Oleh: Ardi Turege
Ketua UKM LDRS FH UMMU, Wakil Presiden BEM FH UMMU, Pegiat Law Fhighters Comunity

___________________

DI ujung timur Indonesia. Pulau Morotai, menjadi gerbang dari luasnya lautan samudera pasifik, menjadikan sebuah mutiara di timur Indonesia. Morotai dikenal karena keindahan lautnya, sejarah perjuangan, dan potensi pariwisatanya yang luar biasa. Namun, di balik lanskap tropis yang menawan dan senyum hangat masyarakatnya, terselip sebuah ironi yang tajam penghidupan masyarakat yang perlahan-lahan terkikis oleh bayang-bayang tambang besi yang mengancam keseimbangan alam dan sosial di bumi Morotai.

Kemakmuran semu dari perut bumi timur Indonesia. Tambang besi yang digadang-gadang sebagai jalan pintas menuju kemajuan ekonomi, pada akhirnya hal itu, tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat kecil. Di atas kertas, investasi tambang membawa janji: lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, hingga peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Namun, di balik itu semua, yang akan tumbuh justru kesenjangan, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial yang kian mencolok.

Pulau Morotai adalah permata di ujung Maluku Utara, dikenal sebagai tanah dengan sejarah panjang dan kekayaan alam yang melimpah. Lautnya biru jernih, hutannya lebat, dan masyarakatnya hidup dari tradisi maritim dan pertanian yang sudah diwariskan turun-temurun. Namun, keindahan itu kini tergantung di ujung tanduk. Sebuah ironi tajam menyayat kehidupan masyarakat: di balik janji kemajuan dan investasi pemerintah daerah periodesasi 2024/2029. Ada kabar duka yang datang terdengar dari seluruh warga yang ada di penjuru dan pelosok desa, yakni; masuknya izin tambang besi, tersembunyi bayang-bayang kerusakan dan ketidakadilan.

Fakta: Seluruh warga Morotai menggantungkan hidup pada laut, pertanian, dan pariwisata, kini akan berhadapan dengan realitas baru laut akan tercemar, tanah akan  kehilangan kesuburannya, dan wisatawan mulai menjauh karena degradasi lingkungan. Ikan-ikan yang dulunya mudah ditangkap kini akan sulit didapat, padahal laut adalah nadi kehidupan bagi nelayan dan warga Morotai.

Janji manis yang menjadi kebohongan: Masuknya perusahaan tambang besi ke Morotai, dibungkus dalam narasi pembangunan. Pemerintah daerah dan investor menjanjikan lapangan pekerjaan, peningkatan ekonomi lokal, serta infrastruktur yang lebih baik. Namun, realitas di lapangan akan jauh dari janji manis tersebut. Di desa-desa pesisir yang menjadi target eksplorasi, masyarakat akan merasakan dampak yang berbahaya.

Hadirnya Tambang. Dengan dalih pembangunan dan investasi, perusahaan-perusahaan tambang mulai melirik Morotai sebagai ladang eksploitasi baru. Pemerintah daerah, yang semestinya menjadi pelindung rakyat, justru ikut bersuara dalam barisan pendukung industri tambang. Mereka membawa narasi kemajuan: lapangan kerja, pendapatan daerah, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, kenyataannya di lapangan jauh dari itu.

PENGINGAT DAN ALARM UNTUK PEMERINTAH DAERAH MOROTAI !!  Morotai bukan sekadar daratan kosong yang siap digarap, ia adalah rumah bagi masyarakat yang terdiri dari 88 desa. yang memiliki hubungan spiritual dengan tanah, hutan, dan laut. Mereka menjaga wilayah leluhur bukan hanya karena nilai ekonomi, tapi karena nilai budaya dan keberlanjutan hidup bersama alam. Namun, dengan akan hadirnya tambang, menyebabkan ruang hidup itu akan dikoyak. Hal ini akan berimplikasi, banyak status tanah warga yang diambil satu persatu, dengan klaim masuk dalam wilayah industri.

PERTANYAAN MENGGERAKKAN??
Pertanyaan paling mengerikan bukanlah “apa yang akan didapat?” dari tambang, tetapi “apa yang akan tersisa?” ketika semua telah digali. Jika hutan telah habis, laut tercemar, dan tanah kehilangan kesuburan, maka berapa nilai sebenarnya dari besi yang diekspor??

“Di sinilah letak ironi terdalam: mereka yang selama ini menjaga alam, justru akan disingkirkan demi eksploitasi yang mengabaikan nilai-nilai keberlanjutan”.

Fakta:
Pengalaman di daerah lain menunjukkan pola yang nyaris selalu sama: hutan dibabat, sungai tercemar, dan masyarakat menderita penyakit akibat limbah tambang. Bila Morotai mengikuti jejak serupa, maka bukan hanya lingkungan yang akan hancur, tetapi juga masa depan generasi muda.

Alih-alih menciptakan kemakmuran jangka panjang, tambang seringkali hanya meninggalkan kerusakan permanen dan konflik sosial. Setelah sumber daya habis, perusahaan pergi—dan masyarakat ditinggalkan dengan tanah tandus dan air yang tak lagi bisa diminum.

Ironi Morotai bukan sekadar cerita lokal. Ia adalah potret dari persoalan yang lebih besar: bagaimana negara memperlakukan wilayah-wilayah pinggiran sebagai ruang eksploitasi, bukan ruang kehidupan. Di tengah krisis iklim global, pertambangan masif semestinya menjadi alarm, bukan solusi.

Morotai Harus Dihidupi, Bukan Diperah:
Morotai membutuhkan pembangunan, tapi bukan dengan cara  yang merampas. Karena, pembangunan sejati adalah yang mendengar suara rakyat, menghargai alam, dan menjamin keberlanjutan. Tambang besi boleh jadi menghasilkan keuntungan dalam hitungan tahun, tapi apa arti semua itu jika yang dikorbankan adalah kehidupan yang telah dijaga selama berabad-abad?

Kekayaan sesungguhnya dari Morotai bukan terletak pada besi di perut bumi, melainkan pada kehidupan yang berakar dari tanah, laut, dan langitnya. Pada masyarakat yang hidup dengan kearifan lokal. Pada keberlanjutan, bukan pada angka-angka pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Masyarakat Morotai tidak menolak kemajuan. Yang mereka tolak adalah kemajuan yang datang dengan menghancurkan tanah, laut, dan martabat mereka. Inilah ironi mendalam yang sedang mereka hadapi—dan yang harus kita dengarkan.

Ironi yang akan dialami Morotai adalah potret dari banyak wilayah lain di Indonesia — tempat di mana pembangunan tidak lagi menjadi jalan keadilan, melainkan alat legitimasi perampasan. Dan selama tambang masih dipaksakan tanpa mendengarkan suara masyarakat, maka luka ini akan terus menganga.

Solusinya: SALUS POLULIS SUPREMA LEX EXTO KESELAMATAN RAKYAT ADALAH HUKUM TERTINGGI.

OLEH KARENA ITU, pemerintah daerah sebagai pelindung warga Morotai harus mengambil sikap dan Menolak izin usaha pertambangan ini. (*)