Oleh: Rifaldi Umafagur

_________________

PEMBANGUNAN desa sejatinya adalah jalan menuju kemandirian masyarakat. Namun, apa jadinya bila dana yang seharusnya menjadi jembatan kesejahteraan, justru berubah menjadi tembok yang memisahkan masyarakat dengan pemerintahnya sendiri? Fenomena ini kini tergambar nyata di Desa Auponhia, Kecamatan Mangoli Selatan, di mana dugaan penyalahgunaan dana desa menjadi kisah pahit yang terus berulang tanpa penyelesaian.

Sejak tahun 2022 hingga 2025, masyarakat Auponhia menunggu penjelasan yang tak kunjung datang. Setiap tahun, laporan keuangan desa yang seharusnya diketahui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan disampaikan secara terbuka kepada masyarakat, justru hilang dalam diam. Transparansi yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa, tampak hanya menjadi teks tanpa makna.

Di tahun 2025, dana pembinaan kemasyarakatan senilai Rp181.830.000 tidak terealisasi hingga kini. Ironisnya, kegiatan serupa juga tidak berjalan di tahun sebelumnya, meski tercantum dalam laporan APBDes 2024. Padahal, pada awal 2025, warga sempat melaporkan dugaan penggelapan tersebut dan bahkan menjadi sorotan media MalutPost. Alih-alih melakukan evaluasi, kepala desa justru menurunkan bendahara desa yang memberikan klarifikasi ke publik. Pergantian itu bukan sekadar administratif, tetapi menjadi simbol pembungkaman: bagaimana hal yang seharunya diungkapkan justru dipadamkan dengan kekuasaan.

Fenomena ini bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga krisis komunikasi publik dan etika pemerintahan lokal. Dalam sistem pemerintahan yang sehat, transparansi adalah bentuk penghormatan terhadap warga. Pemerintah desa bukan sekadar pengelola anggaran, melainkan fasilitator antara kebutuhan masyarakat dan arah pembangunan. Namun di Auponhia, komunikasi antara pemerintah desa, BPD, dan masyarakat justru terputus. Permintaan laporan pertanggungjawaban realisasi anggaran pendapatan dan belanja desa (LPJ APBDes) yang berulang dari BPD sejak 2022 tidak pernah direspons, dan itu berarti satu hal: pemerintah desa menutup akses terhadap informasi publik.

Padahal, menurut teori Good Governance, transparansi dan akuntabilitas adalah dua pilar utama tata kelola pemerintahan yang bersih. Ketika keduanya runtuh, maka kepercayaan masyarakat ikut hancur. Di banyak desa, kepercayaan adalah modal sosial yang lebih berharga daripada uang kas desa itu sendiri.

Lebih jauh, dugaan bahwa kepala desa menjadikan motor Revo inventaris desa dan mesin laut sebagai jaminan utang pribadi, memperlihatkan gejala penyimpangan moral yang serius. Barang publik dijadikan sandera untuk kepentingan individu. Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi — ini bentuk pengkhianatan terhadap mandat rakyat.

Dari sudut pandang komunikasi publik, fenomena Auponhia mencerminkan distorsi fungsi kekuasaan lokal. Pemerintah desa gagal memahami bahwa kepemimpinan bukan tentang memiliki informasi, melainkan tentang membagikannya. Keterbukaan adalah bentuk komunikasi yang paling mendasar dalam membangun kepercayaan sosial. Ketika komunikasi itu diputus, maka yang tumbuh bukan lagi gotong royong, melainkan kecurigaan.

Oleh karena itu, peran lembaga pengawas dan masyarakat sipil harus diperkuat. BPD sebagai lembaga kontrol desa mesti berani bersuara dan melibatkan media dalam pengawasan penggunaan dana desa. Pemerintah daerah juga tidak bisa terus diam, sebab pembiaran berarti ikut mewariskan budaya korupsi yang halus tapi berakar.

Auponhia hari ini adalah cermin kecil dari banyak desa lain yang mungkin mengalami hal serupa, tapi memilih diam karena takut. Padahal diam hanya memperpanjang luka. Masyarakat berhak tahu ke mana uang mereka digunakan, dan pemerintah berkewajiban menjelaskannya dengan jujur.

Pembangunan sejati tidak lahir dari proyek-proyek yang megah di atas kertas, tetapi dari kepercayaan antara pemimpin dan warganya. Jika dana desa berubah menjadi alat kuasa, maka cita-cita kemandirian yang diimpikan Undang-Undang Desa akan terkubur oleh kerak keserakahan. (*)