederhana dan adil: siapa yang mencemari, ia menanggung biaya pemulihannya. Di tingkat lokal, prinsip ini bisa diterjemahkan menjadi berbagai skema fiskal baru.
Misalnya, kontribusi lingkungan dari pelaku usaha hotel, restoran, bengkel, atau klinik yang belum memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Pemerintah bisa membangun IPAL komunal yang dikelola oleh Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), di mana pelaku usaha membayar biaya layanan pengolahan secara transparan. Pencemaran berkurang, lingkungan membaik, PAD bertambah.
Lebih jauh, DLH juga bisa mengembangkan jasa pemusnahan limbah B3 medis (seperti limbah dari rumah sakit, klinik, dan laboratorium) melalui pengoperasian insinerator yang berizin dan berstandar nasional. Skema ini tak hanya mencegah pencemaran berbahaya, tapi juga membuka sumber pendapatan baru yang sah dan berkelanjutan.
Tak berhenti di situ. Kota Ternate memiliki potensi besar dari pengelolaan sampah organik dan pesisirnya. Sampah organik bisa diolah menjadi kompos atau pakan maggot. Plastik dapat didaur ulang menjadi bahan bangunan alternatif. Minyak jelantah bisa disulap menjadi biodiesel. Bahkan ekosistem mangrove bisa dimonetisasi lewat skema blue carbon, di mana daerah yang menjaga pesisirnya mendapat kompensasi karbon dari dunia internasional.
Setiap inisiatif ini bisa menjadi sumber green revenue (pendapatan hijau) yang bukan hanya menambah kas daerah, tapi juga memperkuat ekonomi masyarakat. Prinsipnya sederhana: semakin bersih dan lestari kota, semakin sehat pula fiskalnya.
Selain itu, pemerintah daerah juga bisa memanfaatkan skema Environmental Fiscal Transfer (EFT) yang mulai diterapkan pemerintah pusat. EFT memberikan insentif bagi daerah yang menjaga ekosistem dan mengurangi emisi. Dengan demikian, menjaga alam bukan lagi beban moral, tapi investasi ekonomi yang nyata.
Inilah semangat Reinventing Government dalam konteks lingkungan: pemerintah bukan lagi sekadar pengatur, tapi entrepreneur publik — pencipta nilai dari keberlanjutan. Ia menata ulang cara pandang birokrasi: dari sekadar menegakkan aturan, menjadi lembaga yang menumbuhkan inovasi.
Model bank sampah berbasis komunitas, inkubator bisnis hijau, hingga kemitraan dengan UMKM daur ulang bisa menjadi langkah awal menuju pemerintahan yang enterprising. Pemerintah tak perlu melakukannya sendiri. Cukup menjadi katalis (memantik kreativitas masyarakat dan sektor swasta agar ikut berperan).
Realisme Hijau
Pemangkasan dana transfer memang mengkhawatirkan, tapi sesungguhnya ia mengandung pelajaran penting: ketergantungan fiskal hanya membuat daerah rapuh menghadapi perubahan.
Krisis fiskal adalah cermin yang memaksa pemerintah daerah melihat dirinya apa adanya (apakah selama ini benar-benar mandiri, atau sekadar hidup dari bantuan pusat?).
Ternate, dan Maluku Utara secara umum, punya kesempatan untuk membuktikan bahwa kemandirian bukan sekadar slogan. Dengan semangat Reinventing Government, pemerintah daerah bisa berubah menjadi organisasi yang lincah, inovatif, dan berorientasi pada nilai.
Dengan mengelola lingkungannya secara cerdas, Ternate bisa menambang emas hijau dari tanahnya sendiri tanpa harus merusak alam.
Menjaga lingkungan bukan lagi sekadar kewajiban moral, tapi strategi ekonomi. Di era ekonomi rendah karbon, daerah yang cepat beradaptasi akan memimpin; yang lambat, akan tertinggal.
Dan barangkali, dari tanah, air, dan udara yang dijaganya sendiri, Ternate akan menemukan jalannya menuju kemandirian sejati dengan napas hijau yang tak bergantung pada oksigen dari pusat.
Akhirnya, kemandirian fiskal akan lahir dari keberanian meninggalkan cara lama: dari mental “menunggu transfer” menuju mental “menciptakan nilai.”
Catatan:
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis, dan tidak mewakili pandangan atau kebijakan institusi mana pun, termasuk Dinas Lingkungan Hidup Kota Ternate. (*)
Tinggalkan Balasan