Oleh: Nurul Qamariah 

_____________

KASUS kekerasan dan pelecehan seksual semakin marak di Indonesia — termasuk di ranah pendidikan. Hal ini tentu mengundang kegelisahan, karena siapapun bisa menjadi korban atau pelaku.

Di Indonesia kita kerap mengenal dua istilah yang berbeda: sexual harassment dan sexual consent. Sexual harassment berarti perilaku seksual yang dilakukan seseorang terhadap orang lain tanpa persetujuan atau dengan unsur paksaan — secara sederhana: kekerasan seksual. Sedangkan sexual consent mengacu pada tindakan seksual yang dilakukan oleh dua orang dengan persetujuan bersama “suka sama suka”. Dalam hukum nasional, jika kedua pelaku belum menjadi suami-istri dan tindakan dilakukan atas persetujuan, maka umumnya tidak dipidana sebab unsur pemaksaan tidak ada. Sebaliknya, perilaku yang masuk kategori sexual harassment mendapat sanksi tegas.

Namun, kedua istilah tersebut memerlukan kritik lebih dalam. Misalnya ketika muncul berita “seorang istri mengaku telah diperkosa oleh suaminya” — lalu bagaimana menafsirkannya? Dari kacamata seorang Muslim, hubungan seksual antara suami dan istri adalah halal bahkan bernilai ibadah di sisi Allah.

Lalu muncul pertanyaan: “Apakah kedua istilah tersebut ada dalam Islam? Jika iya, bagaimana Islam memandangnya?”

Jawabannya: dalam Islam tidak dikenal pemisahan istilah seperti itu (sexual harassment versus sexual consent) dalam pemaknaan yang umum digunakan di dunia sekuler. Yang menjadi pusat perhatian adalah apakah hubungan tersebut halal atau tidak — statusnya sebagai suami-istri atau belum. Misalnya, meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka, jika pelakunya belum halal (belum menikah), maka sanksi tegas menanti. Sebaliknya, jika terjadi paksaan dalam hubungan yang halal, maka itu adalah persoalan lain yang memerlukan penjelasan lebih dalam.

Sebagai contoh hukum Islam: menurut Al-Qur’an, bagi seorang muslim/ah yang berzina dan belum menikah, Allah menetapkan hukuman cambuk seratus kali. (QS 24:2) Sementara bagi yang telah menikah dan melakukan zina dengan orang yang bukan pasangan halalnya, hukuman rajm (lempar batu) sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits shahih “…Maka Nabi ﷺ memerintahkan wanita itu; bajunya diikat kuat, kemudian beliau memerintahkan agar wanita itu dirajam, lalu mereka merajamnya. Setelah itu Nabi ﷺ menyalatkannya…” H.R. Muslim No. 1695.

Hukuman tegas dalam Islam yang sering dianggap “keras” sesungguhnya memiliki fungsi yang jelas: jawābir (penebus dosa) dan jawāzir (memberi efek jera). Berbeda dengan sistem sekuler-kapitalistik hari ini yang — menurut pengamatan — cenderung membiarkan perilaku zina menjamur, terlihat dari akses mudah ke konten pornografi, tempat kemaksiatan yang terbuka lebar, alat kontrasepsi yang diperjualbelikan bebas, serta sanksi yang tidak tepat sasaran dan tidak memberi efek jera.

Lalu bagaimana pandangan Islam terhadap pelaku kekerasan dan/atau pelecehan seksual? Islam mengecamnya secara tegas. Islam tidak pernah membenarkan tindakan pelecehan maupun kekerasan seksual yang menodai kehormatan manusia, khususnya wanita, karena Islam sangat memuliakan wanita. Hal ini tercermin dalam banyak aturan yang Allah turunkan khusus untuk menjaga kehormatan wanita — seperti bagaimana Islam mengatur cara berpakaian wanita dengan sangat kompleks agar marwah dan kehormatannya terjaga.

Jika kasus kekerasan atau pelecehan seksual terjadi, Islam menetapkan proses yang ketat: negara akan memeriksa validitas kasus, mulai dari tabayyun (klarifikasi), pengumpulan bukti, pemeriksaan saksi; jika terbukti maka akan dikenai hukuman taʿzīr atau hudud (tergantung jenis pelanggaran yang dilakukan). Lalu bagaimana dengan korban? Islam menetapkan bahwa korban harus dilindungi, tidak dipertemukan dengan pelaku, dan difasilitasi proses pemulihan mental mereka. Maa syaa Allah — begitu lengkap dan sempurnanya Islam mengatur fitrah manusia, yaitu seksualitas. Karena seksualitas adalah sesuatu yang fitrah bagi manusia — maka bukan dihilangkan — tetapi diberikan aturan yang mampu memfasilitasi tanpa menimbulkan kerusakan dalam kehidupan.

Maka berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam pandangan Islam tidak dikenal dua istilah seperti sexual harassment dan sexual consent dalam arti pemisahan formal tersebut. Pemisahan istilah itu justru melahirkan paradigma yang keliru — yakni bahwa “selama suka sama suka maka semua sah”, padahal jika pelaku dan korban belum halal maka tetap melanggar syariat Islam.

Namun sayangnya, Islam yang begitu luar biasa, paripurna dan sempurna ini tidak akan mungkin berlaku secara maksimal tanpa hadirnya sistem negara yang mengimplementasikan syariat secara konsisten. Oleh sebab itu, sudah menjadi tugas kita sebagai muslim/ah yang menyadari pentingnya penerapan Islam untuk terus berdakwah dan istiqomah membela agama-Nya. Semoga kita senantiasa menjadi orang-orang yang istiqomah memperjuangkan Islam. Aamiin. Wallahu a’lam bi al-shawab. (*)