Oleh: Riyanto Basahona
_____________
KUNJUNGAN kerja Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, ke Provinsi Maluku Utara yang berlangsung mulai 15-16 Oktober 2025 semestinya menjadi momentum penting untuk menatap arah pembangunan yang lebih adil dan berkeadilan sosial. Namun pertanyaan mendasarnya: apakah kunjungan tersebut benar-benar membawa harapan baru bagi rakyat Maluku Utara, atau sekadar parade politik di atas angka-angka pertumbuhan ekonomi yang semu?
Menurut data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara 2025 mencapai 32,09 persen, tertinggi di Indonesia. Angka ini mengundang decak kagum, tetapi sekaligus menimbulkan tanya besar: siapa sebenarnya yang menikmati pertumbuhan tersebut? Apakah petani di Halmahera, nelayan di Taliabu, pedagang kecil di Sanana, atau justru para pemodal besar yang menguasai industri pertambangan nikel dan kawasan industri di Teluk Weda?
Pertumbuhan ekonomi sebesar 32 persen seharusnya berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Namun kenyataannya, sebagian besar warga Maluku Utara masih berhadapan dengan harga sembilan bahan pokok yang melambung tinggi. Di pasar-pasar tradisional, beras, gula, dan minyak goreng terus naik, sementara pendapatan masyarakat tak ikut bertambah. Ongkos logistik yang mahal antar-pulau, distribusi barang yang tidak efisien, dan lemahnya produksi lokal membuat rakyat kecil menjadi korban paling nyata dari sistem ekonomi yang timpang.
Di sisi lain, banyak wilayah pedesaan dan kepulauan yang masih bergelut dengan keterisolasian. Jalan dan jembatan rusak, dan akses pendidikan maupun kesehatan jauh dari layak. Ironisnya, daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi justru menjadi cermin ketimpangan paling mencolok. Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara sebagian besar digerakkan oleh sektor ekstraktif, seperti pertambangan dan pengolahan nikel. Sektor ini memang mendongkrak angka Produk Domestik Regional Bruto PDRB tetapi tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu persoalan mendasar di Maluku Utara adalah perampasan ruang hidup oleh oligarki ekonomi yang menguasai sumber daya alam. Aktivitas tambang yang masif di Halmahera Tengah, Halmahera Timur, dan beberapa daerah lain menyebabkan rusaknya hutan, tercemarnya sumber air, serta berkurangnya lahan pertanian dan pesisir yang selama ini menjadi penopang hidup masyarakat lokal.
Warga yang menolak atau mempertanyakan aktivitas pertambangan kerap kali justru dihadapkan pada intimidasi dan kriminalisasi. Dalam situasi seperti ini, kunjungan kerja pejabat negara mestinya tidak hanya berhenti pada seremoni atau kunjungan singkat ke kawasan industri, tetapi harus menyentuh realitas sosial di tingkat akar rumput.
Apakah Wapres Gibran sempat berdialog dengan masyarakat adat yang kehilangan lahannya? Apakah pemerintah mendengar keluhan para petani dan nelayan yang kini kesulitan mencari penghidupan? Pertanyaan-pertanyaan itu penting, sebab tanpa memahami luka di bawah, setiap kunjungan hanya akan menjadi ritual birokrasi tanpa makna.
Masyarakat Maluku Utara tidak menuntut janji muluk. Mereka hanya berharap kehadiran negara yang nyata bukan dalam bentuk angka-angka pertumbuhan, tetapi dalam wujud penurunan harga bahan pokok, ketersediaan jalan yang layak, dan jaminan atas ruang hidup yang aman.
Apakah kunjungan kerja Wapres mampu menyeimbangkan antara angka ekonomi 32 persen dengan kenyataan rakyat yang masih hidup di garis kemiskinan? Apakah ada solusi konkret terhadap mahalnya sembako yang menjerat rumah tangga di desa-desa pesisir? Ataukah kunjungan tersebut hanya menjadi panggung politik yang berjarak dari denyut kehidupan masyarakat?
Dalam konteks ini, publik patut kritis. Sebab, tanpa arah kebijakan yang jelas, tanpa keberpihakan kepada masyarakat lokal, dan tanpa pengawasan terhadap oligarki ekonomi yang menggurita, kunjungan kerja pejabat tinggi negara tak ubahnya “wisata kekuasaan” yang hanya memoles citra.
Pertanyaan yang lebih tajam: apakah Wapres Gibran sendiri memahami kompleksitas problem Maluku Utara? Sebagai figur muda yang lahir dari lingkar kekuasaan, ia tentu memiliki peluang untuk menghadirkan politik baru yang berpihak kepada rakyat. Namun peluang itu bisa lenyap jika ia terjebak dalam logika pembangunan elitis yang berpihak kepada korporasi besar dan para pemodal.
Rakyat tidak butuh kunjungan seremonial. Rakyat butuh keadilan yang nyata. Butuh kebijakan yang berpihak, bukan wacana yang meninabobokan. Butuh negara yang berani melindungi rakyatnya dari kerakusan oligarki, bukan yang tunduk di bawah kekuatan modal.
Maluku Utara adalah provinsi kepulauan yang unik, kaya sumber daya alam, dan memiliki posisi strategis di jalur ekonomi dunia. Namun kekayaan itu tidak akan bermakna jika pembangunan tidak menyentuh masyarakat di pulau-pulau kecil.
Pemerintah harus memprioritaskan pembangunan infrastruktur dasar jalan, jembatan, dermaga, serta transportasi antar-pulau. Pemerintah juga harus memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi inklusif: memberikan ruang bagi petani, nelayan, dan pelaku UMKM untuk tumbuh bersama, bukan sekadar menjadi penonton di tengah hiruk-pikuk industri besar.
Kunjungan kerja Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ke Maluku Utara memang penting. Namun pentingnya kunjungan tidak akan berarti tanpa komitmen politik dan moral untuk menata ulang arah pembangunan daerah ini. Maluku Utara tidak butuh janji, tetapi keberpihakan nyata.
Jika pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya menyejahterakan segelintir orang, maka kehadiran negara kehilangan makna dasarnya. Maka, kunjungan Gibran hanya akan diingat sebagai perjalanan singkat yang melewati pulau-pulau kaya, namun menutup mata terhadap kemiskinan yang masih membelit rakyatnya. (*)
Tinggalkan Balasan