Oleh: Lidya Lumatauw
Sekretaris Komisariat UMMU, GMKI Cabang Ternate
_________
BAHASA Inggris telah menjadi bagian penting dalam dunia global. Bukan hanya alat komunikasi, tapi juga sebagai simbol akses terhadap pendidikan, karier, dan informasi. Namun, di Indonesia pembelajaran Bahasa Inggris seringkali bersamaan dengan fenomena yang menghambat rasa malu yang berlebihan saat melakukann kesalahan. Fenomena ini bukan hanya soal kemampuan linguistik, tapi juga cerminan dari pola pikir sosial yang sudah mengakar.
Sebuah studiEnglish Proficiency Index (2022) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-81 dari 111 negara dalam hal kecakapan Bahasa Inggris. Posisi ini tergolong rendah untuk negara dengan populasi besar dan sistem pendidikan yang sudah memasukkan Bahasa Inggris sejak tingkat dasar. Salah satu penyebabnya bukan hanya keterbatasan fasilitas belajar, tetapi juga budaya takut salah yang kuat di kalangan pelajar dan masyarakat umum.
Banyak orang Indonesia enggan berbicara dalam Bahasa Inggris meskipun memahami struktur kalimat dan struktur kosakata dasar. Hal ini disebabkan oleh rasa khawatir akan diejek, dikoreksi secara keras, atau dianggap “sok” jika mencoba berbicara dalam bahasa asing. Rasa malu ini diperkuat oleh kebiasaan di lingkungan sekolah dan sosial yang menjadikan kesalahan sebagai bahan olok-olok, bukan sebagai bagian alami dari proses belajar.
Padahal dalam konteks pemerolehan bahasa kedua, kesalahan adalah proses yang wajar dan bahkan perlu. Linguist Stephen Krashen dalam teorinya tentang second language acquisition menyebutkan bahwa kesalahan adalah indikasi seseorang sedang mengalami proses belajar. Sayangnya, di Indonesia kesalahan sering di pandang sebagai kegagalan, bukan kemajuan.
Fenomena ini juga berkaitan erat dengan budaya “wajah” (face culture) di Asia, termasuk Indonesia, di mana menjaga citra diri di depan orang lain dianggap sangat penting. Akibatnya, banyak yang memilih diam daripada berisiko tampat “bodoh”.
Untuk mengatasi hal ini, pendekatan penndidikan harus berubah. Alih-alih hanya menekankan grammar dan hafalan, guru dan institusi pendidikan perlu menumbuhkan lingkungan belajar yang aman dan suportif. Penggunaan media seperti film, podcast, atau percakapan ringan bisa membantu meningkatkan kepercayaan diri tanpa tekanan formal.
Tantangan terbesar dalam penguasaan Bahasa Inggris di Indonesia bukan semata-mata soal metode belajar atau kurikulum, melainkan mentalitas kita terhadap kesalahan. Jika kita tidak mulai mengubah cara pandang terhadap proses belajar itu sendiri, maka sebaik apapun sistemnya, rasa takut akan terus menjadi penghalang. (*)
Tinggalkan Balasan