Oleh: Irna Ali S.Pd

___________

PENGADILAN Agama (PA) Ternate mencatat sebanyak 1.326 perkara perceraian terjadi di wilayah Kota Ternate selama dua tahun terakhir, yakni pada 2024 dan 2025. Panitia sekaligus humas PA Ternate, Drs. Irssan Alham Gafur, M. H., mengungkapkan bahwa pada tahun 2024 tercatat 622 perkara. Dari total jumlah tersebut, 359 merupakan cerai talak (diajukan oleh suami), dan 967 perkara cerai gugat (diajukan oleh istri). Haliyora (09/10/2025).

Dengan data di atas menunjukan bahwa kaum ibu tidak mampu mempertahankan keluarganya, bahkan ketakutan akan terjadi risiko yang besar kalau terus berlanjut, misalnya gangguan kesehatan mental (baby blues syndrome) yang terus ramai terjadi kini ikut populer menghantui kaum ibu.  Data laporan Indonesia National Adiescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023 mencatat di Lampung 25 persen wanita mengalami depresi pasca melahirkan. Kemudian pada penelitian Andrianti (2020), disebutkan 32 persen ibu hamil mengalami depresi, 27 persen depresi pasca melahirkan, dan 50-70 persen ibu di Indonesia mengalami gejala ringan baby blues. Angka ini tertinggi ketiga di Asia.

Baby blues syndrome sendiri ditandai dengan gangguan perubahan perasaan secara cepat. Seorang ibu akan lebih mudah tersinggung, mood swing, menangis tanpa alasan yang jelas, kurangnya nafsu makan secara drastis, dan pada pangkalnya bisa berakibat depresi berat. Penyebabnya sendiri beragam, mulai dari sulitnya beradaptasi, kurang istirahat, maupun kurangnya support sistem pendukung dari keluarga dan masyarakat. Kompasiana (24/11/2023).

Posbakum, Prodeo Solusikah?

Data ini menunjukan bahwa perempuan lebih banyak mengambil inisiatif untuk mengakhiri pernikahan. Sebagai langka preventif, Pengadilan Agama Ternate menyediakan berbagai layanan bantuan hukum bagi masyarakat yang membutuhkan, antara lain, pos bantuan hukum (posbakum) yakni mengadakan layanan konsultasi hukum gratis. Prodeo, yaitu pembiayaan perkara oleh negara bagi masyarakat tidak mampu, dengan melampirkan surat keterangan dari kelurahan dan juga sidang keliling agar mempermuda akses masyarakat yang tinggal daerah terpencil. Haliyora (09/10/2025).

Di sisi lain, rata-rata memang ditemukan bahwa mereka yang ingin menikah ternyata tidak semuanya siap, belum paham tentang keluarga, belum siap menjadi suami atau istri, serta belum paham tentang manajemen keuangan, kesehatan reproduksi. Akibatnya, hal ini berpotensi melahirkan generasi stunting, bahkan sangat berpotensi untuk bercerai.

Hanya saja, pada saat yang sama, banyak undang-undang yang sudah dirumuskan untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga atau mengurangi kasus KDRT namun tidak berhasil. Ada juga undang-undang yang melarang pernikahan usia muda. Namun nyatanya, undang-undang tersebut tidak mampu mengurangi pernikahan usia muda. Padahal dampaknya, perceraian didominasi oleh pasangan usia muda di bawah lima tahun usia pernikahan.

Hal seperti ini wajar saja terjadi di kalangan ibu, dengan kondisi mengawali pernikahan yang tidak sesuai dengan ridha Allah dan  tujuan yang tidak mulia. Maka ketika masalah datang mereka tidak mampu untuk mengatasinya, begitupun lingkungan keluarga yang terdekat, masyarkat tidak melakukan kewajiban dalam menerapkan amar ma’ruf memberikan nasihat, motivasi yang baik dan nahi munkar membiarkan mereka dalam kungkungan dosa bahkan mendukung, memberikan kebebasakan kepada mereka. Seperti sebelum berumah tangga dibiarkan melakukan  aktivitas pacaran.

Begitupun tanggung jawab besar negara diabaikan, walaupun ada upaya memberikan solusi, tapi realitasnya nihil. Karena akar masalah yang belum diatasi oleh negara yakni sistem kehidupan(sistem negara) kapitalisme, akidahnya sekuler, standar kehidupan mereka materi, ikatan perbuatan mereka liberal. Hingga terjadinya krisis moral, Pandangan sempit yang membatasi peran ibu, tantangan keseimbangan antara karier dan keluarga. Ini yang namanya Modern nation state sekuler/ Negara bangsa ini diidentik sekuler.

Semua itu jauh dari pada syariat Islam kaffah. Padahal Allah telah memberikan jalan dan menganjurkan kepada suami untuk membimbing dan menjaga keluarganya.

Allah berfirman, “Kaum  laki-laki itu adalah pemimpin (qawwam) bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan).” (QS An-Nisa [4]: 34).

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”
(QS. At-Tahrim [66]: 6).

Dalil di atas hanyalah sebagian kecil dari anjuran Islam untuk menikah dan mempertahankan pernikahan. Dengan adanya pernikahan itu, lahirlah keharusan bagi seorang laki-laki untuk mengurus dan memimpin perempuan, yakni kepemimpinan yang sesuai dengan syariat Islam.

Dengan adanya ketetapan dari Allah tentang kepemimpinan seorang suami terhadap istrinya, aturan Islam mengharuskan para suami untuk berbuat baik, memuliakan dan lembut kepada mereka. Sebab, istri salehah adalah mereka yang menunaikan hak-hak Allah dengan menaati Allah dan Rasul-Nya serta menunaikan hak suami dengan ketaatan, penghormatan dan khidmat kepada suami.

Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian terhadap keluargaku (istriku).” (HR Al-Hakim dan Ibnu Hibban dari jalur Aisyah ra.).

Dalam menghadapi ujian pernikahan, setiap pasangan suami istri hendaknya bersabar terhadap satu sama lain. Jika seorang suami mendapati suatu kekurangan pada istri, janganlah membencinya secara total. Sebab, pasti ada kebaikan di sisi lain yang dapat menutupi kekurangan tadi.

Rasulullah saw., bersabda, “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika si laki-laki tidak menyukai suatu akhlak pada si perempuan, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai.” (HR Muslim).

Rasulullah saw. juga bersabda, “Perempuan mana saja yang meminta talak (cerai) tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah).

Meski perceraian adalah suatu realitas kehidupan yang kadangkala tidak bisa dihindari oleh pasangan suami istri, tentunya tidak ada yang menghendaki perceraian menjadi cita-cita bagi masa depan pernikahannya. Namun, ketika terjadinya perceraian ternyata menjadi tren, bahkan fenomena sosial yang angkanya meningkat drastis, ini tentu tidak bisa kita biarkan.

Peran Negara

Dengan ini, mengingat faktor eksternal juga bisa berpengaruh pada pernikahan sehingga berujung perceraian, bahkan sifatnya sistemis, tentu  kondusifitas kehidupan pernikahan juga memerlukan peran negara penegak syariat Islam kaffah (Khilafah) agar pernikahan tersebut tetap terjaga dalam koridor sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Mengenai kehidupan sekuler saat ini memang telah begitu mudah dan kuat mengikis kebahagiaan rumah tangga. Faktor-faktor seperti kemiskinan, perselingkuhan, pergeseran orientasi hidup, pengaruh deras dan bebasnya media, hingga masyarakat yang rawan maksiat sejatinya turut menyumbang dampak negatif terhadap rapuhnya bangunan keluarga. Selain penjagaan Khilafah terhadap ketakwaan individu, faktor-faktor tersebut juga diatur oleh negara sehingga tidak berlarut menjadi mimpi buruk dalam kehidupan masyarakat.

Khatimah

pencagaan individu dengan cara yang  jelas, yakni sesuai prosedur syariat Islam, dengan tujuan untuk mencapai ridha Allah. Begitupun perjuangan untuk mengganti tatanan kehidupan yang sekuler dan liber dengan tatanan kehidupan seluruh syariat Islam.

Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk melawan arus ini. Kita perlu menyampaikan kepada umat bahwa Islam punya tata cara tersendiri untuk menuju jenjang pernikahan, bukan dengan pacaran. Menjalankannya karena dorongan taat kepada Allah tentu akan mendatangkan kebaikan, pahala, dan tentu saja keberkahan dari Allah Taala. Wallahualam. (*)