Tivanusantara – Koordinator Wilayah Keluarga Alumni KAMMI Maluku-Maluku Utara, Mahri Samsul, turut berkomentar terkait pembangunan infrastruktur jalan Trans Kieraha. Proyek yang dicanangkan Pemprov Malut di bawah komando Sherly Tjoanda Laos ini mendapat kritik dari Majelis Wilayah KAHMI Malut. KAHMI menyarankan agar proyek tersebut ditinjau kembali.
Menanggapi itu, Mahri menilai, proyek tersebut tetap harus dijalankan, karena studi kelayakan (feasibility study/FS) merupakan kajian mendalam yang dilakukan untuk menilai apakah suatu rencana kegiatan atau proyek layak dilaksanakan.
Ia menilai, kajian teknisnya terkait aspek teknis, ekonomi, lingkungan, hukum hingga aspek sosial. Sehingga proyek tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintah atau pelaksana tidak salah dalam mengambil keputusan, sehingga dapat memberikan manfaat kepada masyarakat serta dapat dilaksanakan secara aman dan efektif.
“Tidak terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan FS untuk disidangkan di depan publik atau dipublikasikan secara terbuka. FS umumnya dibahas melalui mekanisme internal pemerintah karena itu instansi teknis terkait yakni Dinas PUPR penanggung jawab teknis utama, Bappeda provinsi sebagai perencana dan kelayakan fiskal daerah, Dinas Lingkungan Hidup provinsi sebagai penilai dokumen AMDAL/UKL UPL dan Dinas Perhubungan provinsi untuk melihat analisis dampak lalu lintas (Andalalin),” jelas Mahri, Rabu (26/11).
Ia menjelaskan, dasar hukum yang mengatur tentang FS yakni UU No 2 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU No 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Sedangkan mengatur perencanaan jalan meliputi studi kelayakan, tetapi tidak mengatur kewajiban publikasi FS.
Lebih lanjut, kata Mahri, PP No 34 Tahun 2006 tentang jalan pasal 14–17 menjelaskan tahapan perencanaan jalan termasuk studi kelayakan. Dan tidak memuat ketentuan bahwa FS harus diumumkan kepada masyarakat.
Lalu kemudian, Perpres No 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Bahwa FS digunakan sebagai dokumen perencanaan pengadaan.
“Tidak ada ketentuan bahwa FS wajib dipublikasikan. Silakan lihat UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Masyarakat dapat meminta salinan FS melalui PPID. Namun FS bukan dokumen yang wajib dipublikasikan secara otomatis. Sedangkan AMDAL wajib melibatkan masyarakat,” ujar Mahri.
Berbeda dengan FS, kata dia, dokumen AMDAL wajib melalui proses pelibatan masyarakat sebagai bagian dari penilaian dampak lingkungan dari suatu rencana pembangunan.
Dasar hukum yang mengatur kewajiban ini yakni UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 26 ayat (2): “Penyusunan AMDAL dilakukan dengan melibatkan masyarakat.”
Kemudian, Pasal 65: masyarakat berhak berpartisipasi dalam perlindungan lingkungan hidup. PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 28–33: mewajibkan konsultasi publik dalam penyusunan AMDAL.
Pasal 34–36: Pembentukan Tim Uji Kelayakan AMDAL yang menilai dokumen dengan mempertimbangkan masukan masyarakat. Kemudian, Permen LHK No 4 Tahun 2021 tentang Tata Laksana AMDAL.
“Menetapkan bahwa pengumuman dan pelibatan masyarakat dilakukan sejak awal penyusunan AMDAL. Dengan demikian, studi kelayakan tidak wajib dipublikasikan kepada masyarakat dan tidak diwajibkan melalui sidang publik,” terangnya.
Meski begitu, publik tetap memiliki hak meminta salinan FS melalui mekanisme PPID (UU KIP). AMDAL wajib melibatkan masyarakat melalui konsultasi publik. Kewajiban ini diatur secara tegas dalam UU 32/2009, PP 22/2021, dan Permen LHK 4/2021.
“Berdasarkan ketentuan ini, maka Ibu Gubernur Sherly Tjoanda dan pihak pelaksana kegiatan dalam hal ini Dinas PUPR tidak wajib menjawab tantangan dari KAHMI Maluku Utara tentang FS jalan Trans Kieraha,” tandasnya. (red)

Tinggalkan Balasan