Oleh: Nasrullah
Pemuda Sofifi
______________________
FENOMENA penyalahgunaan dana kelurahan yang kian marak akhir-akhir ini memperlihatkan bagaimana kebijakan desentralisasi keuangan di tingkat lokal sering diselewengkan dari semangat awalnya. Dana kelurahan yang sejatinya dimaksudkan untuk memperkuat partisipasi masyarakat, membangun sarana publik, serta meningkatkan kapasitas sosial-ekonomi warga, justru dialihkan untuk kegiatan perjalanan dinas massal. Ironisnya, perjalanan tersebut sering kali dikemas dalam label “studi banding” atau “bimbingan teknis” yang tidak memiliki urgensi nyata bagi peningkatan kinerja pemerintahan di tingkat kelurahan.
Anggaran yang semestinya menambal jalan berlubang di kelurahan Sofifi, bantuan kegiatan produktif ibu-ibu, dan kegiatan kreatif bagi pemuda kelurahan di Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan, justru menguap bersama asap pesawat dan nota hotel. Laporan kegiatan pun rapi, namun hasilnya nihil. Dana publik yang seharusnya menegakkan kaki warga di tanah sendiri malah digunakan untuk melangkahkan kaki ke luar kota. Sebuah perjalanan yang semakin jauh, bukan dari rumah, tapi dari akal sehat.
Dari Pemberdayaan Warga ke Pemberdayaan Diri
Secara ideal, dana kelurahan dirancang sebagai manifestasi desentralisasi fiskal: memberikan daya kepada warga untuk menentukan prioritas pembangunan. Namun di banyak tempat termasuk Kelurahan Sofifi, Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan, desentralisasi justru berhenti pada pengalihan tanggung jawab, bukan pada penguatan akuntabilitas.
Menurut Badan Pusat Statistika (BPS) Kota Tidore Kepulauan, Kecamatan Oba Utara pada tahun 2023, Sofifi dihuni 2.663 jiwa (1.343 laki-laki dan 1.320 perempuan) dengan kepadatan 76 jiwa/km². Angka ini mencerminkan kebutuhan dasar yang besar: jalan lingkungan, drainase, fasilitas pendidikan, hingga pengelolaan sampah dan kebersihan lingkungan. Tapi di lapangan, sebagian besar warga mengeluhkan keterlambatan program fisik dan minimnya kegiatan pemberdayaan. Ketika laporan realisasi dana fisik tertunda dan kegiatan nonfisik tidak terlaksana, Nampak pemerintah kelurahan Sofifi memilih jalan paling mudah, mengalihkan dana ke pos perjalanan dinas. Semuanya sah di atas kertas. Ada SPJ, ada tanda tangan, ada laporan hasil. Namun di lapangan, jalan lingkungan tetap berlubang, saluran air tersumbat, dan minimnya aktivitas permberdayaan masyarakat.
Kita tidak sedang bicara kota miskin. Kota Tidore Kepulauan memiliki APBD 2025 sebesar Rp1,127 triliun, naik dari tahun sebelumnya. Pendapatan Asli Daerah (PAD) memang hanya sekitar Rp73,2 miliar, tapi dana transfer dari pusat mencapai Rp989 miliar lebih dari 90% total pendapatan daerah. Realisasi belanja daerah pada 2024 pun tinggi, mencapai Rp1,122 triliun (94,75%), dengan SiLPA Rp46,86 miliar. Artinya, uang publik ada dan mengalir.
Di level kelurahan seperti Sofifi, tidak ada publikasi terbuka mengenai penggunaan dana kelurahan. Dalam publikasi BPS, kolom “realisasi pendapatan kelurahan” bahkan kosong. Padahal, menurut prinsip akuntabilitas fiskal, setiap rupiah dana transfer semestinya dapat ditelusuri hingga ke tingkat kelurahan. Ketidaktersediaan data ini bukan sekadar masalah administratif tapi sebuah tanda gelapnya ruang publik lokal. Ketika angka tidak dibuka, warga kehilangan hak untuk mengawasi.
Kontras dengan Sofifi, beberapa daerah lain sudah jauh lebih terbuka. Di kelurahan Mulyorejo, Kota Malang, misalnya Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) 2025 yang dipublikasikan ke publik menampilkan secara detail setiap kegiatan:
Belanja fisik: pavingisasi dan rabat cor jalan lingkungan Rp15 juta–Rp46 juta per lokasi.
Belanja non-fisik: pengadaan motor sampah Rp50 juta, sound system RW Rp10 juta, dan laptop pelayanan warga Rp15,9 juta.
Setiap kegiatan disertai volume, satuan, dan rencana realisasi per bulan.
Sementara di Kelurahan Oro-Oro Ombo, Kota Madiun, DPA 2024 bahkan menuliskan eksplisit pos “Belanja Perjalanan Dinas Rp3 juta” di halaman program pemberdayaan masyarakat. Artinya, masyarakat bisa tahu dengan pasti, berapa untuk pembangunan, berapa untuk kegiatan sosial, dan berapa untuk bepergian. Contoh-contoh ini membuktikan bahwa transparansi di tingkat kelurahan bukan hal mustahil. Ketika data dibuka, warga bisa menilai apakah uangnya benar dipakai untuk mereka, bukan untuk “wisata dinas.”
Pelarian dari Kegagalan, Bukan Peningkatan Kapasitas
Perjalanan dinas seolah menjadi ritual penyelamatan bagi pemerintah kelurahan yang gagal melaksanakan kegiatan. Daripada dikritik karena tidak menyerap anggaran, lebih baik habiskan dengan alasan “bimtek” atau “studi banding.” Tidak ada yang berani menolak karena di birokrasi, serapan rendah dianggap dosa, sementara kegiatan fiktif dianggap efisien.
Di Kelurahan Sofifi, misalnya, program fisik kecil, seperti perbaikan saluran air dan peningkatan kebersihan lingkungan, dan kegiatan sosial kerap tertunda hingga akhir tahun. Ketika waktu sempit dan laporan harus segera naik, jalan pintasnya muncul: perjalanan dinas bersama. Kegiatan itu aman, formal, mudah dilaporkan, dan memberi ruang bagi semua pegawai kelurahan untuk “ikut menikmati.”
Seorang tokoh masyarakat Sofifi bercerita lirih, “Tahun lalu katanya saat pelaksanaan Musyawara Perencanaan Pembangunan dilaksanakan. Kita diundang membicarakan beberapa kegiatan baik target pembangunan fisik maupun kegiatan pemberdayaan. Tapi sampai saat ini tidak pernah terealisasi. Pernyataan sederhana itu menggambarkan tragedi pembangunan kita: dana pemberdayaan tidak memberdayakan siapa pun, kecuali pemerintah kelurahan itu sendiri.
Masalah utama bukan pada kurangnya dana, melainkan pada cara berpikir birokrasi. Pemerintah kelurahan lebih takut pada auditor daripada pada rakyatnya sendiri. Selama laporan keuangan lengkap, semua dianggap beres. Padahal keberhasilan pembangunan seharusnya diukur dari manfaat yang dirasakan warga, bukan dari ketebalan laporan. Sosiolog administrasi publik Dwiyanto (UGM) pernah menyebut gejala ini sebagai ritualisme administratif: kegiatan dijalankan bukan untuk hasil, tetapi untuk memenuhi format laporan.
Fenomena “wisata dinas” adalah bentuk paling nyata dari ritualisme itu, birokrasi bergerak tanpa arah, berjalan tanpa tujuan.
Ada yang mungkin berkata: “Ah, cuma perjalanan dinas, bukan korupsi miliaran.” Namun, di sinilah bahaya dimulai. Kebiasaan kecil yang dibiarkan akan tumbuh menjadi budaya pembenaran. Hari ini dana kelurahan dipakai jalan-jalan, besok dana bantuan sosial bisa berubah jadi modal politik.
Laporan BPK tahun 2023 menemukan penyimpangan perjalanan dinas ASN senilai Rp39,26 miliar di 46 kementerian/lembaga. Jika skala nasional saja sebesar itu, bayangkan berapa besar kebocoran kecil di level kelurahan yang tak pernah diperiksa karena dianggap “sepele”.
Dan ketika pemerintah kelurahan terbiasa menganggap uang rakyat sebagai milik pribadi, maka di situlah integritas mati perlahan.
Merebut Kembali Dana Warga
Untuk mengakhiri siklus ini, transparansi harus dijadikan kebijakan wajib, bukan sekadar slogan. Sudah seharusnya pemerintah kelurahan Sofifi membuka data penggunaan dananya secara berkala, baik di papan pengumuman maupun di kanal digital resmi. Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA), Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), dan laporan realisasi triwulan harus dipublikasikan dalam format sederhana yang bisa diakses warga.
Selain itu, audit berbasis hasil perlu diterapkan. Audit bukan hanya memeriksa kuitansi, tetapi menilai output nyata: berapa meter drainase dibangun, berapa kelompok usaha yang aktif, berapa warga yang benar-benar ikut pelatihan dan berapa kegiatan sosial yang dilakukan. Dan bila ada pengalihan dana ke perjalanan dinas tanpa urgensi yang sah, penegakan disiplin harus dilakukan, bukan hanya dengan pengembalian uang, tapi dengan sanksi administratif dan etik.
Seperti kata Boyamin Saiman (MAKI): “Uang perjalanan dinas fiktif yang dikembalikan tetap bisa diproses hukum; karena kesalahannya bukan pada uang, tapi pada niat memanipulasi.”
Di Sofifi, dana kelurahan setiap tahun “berjalan,” tapi pembangunan tak pernah benar-benar pergi ke arah yang seharusnya. Kita punya pemerintah kelurahan yang sejauh mata memandang minim aksi nyata di tengah masyarakat, tapi kita tetap menunggu perubahan. Mereka mungkin punya laporan yang sempurna, tapi jalan lingkungan yang tetap rusak.
Jika dana kelurahan terus dijadikan tiket liburan kolektif, maka yang sesungguhnya sedang bepergian bukanlah pemerintah kelurahan itu sendiri, melainkan akal sehat kita sendiri. Ia pergi jauh bersama laporan fiktif dan kuitansi hotel. Dan seperti kebanyakan perjalanan dinas, mungkin ia juga tak pernah kembali. (*)

											
						
						
						
						
						
						
							
							
							
							
							
							
Tinggalkan Balasan