Oleh: Asma Sulistiawati
Pegiat Literasi
_______________
FENOMENA meningkatnya angka bunuh diri di kalangan pelajar Indonesia semakin mengkhawatirkan. Dalam sepekan terakhir, dua anak ditemukan meninggal dunia diduga akibat bunuh diri di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kasus ini menambah panjang daftar duka dunia pendidikan kita.
Sementara di Sumatera Barat, dua siswa sekolah menengah pertama di Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto, juga ditemukan bunuh diri di lingkungan sekolah selama Oktober 2025. Berdasarkan penyelidikan kepolisian, tidak ditemukan dugaan tindakan bullying. Siswa bernama Bagindo ditemukan tergantung di ruang kelas pada Selasa (28/10/2025) siang, sedangkan Arif ditemukan tergantung di ruang OSIS pada Senin (6/10/2025) malam. (Kompas.id, 28 Oktober 2025).
Kementerian Kesehatan pun mengungkapkan data mengejutkan. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono pada 30 Oktober 2025 menyampaikan bahwa dari 20 juta jiwa yang telah menjalani pemeriksaan kesehatan jiwa gratis, lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami berbagai bentuk gangguan mental. (Republika.co.id, 30 Oktober 2025).
Fakta ini menggambarkan bahwa masalah kesehatan mental pada anak dan remaja bukan kasus individual, melainkan gejala sistemik dari lemahnya fondasi pendidikan dan sosial yang menaungi generasi muda.
Situasi serupa juga menghantui Maluku Utara. Berdasarkan laporan Tribata News Polda Malut (12 April 2025), angka kasus bunuh diri di wilayah ini menunjukkan tren peningkatan yang cukup memprihatinkan. Polda Malut bahkan mengimbau masyarakat agar lebih peduli dan tanggap terhadap gejala depresi dan tekanan sosial di lingkungan sekitar.
Dua hari setelahnya, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Malut juga mengeluarkan pernyataan resmi (14 April 2025), menyerukan pentingnya kepedulian bersama untuk mencegah maraknya bunuh diri di kalangan remaja. FKUB menilai, kasus-kasus yang muncul selama dua tahun terakhir di sejumlah daerah seperti Ternate, Tidore, dan Halmahera, bukan sekadar masalah individu, melainkan menandakan krisis nilai dan arah hidup yang kian kabur di kalangan anak muda.
Fenomena ini menunjukkan bahwa bahkan di wilayah yang dikenal religius seperti Maluku Utara, tekanan hidup modern, paparan media sosial, serta lemahnya fondasi spiritual mampu menggoyahkan daya tahan mental remaja. Di sinilah sistem pendidikan memainkan peran penting namun sayangnya, sistem yang berlaku saat ini justru sering gagal menjadi benteng pembentuk kepribadian tangguh.
Pendidikan yang Kehilangan Ruh
Peningkatan kasus bunuh diri di kalangan pelajar tidak bisa sekadar dijelaskan dengan istilah gangguan mental. Akar persoalan yang sesungguhnya terletak pada kerapuhan kepribadian yang dibentuk oleh sistem pendidikan sekuler. Sistem ini lebih banyak menekankan capaian akademik dan kompetensi teknis, tetapi melupakan pembentukan akidah, moral, dan arah hidup anak.
Sekularisme memisahkan pendidikan dari nilai-nilai agama. Akibatnya, pelajar tumbuh dengan kemampuan berpikir logis dan rasional, tetapi kehilangan kesadaran tentang makna hidup dan tujuan keberadaannya di dunia. Mereka mudah goyah ketika menghadapi tekanan akademik, konflik keluarga, atau tekanan sosial dari lingkungan dan media.
Paradigma pendidikan Barat yang diadopsi oleh sistem pendidikan Indonesia juga memandang kedewasaan secara sempit. Anak baru dianggap dewasa pada usia 18 tahun, padahal dalam Islam, kedewasaan dimulai ketika seseorang telah balig. Karena itu, banyak anak balig di negeri ini yang belum dipersiapkan menjadi pribadi aqil yakni mampu membedakan benar dan salah serta memiliki tanggung jawab moral dan spiritual terhadap perbuatannya.
Selain itu, faktor eksternal seperti kemiskinan, perceraian orang tua, gaya hidup konsumtif, serta paparan konten media sosial yang menormalisasi tindakan bunuh diri ikut memperparah kondisi mental anak. Dalam sistem kapitalistik yang materialistik, anak-anak didorong untuk mengejar kesenangan dan kesuksesan duniawi. Namun ketika mereka gagal mencapai standar tersebut, rasa hampa dan tidak berharga sering kali berujung pada keputusan tragis: mengakhiri hidup.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak pelajar tidak memiliki figur panutan yang kuat. Guru, orang tua, dan tokoh masyarakat sibuk dengan urusan masing-masing. Di sekolah, agama hanya diajarkan sebagai teori, bukan nilai yang diinternalisasi dalam perilaku. Maka ketika tekanan datang, mereka tidak punya pegangan yang kokoh untuk bertahan.
Jalan Keluar Pendidikan Berbasis Akidah Islam
Islam memiliki pandangan yang menyeluruh tentang manusia dan kehidupan. Dalam pandangan Islam, pendidikan bukan sekadar sarana mencetak tenaga kerja atau mengejar prestasi akademik, tetapi proses pembentukan kepribadian yang berlandaskan akidah. Karena itu, tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah membentuk pola pikir dan pola sikap Islami, sehingga anak memiliki kekuatan ruhiyah yang menuntunnya menghadapi setiap ujian hidup.
Sistem pendidikan Islam menjadikan akidah sebagai asas dari seluruh kurikulum. Ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi tidak diajarkan dalam ruang kosong nilai, tetapi selalu dikaitkan dengan kebesaran Allah dan tujuan penciptaan manusia. Dengan cara ini, anak tidak hanya menjadi pintar, tetapi juga memiliki kesadaran spiritual yang mendalam.
Dalam Islam, ketika anak mencapai usia balig, ia diarahkan untuk menjadi aqil yakni mampu menggunakan akalnya untuk memahami hukum syariah dan memikul tanggung jawab moral. Pendidikan sebelum balig justru dipersiapkan untuk menanamkan kecintaan kepada Allah, ketaatan kepada syariat, dan keteguhan menghadapi godaan dunia.
Lebih dari itu, sistem Islam memberikan solusi komprehensif terhadap faktor-faktor nonklinis yang memicu gangguan mental. Negara dalam sistem Islam berkewajiban menjamin kebutuhan pokok rakyat, menguatkan institusi keluarga, serta menjaga masyarakat dari paparan budaya yang merusak. Dengan terwujudnya sistem sosial yang harmonis dan arah hidup yang jelas, peluang anak-anak untuk terjerumus pada keputusasaan akan semakin kecil.
Sudah saatnya negeri ini berhenti menambal krisis moral dengan solusi tambal sulam seperti konseling sesaat atau kampanye “sehat mental”. Akar masalahnya bukan pada kurangnya terapi, tetapi pada hilangnya arah pendidikan yang menumbuhkan iman dan makna hidup. Selama pendidikan masih tunduk pada sistem sekuler, generasi muda akan terus terombang-ambing dalam kekosongan spiritual.
Jika negeri ini benar-benar ingin menyelamatkan anak-anaknya, maka langkah pertama adalah mengembalikan pendidikan kepada akidah Islam. Hanya dengan cara itu kita bisa melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga tegar, beriman, dan memahami bahwa hidup betapapun sulitnya adalah amanah dari Sang Pencipta. Wallahu’alam. (*)

Tinggalkan Balasan