Oleh: Asma Sulistiawati

Pegiat Literasi

____________________

BANYAK anak muda di Indonesia hari ini memilih menunda, bahkan mengurungkan niat menikah. Ini bukan karena mereka tidak percaya pada cinta, tidak ingin berkomitmen, atau terlalu memilih-milih pasangan. Masalah utamanya jauh lebih struktural yaitu tekanan ekonomi yang membuat masa depan terasa kabur. Di tengah harga kebutuhan pokok yang meroket, biaya hunian yang makin sulit dijangkau, dan peluang kerja yang tidak pasti, pernikahan tidak lagi terlihat sebagai pintu menuju ketenangan, tetapi sebagai risiko finansial yang besar.

Fenomena ini ditegaskan oleh laporan Kompas.com tertanggal 23 Oktober 2025 berjudul “Benarkah Orang Dewasa Muda Saat Ini Lebih Takut Miskin daripada Takut Tidak Nikah?”. Dalam artikel tersebut, dua sosiolog menjelaskan bagaimana generasi muda kini lebih mengutamakan kestabilan ekonomi sebelum menikah. Tidak sedikit anak muda yang memutuskan untuk tetap melajang, memilih kohabitasi, atau bahkan menjalani kehidupan child-free karena merasa kondisi ekonomi saat ini tidak memberi ruang aman untuk membangun keluarga.

Dinamika ini juga terlihat di daerah-daerah yang secara ekonomi tampak berkembang. Maluku Utara (Malut), misalnya, menjadi contoh ironis. Menurut rilis resmi dari BPS-Statistics Indonesia, pada triwulan III 2025, perekonomian Malut tumbuh sebesar 39,10 persen (year-on-year) pertumbuhan paling tinggi di Indonesia dalam periode tersebut. Namun kemajuan angka makro ini tidak serta-merta menjamin pemerataan kesejahteraan. Banyak anak muda masih bekerja tanpa kepastian kontrak, dengan pendapatan yang tidak menentu, dan tanpa jaminan sosial memadai.

Kondisi nyata di lapangan menunjukkan bahwa ketimpangan dan rasa tidak aman tetap tinggi. Banyak pemuda yang bekerja di sektor tambang, misalnya, berpenghasilan cukup besar ketika proyek berjalan, tetapi kembali menghadapi ketidakpastian ketika kontrak berakhir. Situasi seperti ini memunculkan kekhawatiran: bagaimana membangun rumah tangga jika masa depan pekerjaan sendiri belum jelas?

Pada akhirnya, pernikahan dipersepsikan bukan lagi sebagai kebutuhan sosial dan spiritual, tetapi sebagai komitmen berat yang membutuhkan kesiapan finansial yang besar. Para pemuda bertanya-tanya: apakah mereka mampu menghidupi pasangan? Apakah mereka bisa menjamin kebutuhan pokok, menyediakan tempat tinggal layak, atau membiayai pendidikan anak nanti? Kekhawatiran-kekhawatiran inilah yang membuat narasi “takut menikah” semakin mengakar.

Tekanan Kapitalisme & Pergeseran Nilai Hidup

Fenomena ketakutan untuk menikah tidak muncul dari ruang hampa. Ia merupakan hasil dari tekanan struktural dalam sistem kapitalisme yang membiarkan kebutuhan dasar manusia sepenuhnya bergantung pada mekanisme pasar. Dalam sistem seperti ini, harga pangan, hunian, energi, kesehatan, dan pendidikan bergerak naik mengikuti spekulasi dan dinamika pasar global, sementara pendapatan masyarakat tidak mengalami peningkatan signifikan.

Di kota-kota besar, harga sewa kos, kontrakan, dan rumah melonjak drastis. Bahkan di daerah, biaya hunian mulai mengikuti tren nasional. Anak muda dibebani bukan hanya kebutuhan dasar, tetapi juga standar hidup tinggi yang dipromosikan media dan budaya konsumtif. Mereka didorong untuk mencapai “kesuksesan finansial” terlebih dahulu: memiliki pekerjaan tetap, tabungan besar, kendaraan pribadi, rumah sendiri, dan gaya hidup yang mapan sebelum berani melangkah ke pernikahan.

Tekanan ini membuat pernikahan bergeser dari persepsi ibadah dan komitmen moral menjadi proyek finansial yang harus direncanakan secara matang. Banyak pasangan akhirnya menunda menikah bertahun-tahun hanya untuk mengejar kesiapan finansial ideal yang sebenarnya tidak pernah benar-benar tercapai dalam sistem ekonomi yang timpang.

Selain itu, lemahnya peran negara dalam menyediakan jaminan sosial menambah beban. Ketika kesehatan, pendidikan, dan hunian diserahkan kepada swasta atau mekanisme pasar, maka harga layanan tersebut terus meningkat. Akibatnya, generasi muda kehilangan rasa aman. Dalam kondisi ketidakpastian ekonomi seperti ini, menikah tampak seperti mempertaruhkan masa depan.

Tidak bisa dipungkiri, telah terjadi pergeseran cara pandang terhadap keluarga. Dulu, pernikahan adalah bagian dari perjalanan hidup yang alamiah, ruang untuk saling menopang, dan sarana meraih ketenangan. Kini, pernikahan dipandang melalui kacamata kalkulasi materi dan kestabilan finansial. Bagi sebagian anak muda, hidup melajang justru dianggap lebih ringan.

Sistem Ekonomi yang Menjamin Keluarga

Jika akar masalahnya adalah struktural, maka solusinya pun harus bersifat sistemik. Perspektif ekonomi Islam menawarkan cara pandang berbeda yang menempatkan keluarga sebagai unit paling penting dalam masyarakat bukan sebagai beban finansial, tetapi sebagai amanah yang harus dijaga negara melalui kebijakan ekonomi dan sosial yang adil.

Dalam ekonomi Islam, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar rakyat: pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Ketika kebutuhan dasar dijamin secara sistemik, beban hidup tidak jatuh sepenuhnya pada individu. Pernikahan pun tidak lagi menjadi keputusan yang menakutkan.

Sumber daya alam dan milik publik (milkiyyah ‘ammah) harus dikelola negara, bukan diliberalisasi atau diserahkan kepada swasta dan modal asing. Keuntungan dari pengelolaan milik umum ini kembali kepada rakyat dalam bentuk layanan sosial dan fasilitas publik. Dengan begitu, biaya hidup dapat ditekan dan kesejahteraan dapat dirasakan secara merata termasuk oleh pemuda yang ingin menikah.

Islam juga menekankan pentingnya penciptaan lapangan kerja yang layak, produktif, dan berkelanjutan. Pekerjaan tidak boleh hanya berorientasi proyek jangka pendek yang membuat anak muda terjebak dalam siklus ketidakpastian. Upah layak yang setara dengan kebutuhan hidup juga merupakan prinsip penting dalam sistem ekonomi Islam.

Selain aspek ekonomi, Islam membangun nilai hidup yang menghindarkan generasi muda dari mentalitas materialistik. Pendidikan berbasis aqidah membentuk karakter yang memahami bahwa pernikahan adalah ibadah dan bagian dari pembentukan masyarakat yang kuat bukan sekadar pencapaian sosial, apalagi kompetisi gaya hidup.

Pernikahan pun tidak perlu menjadi acara mewah. Islam justru mendorong kesederhanaan. Yang utama adalah terbangunnya keluarga yang kuat, aman, dan penuh keberkahan bukan pesta yang megah atau simbol kemapanan materi.

Penutup

Ketakutan generasi muda untuk menikah sebenarnya adalah tanda bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem yang menaungi kehidupan mereka. Ketimpangan ekonomi, ketidakpastian pekerjaan, dan mahalnya biaya hidup membuat pernikahan tampak seperti risiko besar. Data dari Maluku Utara menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi belum tentu berarti pemerataan kesejahteraan. Angka-angka makro tidak selalu mencerminkan kenyataan di lapangan.

Islam menawarkan solusi komprehensif: negara yang menjamin kesejahteraan, pengelolaan kekayaan publik untuk rakyat, serta pendidikan moral yang mengembalikan makna pernikahan sebagai ibadah dan sumber ketenangan. Dengan sistem yang adil, pernikahan dapat kembali menjadi pilihan yang optimis bukan momok yang menakutkan bagi generasi muda. Wallahu’alam. (*)