Oleh: Adeirma S. Mahmud

__________

KOHABITASI adalah praktik hidup bersama sebagai pasangan yang menjalin hubungan (seperti suami-istri) tanpa ikatan pernikahan atau biasa di Indonesia sebut “kumpul kebo”.

Belakangan ini, platform media sosial mulai menyoroti maraknya fenomena kohabitasi, setelah kisah tragis yang viral di Surabaya, Jawa Timur. Seorang pria berinisial AM (pelaku 24thn) membunuh dan memutilasi pacarnya TAS (korban 25thn) dengan ratusan potongan. Masalahnya yang memicu peristiwa itu terbilang sepele. Pelaku emosi karena tidak dibuka pintu, akhirnya berunjung pada kisah tragis yakni pembunuhan keji. Mirisnya lagi mereka hidup bersama tanpa ikatan pernikahan selama 5 tahun. (detik.com,08/09/2025)

Terungkap juga kasus serupa dimana seorang pria memutilasi pacarnya karena cemburu telah memasukan laki-laki lain ke dalam dalam kosannya, kemudian mayatnya dimasukkan ke dalam koper di daerah Ponorogo Trenggalek (detik.jatim 28 Januari 2025)

Juga terungkap seorang pria yang membunuh memutilasi kekasihnya di Banten yaitu emosi saat korban meminta untuk dinikahi. (detikNews Minggu, 20 Apr 2025)

Kasus di atas diperkirakan hanyalah fenomena gunung es. Kasus-kasus yang viral hanyalah sebagian kecil dari yang tampak dipermukaan, sementara yang luput dari berita banyak lagi.

Sesungguhnya kasus mutilasi yang berhubungan dengan kohabitasi bukan sekadar kasus pembunuhan. Namun, faktor kohabitasi menjadi faktor yang sangat krusial yang memicu terjadinya tindakan pembunuhan dan mutilasi.

Fenomena Kohabitasi di Maluku Utara

Tak terkecuali Maluku Utara, fenomena kohabitasi ini banyak juga terjadi. Baru baru ini di Kota Ternate, tepatnya di Kelurahan Akehuda, gebrakan yang dilakukan ibu lurah Akehuda bersama Babinsa merazia kos-kosan, terdapat 120 pasangan bukan suami istri tertangkap basah melakukan praktek kumpul kebo (dua orang yang tinggal bersama dalam satu rumah tangga tanpa ikatan pernikahan), ada yang sampai dinikahkan karena hamil di luar nikah. (Seribukata.id 18/9/2025)

Tahun lalu juga (2023) sebanyak 23 orang bukan suami istri diamankan petugas Satpol PP Ternate di salah satu losmen Kecamatan Ternate. (haliyora.id 8/6/2023)

Berbagai keluhan yang diperoleh media dari sejumlah warna istri dan suami yang mengabarkan pasangannya pergi serta direbut oleh yang bukan mahram. Hal ini akibat dampak terbukanya investasi asing yang bercokol di Weda Tengah, Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara. (Teropongmalut.com)

Lagi-lagi bahwa fenomena di atas belum semuanya terungkap, masih banyak yang belum terdapat. Bayangkan saja, kehidupan yang seperti ini jika dibiarkan dan di tunggu kasus tragis barulah kita pura-pura kaget?

Gaya Hidup Liberal

Fenomena kohabitasi yang berujung pada mutilasi ini menegaskan kondisi rusaknya hubungan sosial saat ini yang dapat berujung pada tindakan keji. Saat ini, kohabitasi atau hidup bersama tanpa ikatan resmi menjadi hal yang umum di kalangan generasi muda. Pria dan wanita tinggal bersama tanpa melalui pernikahan selama bertahun-tahun. Banyak yang sudah tidak lagi memperhatikan norma yang berlaku di dalam masyarakat, terutama Syari’at agama (Islam).

Mereka beralasan bahwa ingin lebih memahami satu sama lain sebelum menjalin hubungan yang lebih serius, serta mempertimbangkan aspek praktis seperti efisiensi pengeluaran hidup, contohnya biaya sewa, listrik, dan lain-lain. Dari kesepakatan ini, mereka kemudian memilih tempat tinggal bersama.

Gaya hidup liberal menuntun banyak orang untuk mengejar kesenangan semu bersama pasangannya, yang penting happy. Tidak lagi peduli halal haram. Maraknya praktik kohabitasi tidak hanya disebabkan oleh faktor individu dan lemahnya kontrol sosial, tapi juga oleh tatanan negara yang berlandaskan sekulerisme liberalisme.

Individu kehilangan jati dirinya, sementara masyarakat kehilangan fungsi utamanya mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kondisi ini semakin diperparah oleh lemahnya negara. Dalam Undang-undang KUHP,  pelaku kumpul kebo, tidak dapat dijerat hukum kecuali ada pengaduan dari pihak yang paling terdampak.

Ketika syari’at terkait zina telah dilanggar, pasangan yang melakukannya akan dengan mudah menabrak syari’at-syari’at, bahkan bisa sampai tega melakukan pembunuhan. Saat kasus pembunuhan dan mutilasi terjadi, barulah masyarakat dan negara heboh. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kasus ini perlahan mereda tanpa ada langkah nyata untuk menghentikan arus liberalisasi pergaulan. Akibatnya, peristiwa serupa akan berulang berbeda waktu, tempat, dan pelaku.

Negara menyelesaikan masalah tetapi tidak tepat. Tindakan negara baru dilakukan setelah terjadi pembunuhan dan mutilasi, yang itu tidak menyentuh akar permasalahannya yaitu praktik kumpul kebo. Akibatnya, kumpul kebo tetap menjadi sebuah budaya yang umum di masyarakat.

Jika Maluku Utara tidak bergerak cepat menyelesaikan persoalan-persoalan kumpul kebo ini, maka bahaya ke depan mengancam Maluku Utara, yaitu pembunuh. Lantas apakah siklus ini akan dibiarkan begitu saja? Tentu tidak. Kita butuh perubahan totalitas.

Islam Solusi Atas Kohabitasi

Sudah saatnya kita kembali menyadari: solusi hakiki tidak bisa lahir dari sistem yang membiarkan kebebasan tanpa kendali. Hanya dengan kembali pada aturan Islam secara menyeluruh, generasi akan terlindungi, keluarga akan terjaga, dan tragedi serupa tak lagi berulang.

Untuk mencegah tragedi serupa terulang, kita tidak bisa hanya mengandalkan imbauan moral. Diperlukan solusi sistemik yang komprehensif. Islam telah memberikan panduan yang jelas.

Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu dekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32).

Ayat ini tidak hanya melarang zina, tetapi juga melarang segala hal perbuatan yang mendekatkan diri pada zina, termasuk pacaran dan kohabitasi.

Sistem sosial dalam Islam berlandaskan pada tiga pilar utama:

  1. Ketakwaan Individu: Setiap insan dibekali pemahaman Islam yang kuat agar mampu menjauhi perbuatan haram seperti pacaran, perzinaan, dan pembunuhan.
  2. Kontrol sosial Masyarakat: Masyarakat memiliki peran aktif dalam saling menasihati untuk mencegah kemungkaran.
  3. Peran Negara: Negara memiliki peran sentral dalam menerapkan sistem Islam secara kaffah.

Negara berperan aktif membentuk rakyatnya melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam, menerapkan sistem pergaulan yang Islami, serta memberlakukan sanksi tegas (jarimah) bagi para pelaku kejahatan.

Dengan kembali pada sistem Islam secara kaffah, masyarakat akan memiliki benteng kokoh yang melindungi dari kerusakan moral. Islam tidak hanya memberikan aturan, tetapi juga membangun kesadaran dan ketakwaan yang akan membawa masyarakat pada pergaulan yang sehat dan bermartabat. Wallahu a’lam bishawab. (*)