Oleh: Yahya Alhaddad, S. Sos, Msi
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti Partai Perindo nomor urut 03
Pragmatisme sendiri merupakan gerakan filsafat abad modern, lahir di Amerika Serikat, dicetuskan oleh C.S. Pierce yang mendapat inspirasi dari pemikiran Immanuel Kant. Ia berkembang melalui pemikiran-pemikiran sejumlah tokoh seperti John Locke, Gorge Berkley, David Hume, William James dan John Dewey.
Dalam perkembangannya, pragmatisme berasumsi bahwa kebenaran, arti, nilai dari suatu gagasan harus berdasarkan dari segi praktisnya. Berdasarkan asumsi ini, maka ada sebuah hipotesis bahwa apa yang terjadi dalam dunia perpolitikan… sarat akan nilai pragmatisme (Miftah. F Hadinatha, 2018).
Richard Rorty (1988), seorang penerus tradisi pragmatisme Amerika punya pendapat menarik terkait etika dan pragmatisme. Baginya, seseorang tidak perlu hal-hal metafisik, seperti Tuhan untuk memiliki etika dan moral yang baik. Pernyataan ini seperti diinspirasi oleh salah satu pengembang pragmatisme sebelumnya, John Dewey. Menurutnya tidak ada nilai keagamaan, kaidah moral dan etika yang tetap dan mutlak (Uyoh Sadulloh, 2007:123).
Pandangan tersebut dapat dipahami bahwa pragmatisme menunjukkan tidak adanya keterlibatan Tuhan dari perilaku. Dalam konteks politik, pragmatisme menampilkan sisi perilaku politisi berjubah agamais dadakan. Nilai keagamaan dilibatkan sebagai symbol ketaatan terhadap Tuhan, akan tetapi dibalik jubah mereka ada hasrat besar yang bisa jadi sebelumnya atau suatu kelak saat menduduki jabatan kerap mengorbankan kepentingan publik.
Hal itu setidaknya dapat dilihat dalam beberapa aspek penting seperti; perilaku aktor politik yang terlihat sangat masif menjelang pemilu, koalisi partai, perilaku politikus saat menjabat di kursi pemerintahan. Fenomena ini kemudian melahirkan citra bahwa politik berada pada kondisi degradasi akan nilai etika, moral, norma-norma kehidupan dan terutama dari sisi religius.
Dinamika perilaku pragmatisme ini dapat diamati di panggung politik (masa kampanye). Seperti saya tunjukkan pada artikel sebelum bertajuk: “Tiga Bulan Menjadi Orang Baik”, dimana ada “orang baik dadakan” yang menampil sisi moral, etika padahal sebelum-sebelumnya tidak seperti demikian—bahkan membuat perbatasan dengan masyarakat.
Misalnya calon legislatif, banyak yang menyadari bahwa mereka kurang dikenal kemudian menggunakan cara cepat agar dapat terkenal dan mendapat perhatian. Untuk mendapat perhatian dari masyarakat mereka memberikan sesuatu yang konkrit yakni pemberian kebutuhan pokok, melakukan kegiatan sosial yang bersifat gratis, pertunjukkan hiburan rakyat, kompetisi olahraga dan bahkan politik uang.
Beberapa lembaga seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), misalnya, mencatat bahwa pada Pemilu 2009, caleg merupakan aktor utama (82%) dari pelaku politik uang dalam pengertian membeli suara (vote buying)(Husein 2012). Perilaku politisi yang menghalalkan segala cara demi untuk kepentingan saat pemilu, maka terjadi adalah sogok menyogok sesama caleg maupun penyelenggara.
Kuskridho, menyebutnya dengan politik karte, yaitu politik yang tidak mengurus kepentingan publik, melainkan berprofesi untuk mengurus kepentingan pribadi dan golongan. Sikap pragmatisme tersebut, adalah bukti yang memperlihatkan bahwa perilaku politisi kita begitu jauh dari etika politik, disebabkan ranah perpolitikan didominasi oleh aging politicians, patron-kilen dan politik dinasti (baca: Hegemoni Kaum Tua).
Politik pragmatisme adalah praktek perpolitikan yang mengabaikan politik gagasan, mencederai nilai demokrasi, menyabotase partisipasi masyarakat, dan pembangunan berkeadilan akan dalam keadaan mandek disumbat oleh kepentingan pribadi. Pada konteks ini dapat dikatakan bahwa, bangsa ini tengah dilanda krisis intelektual dan moral figur publik. Implikasinya adalah tidak adanya intervensi signifikan sebagai upaya memperjuangkan masyarakat adil dan makmur. (*)
Tinggalkan Balasan