Oleh: Rabbi S. Kamarullah, S.Pd
Alumni IAIN Ternate
________________
BARU-baru ini kita dihebohkan dengan sebuah video yang mendiskreditkan profesi guru dengan ucapan bahwa “guru hanyalah beban negara.” Pernyataan semacam ini tentu menimbulkan kegelisahan sekaligus kekecewaan yang mendalam, terutama bagi para guru dan juga kita semua yang pernah merasakan didikan mereka.
Mari kita jujur: adakah seorang pemimpin, dokter, insinyur, pengusaha sukses, atau bahkan pejabat tinggi yang tidak pernah merasakan didikan seorang guru? Tidak ada! Semua orang hebat lahir dari ruang kelas sederhana, dari coretan kapur putih di papan tulis, dan dari suara sabar seorang guru yang tak pernah lelah mengulang-ulang penjelasan.
Ironisnya, banyak guru di pelosok negeri tetap berjuang dengan segala keterbatasan. Mereka rela mengabdikan diri meskipun kesejahteraan jauh dari kata ideal. Di balik tugas mulia itu, banyak guru terutama guru honorer harus hidup dalam keterbatasan. Gaji mereka seringkali hanya berkisar Rp300.000 hingga Rp500.000 per bulan, bahkan ada yang baru dibayar setiap tiga bulan sekali. Jumlah itu jelas jauh dari kata layak, apalagi jika dibandingkan dengan tanggung jawab besar yang mereka pikul. Namun, dedikasi itu tetap tulus dijalankan demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Apakah pengorbanan semacam ini pantas disebut sebagai “beban”? Dan bahkan lebih pahit lagi, dari gaji yang sudah sangat minim tersebut, mereka tetap dikenakan potongan pajak. Artinya, mereka bukan saja mendidik anak bangsa, tetapi juga ikut menyumbang langsung pada pembangunan negara.
Lalu siapa sebenarnya beban negara? guru yang dengan ikhlas mendidik meski dengan gaji pas-pasan ataukah justru para pejabat yang korup, yang menyelewengkan anggaran, merugikan negara, dan menyengsarakan rakyat.
Jika mau jujur, kerugian terbesar negara bukanlah dari guru, melainkan dari para pejabat yang tidak amanah. Mereka hidup dengan fasilitas mewah, gaji besar, tunjangan melimpah, namun sebagian justru tega menyelewengkan uang rakyat. Sementara itu, para guru tetap setia mengabdi di kelas, meski gaji kecil sering kali tak sebanding dengan pengorbanannya.
Sesungguhnya, menyebut guru sebagai beban adalah sebuah bentuk diskriminasi sekaligus pengingkaran terhadap jasa yang begitu besar. Padahal, setiap orang hebat di negeri ini lahir dari tangan seorang guru. Bagaimana mungkin sebuah profesi yang menjadi ujung tombak pendidikan bangsa dianggap sebagai beban?
Guru bukan hanya sekadar mengajarkan ilmu baca, tulis, dan hitung. Lebih dari itu, mereka membentuk karakter, menanamkan nilai moral, serta membimbing generasi muda untuk tumbuh menjadi manusia yang berilmu dan berakhlak. Guru adalah sosok yang tetap setia meski sering diperlakukan tidak adil. Mereka tidak menuntut hidup mewah, tidak meminta fasilitas berlebihan. Yang mereka butuhkan hanyalah penghargaan, perhatian, dan keadilan. Namun sayangnya, justru suara mereka sering kali tidak didengar. Mereka dijadikan slogan di hari peringatan tertentu, dipuji sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi di hari-hari lainnya kembali dilupakan.
Guru adalah penopang peradaban karena dari tangan merekalah lahir generasi yang berilmu, berakhlak, dan berkarakter. Setiap kemajuan bangsa selalu berawal dari ruang kelas sederhana, dari sabar dan tekunnya seorang guru menanamkan nilai ilmu pengetahuan. Peradaban besar tidak dibangun dengan kekayaan semata, tetapi dengan pendidikan yang kokoh dan pendidikan itu berdiri tegak di atas pengabdian para guru.
Tanpa guru, ilmu tidak akan diwariskan, dan nilai moral tidak akan ditanamkan. Jika tidak ada guru, maka yang tersisa hanyalah kebodohan yang bisa menghancurkan masa depan bangsa. Oleh karena itu, menyebut guru sebagai “beban negara” adalah bentuk pengingkaran terhadap profesi dan fakta sejarah, karena justru guru lah yang menjaga nyala api peradaban agar tidak padam.
Guru adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Mereka mewariskan ilmu dari generasi sebelumnya, menanamkannya pada generasi sekarang, lalu mempersiapkan generasi berikutnya untuk melanjutkan perjalanan bangsa. Itulah mengapa guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga penjaga peradaban yang memastikan nilai-nilai luhur tidak hilang ditelan zaman.
Menghargai guru bukan sekadar kewajiban, tapi kebutuhan. Karena tanpa guru, negeri ini akan kehilangan arah, dan masa depan akan jatuh ke dalam kegelapan. Menghargai guru berarti menghargai masa depan kita sendiri. Mari hentikan stigma negatif dan diskriminasi terhadap guru. Sekali lagi mereka bukan beban, melainkan tombak peradaban. (*)
Tinggalkan Balasan