Oleh: Hara Fhanira

____________

KEKEJAMAN yang menimpa rakyat Gaza kembali mengguncang nurani dunia. Serangan demi serangan yang dilakukan oleh militer Zionis telah menimbulkan kehancuran besar tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara moral bagi dunia yang mengaku menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Setiap hari, berita tentang korban sipil, anak-anak yang kehilangan orang tua, dan rumah-rumah yang rata dengan tanah menjadi saksi bisu dari tragedi yang seolah tak berujung ini. Namun, ironisnya, respons dunia internasional masih jauh dari kata memadai.

Kejahatan Zionis terhadap rakyat Palestina bukan hal baru. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, intensitasnya meningkat dengan drastis. Berdasarkan laporan dari berbagai media, termasuk Republika (14 Oktober 2025), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan memerintahkan untuk merebut sepenuhnya Kota Gaza, seraya mendesak warga sipil agar mengungsi. Instruksi ini bukan hanya menunjukkan arogansi kekuasaan, tetapi juga mengabaikan prinsip-prinsip dasar hukum internasional yang melindungi warga sipil dalam konflik bersenjata.

Situasi kian diperburuk oleh dukungan politik dari tokoh-tokoh kuat di dunia, salah satunya Donald Trump, yang secara terbuka memberikan dorongan bagi Zionis untuk mengambil alih Gaza. Dukungan semacam ini memberi legitimasi bagi agresi yang dilakukan Israel, dan secara tidak langsung mematikan harapan atas lahirnya keadilan bagi rakyat Palestina. Bagi banyak pihak, ini menunjukkan bahwa isu Palestina bukan hanya konflik agama atau wilayah, melainkan juga hasil dari permainan politik global yang mengorbankan kemanusiaan.

Meski banyak negara besar tampak bungkam atau bersikap ambigu, sebagian umat manusia di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa nurani mereka belum mati. Gerakan solidaritas terus bermunculan, baik dalam bentuk demonstrasi, kampanye daring, maupun misi kemanusiaan. Salah satunya adalah Sumud Flotilla, misi global yang menantang blokade Gaza dengan membawa bantuan kemanusiaan dari berbagai negara (RRI, 2025).

Gerakan seperti ini memperlihatkan bahwa dunia masih memiliki segelintir pihak yang peduli dan berani melawan ketidakadilan, meski dengan cara damai. Mereka sadar bahwa penderitaan Gaza bukan semata urusan Palestina, melainkan ujian bagi seluruh umat manusia: sejauh mana kita benar-benar memahami arti keadilan, solidaritas, dan kemanusiaan yang sejati.

Namun, sekuat apa pun gerakan kemanusiaan ini, bantuan yang terkumpul tetap belum mampu menghentikan agresi. Bantuan medis, logistik, dan dukungan moral memang penting, tetapi mereka hanya menambal luka, bukan menyembuhkan akar masalahnya. Di sinilah letak persoalan besar: dunia terlalu sibuk memadamkan api di permukaan, tanpa berani menantang sumber apinya.

Salah satu faktor yang memperparah penderitaan Gaza adalah diamnya para penguasa Arab. Negara-negara yang seharusnya memiliki kedekatan historis dan emosional dengan Palestina justru terjebak dalam kepentingan politik dan ekonomi yang sempit. Sebagian bahkan memilih menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, dengan alasan stabilitas kawasan atau kerja sama ekonomi. Padahal, normalisasi itu secara tidak langsung memperkuat posisi Zionis dan melemahkan solidaritas dunia Islam.

Pengkhianatan semacam ini bukan hanya pengkhianatan politik, melainkan juga moral dan spiritual. Ketika bangsa-bangsa Muslim kehilangan keberanian untuk menegakkan keadilan, maka nilai-nilai persatuan yang diajarkan Islam seolah kehilangan maknanya. Rasulullah ﷺ pernah menekankan pentingnya solidaritas umat sebagaimana satu tubuh: bila satu bagian terluka, seluruh tubuh merasakannya. Namun kini, tubuh umat tampak terbelah, sebagian sibuk bernegosiasi, sebagian lagi memilih diam, sementara Gaza berdarah.

Upaya kemanusiaan dari berbagai pihak memang patut diapresiasi, namun sayangnya, langkah-langkah tersebut belum menyentuh akar dari ketidakadilan. Bantuan pangan, obat-obatan, dan diplomasi internasional tidak akan mampu menghentikan agresi selama sistem yang melindungi pelaku kejahatan masih dibiarkan. Israel, dengan dukungan negara-negara besar, terus menolak resolusi internasional yang menuntut gencatan senjata atau pembatasan agresi. Dunia seolah berputar dalam lingkaran tak berujung: mengecam, menolong, lalu melupakan. Padahal, penderitaan Gaza tidak akan berakhir dengan kata-kata simpati semata, melainkan membutuhkan keberanian untuk menegakkan keadilan yang nyata.

Dalam Islam, keadilan bukan hanya semata ide moral, tetapi juga kewajiban kita sebagai khalifah di muka bumi. Islam mengajarkan bahwa menolong yang tertindas adalah bentuk nyata dari iman. Namun menolong di sini bukan semata dalam arti fisik, melainkan juga dengan menyuarakan kebenaran, melawan propaganda, dan membangun kesadaran kolektif agar kezaliman tidak terus dianggap sebagai hal biasa. Tragedi Gaza seharusnya menjadi momentum untuk membangkitkan kesadaran umat bahwa solusi sejati tidak datang dari sistem dunia buatan manusia yang lemah dan timpang, melainkan dari nilai-nilai Islam Kaffah yang asalnya dari Allah.

Persatuan umat menjadi kunci penting dan solusi yang hakiki. Dengan begitu, akan terlahir suatu institusi negara yaitu Khilafah yang menjadi legitimasi umat untuk melakukan Jihad Fisabilillah. Ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah di masa pemerintahannya setelah berhasil mendirikan negara di Mekkah dan Madinah lalu dilanjutkan kepemimpinannya oleh Khalifah-Khalifah yang dipilih hingga 13 abad lamanya. Ketika umat mampu membangun dan melanjutkan amanah Rasulullah dengan kekuatan yang setara atau lebih dari Israel, dunia tidak akan mudah mengabaikannya dan Palestina pun dapat ditolong karena umat tidak mungkin mengandalkan kekuatan lain yang tidak pernah mengambil langkah konkrit selama puluhan tahun ini.

Selain itu, perlu ada peningkatan literasi dan kesadaran politik di kalangan masyarakat Muslim. Banyak pihak masih terjebak dalam narasi media Barat yang seringkali bias dan menutupi fakta sebenarnya. Padahal, membongkar narasi palsu adalah bagian penting dari perjuangan melawan penindasan. Masyarakat harus terus mengedukasi diri, memahami konteks sejarah Palestina, dan menyuarakan kebenaran melalui kanal-kanal informasi yang bisa menjangkau dunia.

Solusi hakiki untuk Gaza bukan sekadar menghentikan perang sementara, melainkan membangun tatanan dunia yang adil, di mana tidak ada bangsa yang berhak menindas bangsa lain. Islam menawarkan konsep keadilan universal yang tidak berpihak pada ras atau kekuasaan, tetapi pada kebenaran (Haq). Selama nilai-nilai dan langkah jangka panjang ini belum ditegakkan, maka penderitaan seperti yang dialami Gaza akan terus berulang dalam wajah yang berbeda. (*)