Oleh: Juhaimi Bahrid, S.S

_______________

KURANG lebih 20 bulan sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini (Juli 2025), genosida di Palestina belum juga usai, kondisinya justru semakin memprihatinkan. Korban sejak saat itu hingga kini telah melampaui 58.000 orang (Tempo.co, Juli 2025).

Ditambah lagi, otoritas militer Israel mengeluarkan larangan bagi warga Palestina di Jalur Gaza untuk mendekati pusat-pusat distribusi bantuan. Hal ini disampaikan oleh Juru Bicara Militer Israel, Avichay Andraee, pada platform X, bahwa penutupan pusat distribusi dilakukan untuk keperluan renovasi, reorganisasi, dan peningkatan efisiensi. Penutupan itu terjadi sehari setelah militer Israel dilaporkan menyerang sekelompok warga Palestina yang sedang menunggu bantuan di Bundaran Al-Alam, Rafah Selatan Gaza, yang menewaskan sedikitnya 27 orang (29 Juni 2025, BeritaSatu.com).

Kantor media pemerintah Gaza juga menyatakan bahwa sejak 27 Mei 2025, serangan-serangan Israel di sekitar pusat distribusi bantuan yang dikelola oleh GHF (Global Humanitarian Foundation) dan didukung oleh Israel dan Amerika Serikat telah menyebabkan 102 orang gugur syahid dan mencederai 490 warga. (BeritaSatu.com, Juli 2025).

Pengkhianatan Penguasa Muslim

Sungguh memprihatinkan melihat kondisi yang terjadi di Palestina. Tanah mereka dirampas, nyawa mereka dihabisi. Setiap hari, darah bercucuran, air mata mengalir, dan kelaparan terus melanda. Bahkan kebanyakan korban terdiri dari wanita dan anak-anak. Genosida brutal ini terus terjadi karena pengkhianatan para penguasa Muslim saat ini. Para penguasa yang membuka lebar pintunya untuk para penjajah dengan menjalin hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat, yang merupakan tuan dari Zionis Israel.

Para penguasa Muslim terang-terangan mengikuti perintah AS dengan menandatangani Abraham Accords, yakni serangkaian perjanjian bilateral antara entitas Zionis dengan negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, Sudan, dan Suriah. Isi dari perjanjian ini menyebutkan bahwa negara-negara Muslim yang menandatangani akan membangun hubungan diplomatik dengan Israel dan mengakhiri konflik tersebut. Inti dari Abraham Accords adalah pengakuan terhadap kedaulatan Zionis dan normalisasi hubungan dengan entitas penjajah.

Ini merupakan pengkhianatan besar para penguasa Muslim terhadap saudara-saudara mereka di Palestina.

Konflik Iran-Israel & Solusi Palsu

Perang antara Iran dan Israel pun memperjelas bahwa tidak satu pun penguasa Muslim menolong Gaza. Bahkan gencatan senjata yang ditandatangani (Mei 2025) pun tidak menyebut nama Palestina di dalamnya. Maka dari itu, perang tersebut bukan untuk membela Gaza atau Palestina, melainkan murni untuk kepentingan Iran.

Sementara itu, penguasa di negeri-negeri Muslim lainnya termasuk Indonesia justru masih berpikir bahwa solusi dua negara (two-state solution) adalah jalan keluar bagi kemerdekaan Palestina. Mereka seolah pura-pura lupa sifat asli entitas Zionis Israel, yang merupakan ahlinya pelanggar perjanjian.

Solusi dua negara adalah solusi palsu, yang hanya membodohi umat. Zionis dan Amerika Serikat sampai kapan pun tidak akan menerima Palestina merdeka secara penuh. Begitu pula rakyat Palestina yang tulus dan lurus. Mereka tidak akan pernah rela sejengkal pun tanah kaum Muslimin diberikan kepada penjajah. Mereka tidak akan mengkhianati Perjanjian Umariyah dan pengorbanan para syuhada yang telah mempertahankan tanah suci itu dengan nyawa mereka.

Artinya, pembantaian akan terus terjadi dan perlawanan tidak akan pernah surut.

Umat harus ingat, seruan solusi dua negara sudah dinarasikan sejak dulu, dan sepanjang itu pula pembantaian tak kunjung berhenti. Lantas, masihkah kita berharap pada solusi dua negara?

Khilafah: Solusi Hakiki

Umat harus sadar, fokus, dan percaya bahwa satu-satunya solusi hakiki untuk Gaza dan Palestina adalah kembalinya Khilafah Islamiyyah yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Hanya dengan Khilafah, komando jihad bisa ditegakkan.

Sejarah telah membuktikan, sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga Khilafah Utsmaniyah, Palestina berhasil dibebaskan dan dilindungi melalui jihad. Namun, setelah keruntuhan Khilafah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924, Palestina kembali menjadi sasaran empuk Barat. Dan sejak saat itu, tidak ada satu pun negara Muslim yang mengirimkan kekuatan militer untuk membela Gaza.

Pembantaian di Gaza hari ini (2023–2025) seharusnya menjadi momen kebangkitan kesadaran umat bahwa berharap pada solusi Barat hanyalah ilusi dan menjauhkan kita dari solusi hakiki. Solusi sejati adalah menghadirkan kembali Khilafah, sebagai warisan Nabi ﷺ, yang telah terbukti menjadi perisai umat dan membawa kepada kebangkitan hakiki.

Umat harus mendukung dan terjun langsung dalam perjuangan menegakkan Khilafah bersama kelompok dakwah ideologis. Inilah bukti keseriusan menolong Gaza, sekaligus mengangkat umat dari keterpurukan akibat hidup di bawah sistem sekuler kapitalisme.

Dengan Khilafah, umat akan menghapus batas nasionalisme, bersatu dalam ukhuwah Islamiyah, dan bergerak dalam satu komando jihad global mengirimkan militer, dana, senjata, dan strategi tanpa sedikit pun bergantung pada solusi Barat. Wallahu a’lam bishawab. (*)