Oleh: Samsudin Wahab Genvyr
Tenaga Pengajar di MAS Alkhairaat Labuha
__________________
“Mereka yang tidak membaca sejarah akan dikutuk untuk mengulanginya“. (George Santayana)
KUTIPAN pada pembukaan tulisan di atas menegaskan bahwa sejarah bukan hanya kumpulan cerita-cerita masa lampau. Melainkan kendaraan yang menghubungkan kita dari mulai dari mana kita melangkah, apa yang sudah kita lakukan hingga titik mana kita akan menuju. Sejarah berkaitan erat dengan proses perjalanan bangsa kita.
Masa lalu memberi kita penyadaran, masa kini memberi kita arah dan dorongan untuk memulai pergerakan serta merancang masa depan dan masa depan memberi kita imajinasi yang menjadi bahan bakar bagi kita untuk mampu berpikir dan meraihnya. Masa depan sendiri tidak tumbuh di ruang kosong, masa depan mengandalkan masa lalu sebagai cermin dan masa kini sebagai langkah untuk mencapai arah dan cita-cita.
***
Pada 10 November 2025 bertepatan dengan hari pahlawan nasional kemarin, mantan Presiden Indonesia yang kedua, Soeharto resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Prabowo melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang penganugerahan gelar pahlawan nasional, yang sampai saat ini masih memicu kontroversi dari berbagai pihak, sebab Soeharto adalah salah satu presiden yang pernah dicap sebagai presiden paling korup di dunia. Selain itu, rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto juga menjadi rezim yang paling otoriter serta sarat dengan bebagai praktik pelanggaran HAM.
Banyak pihak mulai dari sejarawan, akademisi hingga kalangan aktivis menganggap bahwa penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah bukti bahwa negara ingin menghapus dosa masa lalu dan membersihkan nama para pelaku pelanggaran HAM. Ada juga statement yang menyatakan “Jika Soeharto adalah Pahlawan, maka mereka yang dulu berjuang untuk menggulingkannya dari kekuasaan adalah penjahat”.
***
Minggu 14 Desember 2025 kemarin, Pemerintah di bawah Menteri Kebudayaan, Fadli Zon resmi meluncurkan buku sejarah yang katanya dalam penyusunan buku itu melibatkan 123 sejarawan dari 34 kampus. Buku itu terdiri dari 10 jilid dan diberi judul “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global”. Peluncuran buku ini juga bukan tanpa menuai perdebatan di banyak kalangan⸺dari sejak perencanaan hingga peluncurannya buku ini mencuat banyak perdebatan di berbagai kalangan.
Sejarawan Asvi Warman Adam melalui Tempo.Co, menyerukan kepada masyarakat sipil untuk menolak buku sejarah versi pemerintah tersebut. Asvi Warman Adam mengatakan bahwa buku tersebut penuh dengan glorifikasi pada pemerintah Presiden Soeharto, rezim Orde Baru dan menghilangkan fakta pelanggaran HAM yang juga ikut menyeret nama Soeharto.
Tentu saja benar bahwa tidak ada buku yang tidak baik untuk dibaca, yang tidak baik adalah tidak membaca. Namun, setiap yang dibaca tidak selalu harus untuk dipercaya.
***
Sejarah telah memberi kita pelajaran bahwa sejarah sendiri tidak bebas dari unsur kepentingan. Termasuk kepentingan politik dan kekuasaan itu sendiri.
Michel Foucault jauh-jauh hari pernah menyatakan bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan/Knowledge is Power“. Pernyataan tersebut tidak bisa ditafsir secara politis, sebab tidak semua pengetahuan mengandung unsur-unsur kekuasaan. Itu sebabnya, Foucault ingin memberi suara dan mengangkat kaum-kaum pinggiran yang diasingkan dari narasi kekuasaan.
Pernyataan Foucault di atas mengajarkan kita bahwa kekuasaan selalu memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan serta mampu mensosialisasikannya melalui lembaga-lembaga dalam negara.
Louis Althusser menyebut lembaga-lembaga di atas sebagai Aparatur Negara Represif (Repressive State Apparatuses) dan Aparatur Negara Ideologis (Ideological State Apparatuses). Aparatur Negara Represif memiliki andil untuk menjaga kekuasaan melalui lembaga keamanan dan ketertiban bahkan dengan kekerasan, seperti aparat negara yakni militer. Sedangkan Aparatur Negara Ideologis adalah tempat di mana kekuasaan menyalurkan pengetahuan tersebut secara massif dan terstruktur, seperti pendidikan maupun agama. Lembaga-lembaga tersebut menjadi kanal yang massif tempat kekuasaan mensosialisasikan pengetahuan dan kepentingannya.
Karena memiliki akses yang leluasa terhadap ilmu pengetahuan, kekuasaan juga punya kuasa untuk mengubah dan merekayasa pengetahuan agar sejalan dengan apa yang diinginkan olehnya. Termasuk juga sejarah itu sendiri.
***
Statement Menteri Kebudayaan, Fadli Zon beberapa bulan lalu yang mengatakan bahwa kasus pemerkosaan massal pada Mei 1998 adalah kasus yang perlu dipertanyakan kebenarannya, sebab data-data dari kasus itu tidak lengkap dan tidak konkret. Pernyataan tersebut merupakan sinyal bagaimana kekuasaan ingin mengubur fakta sejarah.
Padahal banyak catatan sejarah membuktikan hal itu. Presiden B. J Habibie sendiri juga sempat mengakui kalau ada pemerkosaan massal pada Mei 1998 terhadap perempuan, terutama etnis Tionghoa. Bahkan Presiden B. J. Habibie pun pernah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta untuk meneliti kasus pemerkosaan massal Mei 1998 dan pernah menerbitkan laporan tentang kasus tersebut, tapi sampai hari ini belum ada kabar lanjutan terkait penanganan kasus yang lebih mendalam.
Dari statement Menteri Kebudayaan tersebut dapat memberi kita sedikit sinyal bahwa penghapusan memori kolektif terhadap fakta sejarah akan lebih massif jika dilakukan melalui Aparatur Negara Represif dan Aparatur Negara Ideologis dari Louis Althusser di atas. Dan tulisan atau buku yakni narasi sejarah kekuasaan merupakan narasi tandingan terhadap narasi dari memori kolektif bangsa itu sendiri.
Pernyataan Menteri Kebudayaan tersebut mengharuskan kita untk membaca kembali catatan-catatan tentang sejarah bangsa ini. Bukan sejarah yang ditulis oleh kekuasaan. Sebab sejarah kaum pinggiran menceritakan luka, sementara sejarah oleh tangan kekuasaan menutupi dosa. Dan kita tidak ingin apa yang dikatakan oleh George Santayana di atas terjadi dan kutukan itu benar-benar menimpa kita.
***
Pada akhirnya, sebagai generasi muda kita perlu membaca dan memahami pentingnya sejarah bangsa⸺Sejarah yang benar-benar menceritakan suara-suara minoritas. Kemudian membandingkan dengan sejarah dari coretan kekuasaan, maka kita akan menemukan mana yang benar-benar berpihak pada kebenaran. (*)

Tinggalkan Balasan