TERNATE, TN – Ketua Bawaslu Maluku Utara, Masita Nawawi Gani membantah tuduhan terhadap dirinya yang berpihak ke salah satu pasangan calon Presiden. Ia mengatakan, foto yang menyebar luas di mana ia menujukkan satu jari adalah foto lama. Foto tersebut, kata dia, diambil ketika beberapa pemuda dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) bekunjung ke rumahnya dalam rangka menjalin silaturahmi, karena kebetulan bertepatan dengan digelarnya musyawarah GMNI.
“Foto itu di saat anak-anak GMNI ada datang silaturahmi di rumah. Waktu itu menjelang musyawarah GMNI Maluku Utara. Jadi kalau bilang bahwa itu foto angkat satu jari saya rasa tidak benar. Itukan hanya jempol di saat foto yang kita bilang mantap aja sebagai bentuk dukungan saya,” katanya.
“Selama ini saya jaga dalam hal foto segala macam. Kalau saya menganggap itu simbol yang menunjukkan dukungan saya kepada salah satu paslon, pasti saya tidak akan berani mengangkat jari. Waktu itu saya hanya bilang jempol saja,” sambungnya menegaskan.
Ia meyakini, gerakan jari yang terpampang dalam gambar foto tersebut tidak dilarang dalam Undang-Undang Pemilu. Bahkan dirinya mempersilakan jika ada pihak yang melaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). “Kalau memang saya mau dilaporkan, sebagai penyelenggara pemilu, saya siap. Saya rasa untuk mendukung salah satu paslon itu tidak ada. Kalau satu jari jelasnya itu jari syahadat. Dua jari ditambah dengan jari tengah dan tiga jari ditambah sebelahnya jari telunjuk. Saya yakin simbol yang saya angkat tidak dilarang,” tambahnya menjelaskan.
Sementara Itu
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, sikap Masita Nawawi Gani dipertanyakan setelah fotonya itu menyebar luas. Ia akhirnya diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) oleh Alumni Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP). Ketua Bawaslu Maluku Utara itu dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) lantaran diduga berpose menggunakan simbol jari yang dilarang.
Selain Masita, salah satu anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Ibu, Kabupaten Halmahera Barat, pun berpose dengan simbol jari yang sama. Keduanya diduga telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu yang diatur dalam Undang-undang Pemilu, dan bertindak tidak profesional.
Alumni SKPP Malut, Irfandi Mustafa, menilai sebagai penyelenggara pemilihan umum (pemilu), seharusnya Bawaslu mempunya integritas untuk menjalankan tugas dan wewenang yang diemban. Sayangnya, persoalan netralitas penyelenggara pemilu selalu terjadi dalam tahapan pemilu.
“Netralitas penyelenggara pemilu harus dijaga dan dipegang teguh, karena merupakan modal sangat penting dalam mengawal tegaknya demokrasi Maluku Utara. Karena itu, sebagai lembaga penyelenggara pemilu, Ketua Bawaslu Malut dan salah satu anggota PPK Ibu, seharusnya bertindak secara profesional. Apalagi lagi sekarang sudah masuk pada masa kampanye peserta pemilu,” ujar Irfandi kepada Nuansa Media Grup (NMG), Kamis (18/1).
Senada, Alfian M Ali pun mengaku, kedua penyelenggara tersebut telah melanggar kode etik dengan menggunakan simbol jari yang dilarang sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 2 Tahun 2017 dalam Pasal 8 huruf E, yakni tidak memakai, membawa, atau mengenakan simbol, lambang atau atribut yang secara jelas menunjukkan sikap partisan pada partai politik atau peserta pemilu.
“Olehnya itu, kami mendesak kepada DKPP agar memanggil dan memeriksa Ketua Bawaslu Maluku Utara dan mendesak KPUD Halmahera Barat untuk memeriksa salah satu anggota PPK Kecamatan Ibu tersebut,” tandas Alfian. (ano/rii)
Tinggalkan Balasan