Tivanusantara – Dugaan penyimpangan pengelolaan retribusi pasar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Ternate senilai Rp 4,26 miliar pada tahun 2023-2024 kini telah diusut Kejaksaan Tinggi Maluku Utara. Bahkan, perkara ini menjadi atensi Kepala Kejati Malut, Sufari.
Pengelolaan anggaran miliaran yang diduga diselewengkan itu indikasi kuat ada peran dari mantan Kepala Disperindag Ternate Muchlis Djumadil yang kini menjabat Kepala Dinas Pendidikan Kota Ternate.
Untuk itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Maluku Utara memberi dukungan kepada Kejati untuk mengusut tuntas dugaan korupsi tersebut. Meski penyidik telah menyiapkan surat pemanggilan terhadap mantan Kadis Perindag Muchlis Djumadil, YLBH juga mendesak lembaga Adhyaksa itu untuk segera memeriksanya.
Kabid investigasi YLBH Malut, Riski Tehupelasury, menyatakan dugaan penyimpangan miliaran anggaran ini tidak terlepas dari tanggung jawab Muchlis sebagai kepala dinas kala itu.
Apalagi, lanjut dia, Plt Kepala Dinas Perindag Nursida Dj Mahmud sempat mengeluarkan pernyataan bahwa ia tidak memiliki data akurat terkait berapa jumlah pedagang yang menghuni lapak, ruko, maupun kios. Begitu juga dengan data masuknya retribusi yang ditarik maupun berapa utang yang belum dibayarkan pedagang.
“Bagaimana mungkin Dinas Perindag tidak memiliki data itu, sementara retribusi sendiri diatur dalam Perda Kota Ternate Nomor 14 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Ini menjadi ironis dan tidak masuk akal kalau Kadis Perindag katakan tidak ada data,” katanya, Selasa (11/11).
Dengan demikian, ia menduga dasar alasan ini kemudian melahirkan temuan BPK.
“Penyidik harus membongkar ini. Temuan pada Dinas Perindag bukan baru kali terjadi, di masa masa Kadis Nuryadin juga melahirkan temuan yang sama sebesar Rp 1,8 miliar. Ini yang menjadi pertanyaan, kalau dinas ini mengalami kebocoran retribusi terus menerus dengan kepala dinas yang berbeda, lantas anggaran itu dikemanakan? Jangan sampai anggaran sebesar itu untuk memperkaya diri atau bisa jadi digunakan untuk kepentingan yang lain,” tandasnya.
Temuan ini, Kata Rizki, sangat tidak mungkin kalau Muchlis tidak terlibat, apalagi dia selaku kuasa pengguna anggaran pada dinas terebut.
“Setiap pedagang yang mau menempati ruko, kios, lapak ini kan disertai kontrak. Dengan begitu bisa diketahui berapa ukuran yang ditempati dan berapa besar biaya yang dibayar dan belum terbayarkan setiap tahunnya. Ini aneh tapi nyata, kalau Dinas Perindag bilang tidak punya data untuk itu. Ini yang menjadi pintu masuk bagi penegak hukum membongkar praktik-praktik seperti ini,” pintanya.
Riski menyebut jika dilihat dari kontrak, maka bisa ditaksir jumlah retribusi yang dicapai setiap tahunnya. Misalkan dalam Perda dijelaskan untuk ruko kelas satu Rp 3.500 per hari, kelas dua Rp 3.000, dan kelas tiga Rp 2.800. Sementara Pandara-Kananga retribusi yang ditarik Rp 840.000 per bulan.
“Dengan data ini saya kira sangat mudah untuk menghitungnya. Ini yang harus dilihat lebih jauh oleh penyidik untuk menelusurinya, jangan sampai dibalik itu ada permainan,” pungkasnya. (nox/ask)

Tinggalkan Balasan