Oleh: Jesly Potoboda

_____________

KABAR berpulangnya Melani Wamea meninggalkan duka mendalam bagi seluruh civitas akademik Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), khususnya di lingkungan Program Magister Administrasi Pendidikan. Melani merupakan salah satu putri terbaik Papua yang dengan ketulusan hati mendedikasikan hidupnya bagi dunia pendidikan di tanah kelahirannya. Meski tidak sekelas dengannya, sosok Melani dikenal sebagai pribadi yang rendah hati, bersemangat, dan berkomitmen tinggi terhadap profesinya sebagai pendidik.

Melani adalah alumni Universitas Pelita Harapan (UPH). Ia kemudian melanjutkan pendidikan pascasarjana di UKSW, Salatiga sebagai mahasiswa semester pertama Program Magister Administrasi Pendidikan kelas A melalui sistem perkuliahan daring. Di tengah aktivitasnya sebagai guru di Papua, ia tetap meluangkan waktu untuk belajar dan mengembangkan diri. Sikap ini menunjukkan keyakinannya bahwa seorang pendidik sejati tidak pernah berhenti belajar, karena ilmu dan pengabdian adalah dua hal yang tidak terpisahkan.

Melani Wamea semasa hidupnya.

Kabar kepergian Melani mengguncang banyak hati. Dosen dan mahasiswa di Program Magister Administrasi Pendidikan ikut berduka. Beberapa kelas bahkan dihentikan sejenak untuk berdoa bersama mengenang sosoknya. Dalam keheningan doa itu, tersirat rasa kehilangan sekaligus rasa syukur atas teladan yang telah ia berikan. Di dunia akademik yang sering sibuk dengan tugas dan jadwal, kepergian Melani mengingatkan kami semua akan makna sejati dari panggilan menjadi pendidik sebuah pengabdian yang dijalani dengan cinta dan pengorbanan.

Dalam setiap kisah yang diceritakan rekan-rekannya, Melani menampilkan ketulusan dan semangat untuk terus berkarya di bidang pendidikan. Ia meyakini bahwa tugas seorang guru bukan sekadar mengajar, tetapi juga menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap proses belajar. Pendidikan, baginya, adalah jalan untuk mengangkat martabat manusia, membangun karakter, dan menyalakan harapan bagi anak-anak Papua yang rindu akan masa depan yang lebih baik.

Ketekunan Melani mencerminkan nilai luhur seorang guru yang melihat profesinya sebagai panggilan hidup. Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi dunia pendidikan di daerah, ia tetap memilih untuk mengabdi dan menyalakan cahaya ilmu di tempat yang membutuhkan. Seperti yang diajarkan Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.” Dalam setiap langkahnya, Melani meneladankan semangat itu menjadi teladan di depan, membangkitkan semangat di tengah, dan memberi dorongan di belakang.

Kini Melani memang telah tiada. Ia gugur di tanah kelahirannya, Papua, dalam jalan pengabdian yang mulia. Kepergiannya menjadi kehilangan besar, tetapi sekaligus menjadi pengingat bagi kita semua bahwa pengabdian sejati kerap disertai dengan pengorbanan yang tidak ringan. Gugurnya seorang pendidik di tempat ia mengabdi adalah bentuk tertinggi dari dedikasi sebuah tanda bahwa cinta terhadap pendidikan dan tanah air dapat mengatasi segala keterbatasan dan risiko.

Warisan nilai yang ditinggalkan Melani Wamea akan terus hidup di hati banyak orang baik rekan sejawat, mahasiswa, maupun peserta didik yang pernah merasakan sentuhan kasih dan semangatnya. Ia telah membuktikan bahwa pendidikan bukan hanya urusan ruang kelas, tetapi juga tentang keberanian untuk tetap menyalakan harapan di tengah keterbatasan. Sejalan dengan pemikiran Paulo Freire, bahwa “Pendidikan sejati bukanlah tindakan mentransfer pengetahuan, tetapi tindakan memerdekakan.” Melani telah menghidupi gagasan itu melalui caranya sendiri dengan menjadi pembebas lewat pengajaran, keteladanan, dan kasih.

Dalam dirinya, kita belajar bahwa menjadi guru berarti menjadi pembelajar sepanjang hayat, dan bahwa pengabdian kepada pendidikan adalah wujud tertinggi dari cinta kepada manusia dan kepada Tuhan. Semoga semangat, ketulusan, dan dedikasi Melani Wamea menjadi inspirasi bagi setiap insan pendidikan untuk terus berjuang, melayani, dan menghadirkan terang melalui ilmu pengetahuan.

Melani telah berpulang, namun semangatnya akan terus hidup di hati banyak orang dan di tanah Papua yang ia cintai. Ia telah gugur dalam pengabdian dan pengabdian yang tulus, seperti yang ia hidupi, adalah kemuliaan yang abadi. (*)