Igrissa Majid
(Founder Indonesia Anti-Corruption Network)
Suap-menyuap terkait jabatan dan kepentingan demi memperlancar rencana tender proyek, merupakan tindak pidana korupsi. Undang-Undang No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) secara eksplisit melingkupi tujuh jenis tindak pidana korupsi salah satunya adalah, masalah suap. Enam lain di antaranya, kerugian negara; gratifikasi; benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa; pemerasan; perbuatan curang; dan penggelapan dalam jabatan.
Dibandingkan dengan keenam jenis tindak pidana korupsi tersebut, pasal mengenai suap-menyuap memiliki kekhususan, baik dari sisi pelaku hingga jenis ancaman hukuman. Menurut Ali dan Yuherawan (2021) Kekhususan itu mencakup antara pemberi dan penerima suap sama-sama dikenakan delik; objek yang digunakan dapat berupa janji atau hadiah: adanya mens rea (atau niat jahat); penerimanya adalah penyelenggara negara, hakim, maupun advokat; terkait jabatan; tidak ada beban pembuktian; dan operasi tangkap tangan. Maka, sejajar dengan penjelasan ini, skandal suap yang diterima Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba (AGK), secara delik terpenuhi.
Tapi saya tidak mau melampaui penegak hukum. Saya merangkum dari sisi yang berbeda, dengan menggunakan konteks yang lebih doktrinal, untuk mengejawantahkan ke dalam perspektif kejahatan keuangan negara. Katakan misalnya, beredarnya rumor bahwa, praktik yang dilakukan AGK sudah lama terjadi selama dua periode berkuasa. Bahkan sering diperantarai oleh keluarga maupun orang terdekat lainnya. Sebagai penyelenggara negara di tingkat daerah, ia bersembunyi di balik takhta, terkenal saleh dan innocent. Namun pada akhirnya terkuak, ternyata mengontrol dan mengatur semua kebijakan untuk menumpuk harta.
Sebagai pejabat publik, tindakan yang dilakukan menurut saya tergolong dalam istilah kejahatan kerah putih (white collar crime). Sebuah terminologi yang dikemukakan Edwin Hardin Sutherland, kriminolog sekaligus sosiolog berkebangsaan Amerika, di depan pertemuan tahunan American Sociological Society ke-34 di Philadelphia, 27 Desember 1939. Apa yang diistilahkan Sutherland ini mampu merespons semua fenomena korupsi yang semakin mencolok di seluruh belahan benua. Termasuk ramainya dugaan korupsi di Maluku Utara hari-hari ini.
Kajian Sutherland, sederhananya dapat dilakukan siapa saja dengan latar sosial ekonomi yang berbeda, tetapi white collar crime umumnya dilakukan para profesional dan aparatur negara di ruang tertutup dan cukup sempurna, yang dimotivasi oleh seonggok keuntungan secara finansial. Menurut saya, sesempurna apapun sebuah kejahatan, pasti ada jejak yang tertinggal. Semua akan terungkap, semua akan tertangkap. Palingan hanya duduk termenung di penjara yang gelap gulita, merindu keluarga yang menanti di rumah: andai tak serakah dalam kuasa, nasib sial tak menimpa.
Dalam literatur yang paling umum, tindak pidana korupsi merupakan tindakan konkret dari kejahatan terhadap uang negara. Apa yang dilakukan AGK dan kroninya, meminjam ungkapan sosiolog Jean Baudrillard, semacam hyper-criminality. Ketika kejahatan dirancang sedemikian rupa, maka akan melampaui realitas hukum, akal sehat, dan nilai-nilai budaya. Dalam bukunya The Perfect Crime (1995) Baudrillard mengemukakan, ketika realitas itu terlampaui, maka kejahatan yang dilakukan berjalan sempurna, direncanakan, dikontrol, dan sangat terorganisir melalui berbagai modus, baik secara teknologi, manajemen, dan pengaruh atau kekuatan politik.
Skandal yang dilakukan AGK dan kroninya, dalam literatur pemberantasan korupsi, secara garis besar dapat dilihat dalam dua jenis, yakni grand corruption dan political corruption. Secara etimologi, pengertian grand corruption, jenis korupsi ini dilakukan pelaku dalam jumlah fantastis dengan nilai miliaran, yang merugikan negara dan berdampak terhadap masyarakat luas. Selain itu, jenis korupsi yang dilakukan tergolong sistemik dan terorganisir karena melibatkan lebih dari satu orang.
Sedangkan kategori political corruption, pelaku dengan sengaja menggunakan cara-cara politis untuk mengambil sebagian dari uang negara. Melalui kewenangannya, ia mencoba untuk memanipulasi desain anggaran, dan mengesampingkan aturan. Paling sederhana dalam praktik ini, yakni memiliki nilai tukar yang tidak sedikit. Kategori political corruption, di dalamnya termasuk praktik penyuapan dan perdagangan pengaruh (trading influence). Tapi, selain AGK yang sedapat mungkin termasuk dalam kategori ini, juga anggota DPRD yang memiliki jenis usaha tertentu, yang mudah mempengaruhi kebijakan demi kepentingan usahanya. Hati-hati!
Memang, dua varian korupsi di atas dilakukan dengan berbagai skenario. Menurut mantan Komisioner KPK, Laode M. Syarif dan Didiek Purwoleksono dalam buku Hukum Anti Korupsi, menguraikan bahwa modus operandi praktik korupsi semakin canggih, dimulai sejak penyusunan anggaran kemudian disusupi dengan praktik yang melenceng, baik di lingkup parlemen dan pemerintah. Mereka bermitra untuk menggelembungkan anggaran agar mendapat keuntungan pada saat implementasi proyek.
Apalagi skandal suap proyek pengadaan barang dan jasa yang anggarannya telah tercatat, jadwalnya akan segera ditentukan, dan pencairannya bisa berdasarkan kewenangan yang dimiliki AGK, sangat memungkinkan semua digamblingkan di awal waktu. Sejalan dengan penjelasan Laode M. Syarif dan Didiek Purwoleksono di atas, Indonesia Procurement Watch juga pernah mencatat bahwa, faktor penyebab terjadinya korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah disebabkan beberapa kelemahan, seperti cacatnya kerangka hukum dan lemahnya kelembagaan; ketidakcukupan kapasitas pengelola pengadaan barang dan jasa pemerintah; dan minimnya kepatuhan terhadap peraturan, pengawasan dan penegakannya.
Di samping tiga kelemahan di atas, faktor lainnya adalah soal ketiadaan akuntabilitas. Sebagaimana dirumuskan Robert Klitgaard, ekonom alumni Harvard University, dalam bukunya Controlling Corruption (1988), menyederhanakan penyebab korupsi dengan rumus C=M+D-A. C (corruption); M (monopoly); D (discretion); dan A (accountability). Dari rumus ini kita dapat memahami, tindak pidana korupsi terjadi disebabkan monopoli kekuasaan yang didukung oleh adanya kewenangan untuk mengambil keputusan, namun tidak ada pertanggungjawaban yang benar.
Sebagai navigator Maluku Utara, AGK hanya menghitung seberapa besar memperoleh keuntungan, siapa yang harus terlibat, tetapi lupa bagaimana harus bertanggungjawab. Gaya kepemimpinan, basis moralitas, dan nilai etika justru begitu tipis dalam dirinya selama bertakhta, rentan terhadap rayuan dan keserakahan. Di depan awak media, ia hanya dapat berucap, “ini risiko pejabat.” Seutas kalimat yang lazim diucapkan banyak orang, yang justru mendorong kehancuran. Dan, AGK terperosok dalam jurang konspirasi kepentingan pribadi di ujung kekuasaan, di mana sebagian publik yang antusias menanti akhir perjalanan kepemimpinannya, lantas bertepuk tangan: ooooh ancor dah!
Ya, begitulah! Divitiae te divitem faciunt, thronus te avarus facit, et mali duces calamitatem adferunt (Harta membuatmu kaya, takhta membuatmu serakah, dan pemimpin yang buruk membawa malapetaka). (*)
Tinggalkan Balasan