Oleh: Zahra Riyanti
Pemerhati Muslimah

______________

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap kasus besar: dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di salah satu bank milik negara senilai fantastis, Rp 2,1 triliun, untuk periode 2020–2024. Dari total proyek tersebut, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 700 miliar, atau hampir sepertiga anggaran. Penggeledahan telah dilakukan di kantor pusat bank terkait dan perusahaan vendor, dengan hasil sitaan berupa dokumen, barang bukti elektronik, uang tunai Rp 5,3 miliar, dan bilyet deposito senilai Rp 28 miliar. KPK juga mencegah 13 orang bepergian ke luar negeri, termasuk mantan pejabat tinggi bank.

Kasus ini kembali menegaskan bahwa korupsi di Indonesia bukanlah peristiwa sporadis, melainkan penyakit struktural yang sudah mengakar. Mekanisme pengadaan yang semestinya transparan justru disalahgunakan: biaya diduga digelembungkan, vendor dipilih tidak berdasarkan kualitas, dan kebutuhan riil diabaikan demi keuntungan segelintir pihak.

Ironisnya, perbuatan ini dilakukan di lembaga keuangan negara yang seharusnya menjadi benteng integritas. Kerugian sebesar Rp 700 miliar bukan sekadar angka itu berarti hilangnya dana yang bisa digunakan untuk menyalurkan kredit UMKM, meningkatkan layanan perbankan desa, atau memperkuat sistem digital nasional.

Islam memandang pengelolaan harta publik sebagai amanah agung. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil…” (QS. Al-Baqarah: 188).

Rasulullah Saw juga mengingatkan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas amanahnya (HR. Bukhari & Muslim). Dalam logika syariat, korupsi bukan hanya tindak pidana, tetapi juga dosa besar yang merusak kemaslahatan umat.

Penggelapan dana publik adalah bentuk khianat yang jelas. Uang negara adalah hak rakyat termasuk hak fakir miskin, petani, nelayan, guru, dan tenaga kesehatan. Setiap rupiah yang diambil secara zalim akan menjadi beban di akhirat, sebagaimana sabda Nabi Saw.

Barang siapa mengambil hak orang lain dengan sumpahnya, maka Allah wajibkan ia ke neraka dan haramkan surga baginya.” (HR. Muslim).

Islam tidak hanya mengutuk pelaku korupsi, tetapi juga mengatur sistem yang mencegahnya. Dalam sejarah pemerintahan Islam, pengadaan barang dilakukan dengan ketat: transparansi, audit terbuka, larangan monopoli, dan hukuman tegas bagi pengkhianat amanah. Khalifah Umar bin Khattab bahkan memeriksa kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat untuk mencegah penyelewengan.

Pemberantasan korupsi di negeri ini tidak cukup hanya dengan menindak oknum. Harus ada perubahan sistem yang memastikan dana publik dikelola dengan amanah dan diawasi ketat. Transparansi pengadaan, pembatasan konflik kepentingan, dan keterlibatan publik dalam pengawasan menjadi keharusan.

Kasus EDC bank pelat merah adalah cermin retaknya moralitas dan lemahnya tata kelola. Selama sistem ini dibiarkan berlubang, pelaku akan terus berganti wajah, tetapi perilaku korup akan tetap berulang. Islam mengajarkan bahwa amanah adalah tanggung jawab besar yang harus dijaga, bukan ladang untuk memperkaya diri. Negara yang ingin bersih dari korupsi harus berani mengadopsi nilai-nilai syariat dalam pengelolaan harta publik keadilan, transparansi, dan hukuman setimpal agar harta umat tidak terus dirampas di meja-meja gelap kekuasaan. (*)