Oleh: Khaizuran
______________
JUTAAN anak Indonesia mengalami fatherless, ini adalah masalah serius yang perlu diselesaikan. Fatherless adalah ketiadaan peran ayah dalam pengasuhan anak-anak baik secara biologis maupun psikis. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya fatherless di antaranya adalah perceraian, ayah tinggal jauh karena pekerjaan, dan hubungan emosional yang tidak baik sejak kecil.
Secara survei menyebutkan bahwa dampak fatherless terhadap perkembangan anak sangat banyak mulai dari masalah emosional dan psikologis seperti depresi, kecemasan, masalah kepercayaan dan kesulitan membentuk diri. Selain itu juga menimbulkan dampak perilaku sosial seperti kenakalan, gangguan perilaku seksual dan lainnya.
Fatherless sudah menjadi fenomena di Indonesia. Sekitar 20,9 % anak di Indonesia dikatakan tumbuh tanpa peran aktif ayah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 menunjukan bahwa angka tersebut setara dengan sekitar 15,9 juta anak dari total 79,4 juta anak usia di bawah 18 tahun.
Menelisik akar permasalahan fatherless
Jika ditelisik secara fakta memang benar bahwa masalah fatherless disebabkan oleh faktor perceraian, pekerjaan dan faktor lainnya. Tetapi faktor ini hanyalah bagian permukaan, bukan pada akar masalah sebenarnya.
Angka perceraian yang tinggi sangat berkaitan erat dengan sulitnya perekonomian di Indonesia. Sebab terbatasnya lapangan pekerjaan dan tidak ada jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar oleh negara menambah sulit kondisi para ayah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, meski sudah dilakukan dengan kerja keras.
Kesulitan ekonomi di tengah kehidupan yang semakin mencekik juga membuat para ayah harus bekerja keras dengan bekerja di luar bahkan menjadi pekerja migran dan risikonya harus meninggalkan istri dan anaknya, kondisi seperti inilah yang memungkinkan kurangnya peran ayah dalam pengasuhan anak.
Hal ini tidak bisa lepas dari penerapan sistem kapitalisme sekuler, dalam sistem kapitalis yang diterapkan saat ini telah menjadikan negara berlepas tangan dalam memenuhi kehidupan mendasar masyarakat seperti sandang, pangan dan papan. Bahkan, penyediaan lapangan pekerjaan juga amat terbatas. Hilangnya peran negara ini menyebabkan para ayah sibuk dan fokus mencari nafkah, tetapi kehilangan peran dalam pendidikan anak.
Bukan hanya itu, penerapan sistem kapitalisme menjadikan orang tua bahkan seorang ibu fokus mengejar harta dan jabatan daripada harus meluangkan waktu untuk mendidik dan mengasuh anak-anak. Sehingga meski fisik dekat tetap kehadiran peran mereka terasa jauh.
Hal ini tidak bisa lepas dari faktor pemahaman agama (Islam). Seiring dengan sekularisasi kehidupan, umat Islam makin jauh dari pemahaman agama yang mencukupi. Banyak di antaranya juga menjalani peran sebagai orang tua tidak dibarengi dengan tsaqofah Islam. Alhasil, akhirnya sebagai ayah ia tidak memiliki bekal bagaimana memahami esensi penting tugas ayah sebagai pemimpin (qawwam), bahkan banyak juga yang mengaggap masalah pengasuhan hanyalah kewajiban seorang ibu.
Peran seorang ayah dalam Islam
Laki-laki di dalam Islam memiliki peran yang sangat penting, Allah menciptakannya sebagai pemimpin dan penanggung jawab keluarganya, termasuk anak-anaknya. Allah Swt. Berfirman.,
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), juga karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (kepada perempuan).” (QS An-Nisa’ [4]: 34).
Rasulullah saw. bersabda,
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
“Dan laki-laki adalah pemimpin anggota keluarganya dan ia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri adalah pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka.” (HR Bukhari).
Berdasarkan penjelasan secara syariat di atas jelas bahwa bagaimana peran seorang ayah harus benar-benar bertanggung jawab terhadap keluarganya, termasuk dalam hal pendidikan. Pendidikan utama seorang anak ada pada keluarganya, bagaimana anak-anak itu menjadi saleh dan juga mushlih jika anaknya kehilangan kehadiran sosok ayah dalam mendidiknya.
“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain (pendidikan) adab yang baik.” (HR Al-Hakim No. 7679).
Islam mendudukan bahwa peran seorang ayah tidak hanya berkewajiban memenuhi nafkah keluarga, tetapi lebih dari itu harus memenuhi tangki pendidikan keluarga termasuk anak secara baik dan benar menurut syara. Jangan sampai peran mencari nafkah telah melalaikannya dari pendidikan dan pengasuhan terhadap anak.
Bahkan Islam memandang peran ayah sama pentingnya dengan peran seorang ibu dalam pendidikan. Al’quran telah menggambarkan hal ini dalam QS Lukman ayat 17. Allah berfirman:
“Wahai anakku! Dirikanlah salat, suruhlah (manusia) berbuat yang makruf, dan cegahlah dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (QS Luqman [31]: 17).
Islam juga telah memberikan panduan pentingnya laki-laki dan perempuan memiliki kesiapan ilmu yang cukup sebelum menjadi orang tua. Dalam negara Islam pendidikan terutama tsaqofah Islam adalah kebutuhan mendasar masyarakat yang wajib dipenuhi negara, sehingga masyarakat tidak terbebani biaya dan hal lainya yang ada adalah kesungguhan.
Mengembalikan peran ayah
Fenomena fatherless jelas menggambarkan betapa buruknya penerapan sistem sekuler-kapitalisme. Berbeda dengan sistem Islam yang mampu menjadi tempat yang nyaman bagi ayah untuk menjalankan perannya dalam pendidikan. Sebab dalam sistem Islam yang berideologi Islam pada aspek politiknya, pemerintahan dijalankan untuk meraih rida Allah semata dengan ketaatan secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan. Hasilnya adalah kebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat.
Seperti negara bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan mendasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan kebutuhan sandang dan pangan. Sehingga para ayah tidak stres untuk memikirkan masalah ini.
Semua ini ditopang dari sumber pendapatan kas negara yang shohih dan jelas, bukan pada pajak dan utang. Salah satunya Negara mengelola secara penuh SDA sebagai kepemilikan umum yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat, bahkan syariat mengharamkan untuk meprivatisasi SDA. Inilah kemudian membuat negara mampu secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Negara Islam juga men-support peran ayah dengan membuka lapangan kerja dengan upah layak, memberikan jaminan kehidupan, sehingga ayah memiliki waktu yang cukup bersama anak dan mendidiknya. Bahkan sistem Islam (khilafah) juga memberi santunan jika ada para ayah yang lemah sehingga tidak mampu bekerja.
Benar bahwa Islam memang mewajibkan para ayah berkewajiban memberikan nafkah bagi keluarganya. Tetapi, dalam sistem Islam, ayah tidak diforsir tenaganya demi mengejar materi. Keluarga muslim memahami konsep kanaah sehingga tidak menggebu-gebu mengejar dunia hingga tidak ada waktu untuk keluarga. Negara tidak menjadikan produksi sebagai ukuran kesejahteraan sehingga pekerja tidak dieksploitasi untuk terus-menerus bekerja demi mengejar target produksi.
Sesungguhnya kita membutuhkan solusi solutif dalam mengakhiri fenomena fatherless dan mengembalikan peran ayah dalam mendidik generasi. Solusi itu adalah kembali pada sistem Islam yang mampu menerapkan Islam secara kaffah dan mengembalikan peran ayah dalam pendidikan. Wallahu’alam. (*)

Tinggalkan Balasan