Oleh: Muhammad Wahyudin

Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan FKIP Unkhair Ternate

_____________

SUBAIM di Halmahera Timur pernah dikenal sebagai wilayah dengan sawah yang subur, air yang jernih, dan kehidupan petani yang sederhana namun cukup. Setiap musim tanam, pemandangan hijau menghampar di sepanjang lereng Wasile, memberi napas bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada tanah. Namun kini, pemandangan itu perlahan menghilang. Air irigasi yang dahulu bening berubah warna menjadi coklat pekat, mengandung lumpur dan sisa logam berat dari aktivitas pertambangan nikel di wilayah hulu. Tanah yang dulu gembur kini mengeras, dan padi yang dulu tumbuh subur kini sering gagal panen. Sawah yang dahulu menjadi sumber kehidupan, kini menjadi saksi bisu dari kerusakan lingkungan yang ditinggalkan industri tambang.

Bagi petani di Subaim sawah bukan sekadar lahan produksi, melainkan bagian dari kehidupan dan identitas. Namun sejak aktivitas tambang meningkat, mereka kehilangan bukan hanya hasil panen, tetapi juga martabat. “Airnya bau besi, padi tak mau tumbuh,” ujar seorang petani dalam laporan Bacanesia.com (28 Oktober 2025). Keluhan sederhana itu menyimpan kepedihan mendalam sebuah generasi yang terpaksa menyaksikan tanah warisan mereka berubah menjadi kubangan limbah. Fenomena ini menunjukkan bagaimana pembangunan yang mengatasnamakan kemajuan sering kali justru menyingkirkan mereka yang paling bergantung pada alam.

Pemerintah pusat dan daerah sering menempatkan nikel sebagai komoditas strategis dalam proyek hilirisasi nasional. Narasi besar tentang “transisi energi hijau” menjadikan tambang nikel sebagai pahlawan baru dalam ekonomi global. Namun ironinya, transisi energi yang katanya ramah lingkungan justru menciptakan ketimpangan ekologis di daerah-daerah penghasilnya. Menurut laporan MalutPost (21 Agustus 2025), sejumlah perusahaan tambang di Halmahera Timur telah mencemari saluran irigasi di Subaim. Air menjadi keruh, tanah kehilangan kesuburannya, dan hasil panen menurun tajam. Pemerintah memang sempat melayangkan surat teguran, tetapi tindakan tegas tidak kunjung dilakukan. Di saat yang sama, masyarakat dibiarkan menghadapi kenyataan pahit bahwa pembangunan nasional dibayar dengan kehancuran lokal.

Dalam rapat dengar pendapat DPRD Halmahera Timur yang diberitakan oleh Mediapatriot.co.id (30 Oktober 2025), dua perusahaan besar — PT Alam Raya Abadi (ARA) dan PT Jaya Abadi Semesta (JAS) — mengakui adanya sedimen di saluran irigasi dan berjanji membangun cekdam untuk menahan limpasan limbah. Namun janji itu hanyalah gema lama yang telah berulang kali diucapkan tanpa hasil nyata. Di lapangan, petani tetap menanam di tanah yang rusak, berharap pada hujan agar sisa logam dan lumpur terbawa pergi. Mereka bekerja dalam diam, di tengah ketidakpastian dan kesenyapan kebijakan.

Padahal dalam peraturan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ironinya, di Subaim yang makmur justru perusahaan, bukan rakyat. Hasil bumi diangkut keluar daerah, sementara masyarakat hanya menerima sisa berupa udara berdebu, air tercemar, dan tanah tandus. Fenomena ini sejalan dengan temuan Brown & Green (2023) dalam Journal of Environmental Sociology yang menyebut eksploitasi sumber daya di wilayah terpencil sebagai bentuk ecological colonialism — kolonialisme ekologis di mana sumber daya alam dieksploitasi demi keuntungan global, sementara masyarakat lokal kehilangan kendali atas ruang hidupnya sendiri.

Namun di balik krisis ekologis ini tersembunyi krisis lain yang lebih dalam yaitu krisis pendidikan. Apa yang bisa diajarkan kepada anak-anak di Subaim ketika mereka melihat sawah orang tua mereka rusak oleh limbah tambang? Bagaimana sekolah dapat berbicara tentang “pembangunan berkelanjutan” jika air untuk mencuci tangan saja sudah tidak layak pakai? Pendidikan yang sejatinya berfungsi membebaskan manusia dari ketidaktahuan kini tampak terjebak dalam kebisuan. Ia sibuk mengejar nilai, tetapi lupa menumbuhkan kesadaran. Di ruang kelas, guru mungkin mengajarkan tentang pentingnya menjaga lingkungan, tetapi di luar kelas, anak-anak menyaksikan sendiri bagaimana alam dihancurkan dengan restu kekuasaan.

Dalam kerangka pemikiran Paulo Freire (1970), pendidikan sejati bukanlah transfer pengetahuan, melainkan proses penyadaran. Pendidikan harus membuka mata manusia terhadap realitas ketidakadilan yang menindasnya. Dalam konteks Subaim, penindasan itu datang dari kebijakan ekonomi yang memihak modal dan mengorbankan kehidupan. Maka, pendidikan yang membebaskan harus lahir dari kesadaran ekologis — kesadaran bahwa merawat tanah adalah bagian dari merawat kemanusiaan. Sekolah-sekolah di daerah tambang seharusnya menjadi pusat pembelajaran ekologis, bukan sekadar tempat hafalan teori. Guru dapat mengajak murid meneliti kualitas air, menanam pohon di bantaran sungai, atau menulis refleksi tentang dampak tambang terhadap kehidupan keluarga mereka. Dari kesadaran semacam itu, generasi baru akan tumbuh dengan nilai-nilai keberlanjutan dan keadilan.

Sayangnya, pendidikan di wilayah tambang sering kali menjadi alat legitimasi perusahaan. Melalui program CSR, perusahaan memberikan beasiswa atau merenovasi sekolah, namun di saat yang sama merusak sumber kehidupan masyarakat. CSR tidak bisa dijadikan ganti rugi atas kehancuran ekologis; ia seharusnya menjadi tanggung jawab moral yang mendalam. Pendidikan yang sejati tidak bisa dibangun di atas penderitaan lingkungan. Tidak ada artinya memberi buku pelajaran kepada anak-anak jika tanah tempat mereka berpijak sudah kehilangan kehidupan.

Subaim hari ini adalah cermin dari kegagalan pembangunan yang kehilangan arah moral. Negara seolah sibuk mengejar angka pertumbuhan, tetapi lupa pada prinsip keadilan ekologis. Pemerintah daerah terjebak dalam dilema antara menjaga investasi dan melindungi rakyatnya. Sementara masyarakat terus bertahan di antara dua pilihan: menjadi korban atau menjadi saksi. Dalam kondisi seperti ini, harapan terbesar justru datang dari pendidikan — dari guru-guru yang berani berbicara, dari anak-anak yang berani bertanya, dari warga yang masih mau belajar mempertahankan alamnya.

Pendidikan adalah tindakan politik, sebagaimana Freire katakan, dan tindakan politik itu harus berpihak pada kehidupan. Pendidikan yang diam terhadap pencemaran adalah pendidikan yang gagal. Tetapi pendidikan yang berani menyuarakan kebenaran, yang mengajarkan keberanian mencintai alam, itulah pendidikan yang memerdekakan. Karena sesungguhnya, mencintai tanah adalah bentuk tertinggi dari mencintai kehidupan itu sendiri.

Di tengah keruhnya air Subaim, masih ada secercah cahaya. Beberapa pemuda mulai menginisiasi gerakan menanam kembali pohon di daerah resapan air, guru-guru mulai mengajak murid berdiskusi tentang perubahan lingkungan, dan komunitas petani mulai menolak perluasan tambang. Mungkin langkah-langkah kecil itu belum cukup mengembalikan kejernihan sungai, tetapi setidaknya mereka sedang menanam harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, sawah akan kembali hijau, dan pendidikan akan benar-benar menjadi cahaya bagi kehidupan.

Freire pernah menulis bahwa pendidikan sejati adalah tindakan cinta terhadap manusia dan dunia. Maka mencintai dunia hari ini berarti menolak kehancurannya. Mencintai manusia berarti memperjuangkan hak mereka atas tanah, air, dan udara yang bersih. Sawah yang hilang mungkin sulit kembali, tetapi kesadaran tidak boleh ikut hilang. Selama masih ada yang berani belajar, bertanya, dan bertindak, Subaim akan tetap memiliki harapan — harapan yang tumbuh dari lumpur, untuk masa depan yang lebih hijau dan manusiawi. (*)