Oleh: Rabbiul Nguna Nguna
________________
Taman Tulang Ikan merupakan salah satu ruang publik paling strategis yang berada di Kelurahan Dufa-Dufa, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Keberadaannya tidak sekadar berfungsi sebagai taman rekreasi dan ruang bermain anak, tetapi juga menjadi ruang sosial, kultural, dan intelektual yang hidup. Pesona laut biru, bebatuan alami, serta deretan pepohonan menciptakan suasana sejuk dan damai yang menjadikannya magnet bagi masyarakat lokal maupun pendatang, bahkan wisatawan mancanegara.
Di balik keindahan tersebut, Taman Tulang Ikan menyimpan peran yang jauh lebih fundamental. Ia bukan sekadar taman kota, melainkan ruang belajar alternatif yang selama bertahun-tahun berfungsi sebagai kampus kedua bagi mahasiswa di Kota Ternate. Di ruang inilah gagasan bertumbuh, diskusi mengalir tanpa sekat formal, dan kesadaran intelektual dibentuk secara alamiah.
Letak geografis Taman Tulang Ikan yang berdampingan dengan beberapa perguruan tinggi, seperti IAIN Ternate, FKIP (UNKHAIR), dan juga AIKOM. Hal ini Menjadikannya titik temu kaum cendekiawan muda. Mahasiswa dari berbagai latar belakang kampus menjadikan tempat ini sebagai ruang bersama untuk berdiskusi, membaca buku, menyusun tugas, hingga mengasah daya kritis. Bendera-bendera organisasi mahasiswa yang dahulu berkibar di sepanjang taman menjadi simbol bahwa ruang publik ini pernah hidup oleh semangat intelektual.
Bagi mahasiswa, keberadaan Taman Tulang Ikan tidak bisa dilepaskan dari proses pembelajaran di luar ruang kelas. Kampus formal dengan segala keterbatasan waktu dan kurikulum tidak selalu mampu menjawab kebutuhan intelektual secara komprehensif. Sebagaimana dikemukakan oleh Aziz Syamsuddin bahwa pengetahuan yang diperoleh di ruang formal hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan proses belajar manusia. Maka ruang-ruang alternatif seperti Taman Tulang Ikan menjadi pelengkap yang sangat krusial. Di sinilah mahasiswa belajar dari realitas, dari dialog lintas disiplin, dan dari perjumpaan gagasan.
Lebih dari itu, aktivitas intelektual mahasiswa di Taman Tulang Ikan turut menciptakan ekosistem belajar yang sehat bagi masyarakat sekitar. Anak-anak yang bermain di taman secara tidak langsung menyaksikan praktik literasi, membaca buku, berdiskusi, dan bertukar gagasan. Tidak jarang mahasiswa mengajak mereka berbincang, bercerita, bahkan menyelipkan pengetahuan sederhana dalam cerita-cerita tersebut. Ruang publik ini pun berfungsi sebagai ruang pendidikan sosial yang inklusif, di mana belajar tidak dibatasi oleh tembok sekolah atau status sosial.
Namun, kondisi tersebut perlahan memudar. Dalam beberapa waktu terakhir, wajah Taman Tulang Ikan mengalami perubahan signifikan. Pembangunan kedai dan warung di hampir seluruh area taman telah menggeser fungsi utamanya sebagai ruang publik yang bebas dan egaliter. Ruang yang dahulu menjadi tempat diskusi kini semakin sempit bagi aktivitas intelektual mahasiswa. Kehadiran kedai-kedai tersebut bukan sekadar mengubah lanskap fisik, tetapi juga menggeser kultur sosial yang telah lama tumbuh.
Akibatnya, eksistensi mahasiswa kian terpinggirkan. Bendera organisasi jarang terlihat, forum diskusi semakin sepi, dan ruang-ruang literasi digantikan oleh budaya konsumsi. Taman Tulang Ikan perlahan berubah menjadi ruang elitis yang hanya ramah bagi mereka yang memiliki daya beli. Dalam situasi inilah kampus kedua itu seakan dibunuh secara perlahan, bukan dengan kekerasan, melainkan melalui pembiaran atas dominasi kepentingan ekonomi.
Ironisnya, mahasiswa yang masih berupaya mempertahankan tradisi kajian dan diskusi justru kerap mendapat teguran, bahkan dipaksa membubarkan diri. Aktivitas membaca dan berdiskusi dianggap mengganggu ketertiban, seolah-olah ruang publik tidak lagi memberi tempat bagi proses intelektual. Padahal, lingkungan memiliki peran besar dalam membentuk karakter dan minat belajar generasi muda. Ketika mahasiswa diusir dari ruang belajar publik, yang sesungguhnya terusir adalah nilai-nilai pendidikan dan literasi itu sendiri.
Taman Tulang Ikan sejatinya telah berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya di Kota Ternate. Sebagaimana ditegaskan Said Muniruddin, kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan oleh luas wilayah, sistem pemerintahan, atau letak geografis, melainkan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Dengan demikian, meredupnya fungsi intelektual Taman Tulang Ikan bukan sekadar persoalan mahasiswa, tetapi ancaman serius bagi masa depan pendidikan dan peradaban lokal.
Sudah saatnya seluruh elemen pemerintah, pihak kampus, mahasiswa, dan masyarakat bersinergi untuk mengembalikan fungsi Taman Tulang Ikan sebagaimana mestinya. Mahasiswa harus diberi ruang aman untuk berdiskusi dan belajar tanpa intimidasi. Pemerintah perlu menata ulang keberadaan kedai agar tidak menguasai seluruh ruang publik. Menghidupkan kembali Taman Tulang Ikan sebagai kampus kedua berarti menjaga nyala literasi dan menolak pembunuhan sunyi terhadap masa depan generasi muda Ternate. (*)

Tinggalkan Balasan