Oleh: Igrissa Majid
Founder Indonesia Anti-Corruption Network
_____
PERISTIWA OTT terhadap Gubernur Maluku Utara (Malut) dan kroninya beberapa waktu lalu merupakan babak paling mengerikan sekaligus menggembirakan, karena selama ini mereka yakin akan sulit dijangkau penegak hukum. Namun, di luar dugaan, harus menerima akibat: terkurung di ruang gelap dan pengap.
Mulanya mereka terkoneksi dalam satu gugus kekuasaan, kemudian berkolusi dalam misi korupsi yang masif, dan membual publik untuk mendapat manfaat yang lebih. Tapi siapa sangka, kekuasaan yang dikendalikan justru menjadi badai yang menggilas satu persatu. Peristiwa ini mengingatkan saya dengan perkataan Frank Herbert (1965), bahwa pada dasarnya korupsi secara mendasar menghubungkan semua orang yang memiliki kekuasaan politik. Kekuasaan bersifat magnetis bagi mereka yang ketagihan korupsi, dan memang orang paling korup cenderung tertarik pada kekuasaan.
Demikian Friedrich Hayek juga mengemukakan hal serupa dalam bab ‘’Mengapa yang terburuk menjadi yang teratas,” sebagaimana dalam bukunya The Road to Serfdom (1943), di mana ekonom dan ahli filsafat politik kelahiran Austria ini menyinggung individu yang menduduki puncak pemerintahan adalah mereka yang ingin memegang kekuasaan, dan mereka juga merupakan orang yang paling kejam menggunakan kekuasaan itu.
Penjelasan Hayek persis dengan kondisi Malut saat ini, di mana “yang terburuk” sedang berkuasa telah merusak sistem dengan nilai kerugian negara miliaran rupiah. Bayangkan, semua yang diduga terlibat dalam praktik gelap itu seperti biasa, merasa semuanya akan berakhir baik-baik saja.
Memang, jika politisi atau pejabat publik mempunyai kesempatan untuk memperkaya diri sendiri, maka mereka cukup bermurah hati untuk saling berbagi satu sama lain. Mereka tidak memandang korupsi sebagai problem impersonal yang mengancam eksistensi negara. Justru sebagai kebiasaan yang wajar dan dimafhumi dalam sudut pandang lokal (Susan Rose-Ackerman, 2010).
Perilaku berlebihan ini kita temui di hampir semua pejabat di Malut. Mereka merugikan negara dalam skala yang besar, sekaligus perlahan mengancam semua sektor kehidupan masyarakat. Ironisnya, praktik tersebut dianggap suatu kewajaran individual dalam kekuasaan. Hal ini misalnya dapat dilihat pada pembelaan dari individu maupun kelompok tertentu sebelum dan sesudah KPK menetapkan tersangka terhadap beberapa pejabat Malut. Mereka tidak melihat praktik berlebihan itu dalam kondisi sosio-politik sebagai sesuatu yang menyeramkan.
Perspektif ini mirip dengan penelitian Daniel J. Smith, Profesor antropologi dari Brown University, dalam bukunya Kinship and Corruption in Contemporary Nigeria (2001) yang mendeskripsikan persoalan korupsi di Nigeria. Smith menemukan praktik korupsi kuat tertanam dalam “perilaku patronase sehari-hari” yang berelasi langsung dengan jaringan sosio-kultural dan keterikatan afektif, sehingga memicu dilema bagi masyarakat harus tetap bertahan di tengah siklus kekuasaan yang korup.
Sebagai pegiat anti korupsi, saya melihat ada keserupaan praktik korupsi dalam pengamatan Smith, bahwa upaya saling mendukung dan melindungi sesama koruptor memang benar-benar terjadi. Mereka berkompromi dalam satu rangkaian kepentingan yang sama, melanggengkan korupsi sebagai sarana memperkaya diri, dan tidak memikirkan segala risiko hukum yang akan menjerat.
Sebut saja misalnya, contoh dugaan kasus suap untuk proses perizinan pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah senilai Rp 1,69 triliun yang melibatkan Walikota Ternate Tauhid Soleman, Sekretaris Kota Ternate Rizal Marsaoly, dan Ketua DPRD Kota Ternate Muhajirin Bailussy (nuansamalut.com, 2024). Kemudian contoh kasus lain seperti dugaan korupsi yang melibatkan Sekretaris Daerah Halmahera Barat, Syahril Abdul Radjak, terkait pinjaman Pemkab Halmahera Barat 2017 sebesar Rp 159,5 miliar (tandaseru.com, 2023).
Keempat pejabat publik di atas, dua di antaranya punya tujuan politik yang sama, yakni akan bertarung merebut kursi kekuasaan sebagai orang nomor satu di kota Ternate. Sebut saja Syahril Abdul Radjak yang gencar membuat wacana populer untuk meraih simpati dan kekaguman publik. Padahal di balik dugaan kasus korupsi yang melibatkan dirinya adalah paradoks politik yang sangat bertentangan nilai moral dan etika kekuasaan.
Dalam tinjauan akademik, saya berguru pada pemikiran Mark Granovetter yang diuraikan Susan Rose-Ackerman dalam tulisannya di Yale Law Journal, Corruption: Greed, Culture, and State (2010). Menurut sosiolog dari Stanford University ini, bahwa pola korupsi dalam bentuk apapun untuk mementingkan diri sendiri sebenarnya sangat bertentangan dengan tradisi yang sudah mapan di banyak masyarakat. Karena itu menurut Granovetter, setiap pemimpin terkemuka harus menghormati tradisi dengan menolak korupsi sebagai sebuah penghinaan.
Sementara dalam skandal lain di Malut, kita dapat melihat temuan Badan Pemeriksa Keuangan terkait ketidakwajaran pembayaran hibah barang dengan 92 penerima di luar SK Gubernur Malut, termasuk kejanggalan atas anggaran bantuan sosial (Bansos) senilai Rp 6.158.257.954,00 yang tidak sesuai peruntukanya (penaMalut.com, 2024). Kemudian bantuan serupa senilai Rp 26 miliar, yang melibatkan lebih dari satu instansi di lingkungan Provinsi Malut, termasuk pihak penerima (nuansamalut.com, 2023).
Demikian dengan seabrek skandal korupsi di kabupaten/kota lain, hingga saat ini tidak mendapat dukungan penindakan yang maksimal dari lembaga penegak hukum. Memang Malut dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi daerah dengan budaya praktik korupsi yang tidak terhindarkan, tertinggi, dan sulit teratasi, karena para pejabatnya terus berupaya untuk menutupi segala kebohongan yang mulai terendus publik.
Inilah strategi politik bandit berdasi, sengaja menciptakan alternatif lain untuk menyembunyikan dugaan kerugian negara melalui sarana kekuasaan, bahkan masuk dalam ruang interaksi sosial dengan bungkusan amal; berupa sumbangan, bantuan rumah ibadah, maupun kerja-kerja volunteristik, sembari menggaet simpati publik untuk mempertahankan jabatan. Nggak bahaya ta? (*)
Tinggalkan Balasan