Oleh: Syauki Subhan S. Lemasa
Mahasiswa FUAD IAIN Ternate
____________
SURAT terbuka dari Bapak Hilman Idrus kepada Putri Adrini A. Lolory patut disambut sebagai upaya membuka ruang dialog. Penulis meyakini, membalas tulisan dengan tulisan adalah kabar baik, bahwa literasi kita telah naik satu tingkat lebih tinggi, dan itu layak diapresiasi. Namun demikian, setiap ruang dialog hanya akan bermakna bila berlandaskan pada nalar yang jernih dan keberpihakan pada keadilan. Dalam hal ini, surat terbuka tersebut tampak memuat cara pandang yang problematik terhadap kekerasan seksual, ruang akademik, dan posisi korban dalam sistem pendidikan tinggi.
Argumen utama yang tampak dalam surat itu adalah bahwa peristiwa yang dimaksud “tidak terjadi di kampus”, sehingga tidak pantas dan tidak tepat jika dibawa ke ruang publik dengan tajuk “Tidak Ada Tempat Bagi Pelaku Kekerasan Seksual di Kampus.”
Pandangan ini, hemat penulis, keliru baik secara logika maupun etika. Kekerasan seksual tidak kehilangan makna atau urgensinya hanya karena terjadi di luar pagar kampus. Sebab kampus bukan sekadar ruang fisik, melainkan komunitas moral, kumpulan manusia yang terikat oleh tanggung jawab akademik dan sosial. Ketika seorang mahasiswa menjadi korban, apalagi pelakunya juga berasal dari lembaga yang sama, maka lembaga memiliki tanggung jawab moral dan institusional untuk memastikan keadilan serta pemulihan.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang menegaskan bahwa setiap institusi, termasuk lembaga pendidikan, berkewajiban mencegah, menangani, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan seksual. Tidak ada klausul dalam undang-undang ini yang membatasi tanggung jawab lembaga hanya pada wilayah “di dalam kampus”. Dengan demikian, batas fisik kampus tidak dapat dijadikan alasan untuk menafikan tanggung jawab moral dan hukum lembaga.
Surat tersebut juga menyinggung bahwa peristiwa itu merupakan “masalah personal antara pelaku dan korban.” Pandangan ini berpotensi menyesatkan, sebab kekerasan seksual bukan persoalan privat melainkan pelanggaran hak asasi manusia. Menyebutnya sekadar “urusan pribadi” sama saja dengan menutup mata terhadap ketimpangan kuasa, trauma, dan dampak sistemik yang dialami korban.
Sebagaimana ditegaskan dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, kekerasan seksual mencakup tindakan fisik, verbal, nonverbal, daring maupun luring, yang mengakibatkan seseorang kehilangan rasa aman, harga diri, dan kesempatan belajar secara setara. Peraturan ini secara eksplisit menempatkan tanggung jawab kampus untuk bertindak bahkan jika peristiwa terjadi di luar ruang kelas, selama melibatkan sivitas akademika. Maka, menyebut peristiwa semacam itu sebagai “masalah personal” berarti mengabaikan mandat regulasi nasional sekaligus nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika mahasiswa, dalam hal ini Putri Adrini melempar opini tentang kekerasan seksual di ruang publik dengan pena, hal itu seharusnya tidak ditafsir sebagai tindakan mencoreng nama lembaga, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan intelektual. Kampus yang sehat justru mendorong mahasiswanya untuk berpikir kritis, menyuarakan keprihatinan, dan membangun kesadaran sosial.
Tulisan mahasiswa bukan bentuk “penggiringan opini”, melainkan ekspresi kebebasan akademik sebagaimana dijamin dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang memberikan hak bagi sivitas akademika untuk menyampaikan pemikiran secara bebas dan bertanggung jawab. Jika suara mahasiswa dibungkam dengan dalih menjaga nama baik lembaga, maka yang rusak bukan citra lembaga, melainkan nurani akademiknya.
Surat tersebut juga menyinggung bahwa opini mahasiswa membentuk opini publik seolah-olah kampus tidak serius menangani kasus. Kecurigaan semacam ini menunjukkan prioritas yang perlu dikaji ulang, karena reputasi lembaga seakan ditempatkan di atas keselamatan dan pemulihan korban. Padahal, kampus tidak akan kehilangan kehormatannya karena dikritik, kampus justru akan kehilangan kehormatannya ketika menutup mata terhadap penderitaan sivitasnya sendiri. Lembaga yang terbuka terhadap kritik akan tumbuh lebih kuat dan dipercaya publik, sedangkan lembaga yang membungkam justru memperpanjang ketakutan dan ketidakpercayaan.
Tentu, kehati-hatian dalam menyampaikan informasi publik sangat penting agar tidak menimbulkan fitnah atau melanggar privasi. Namun, kehati-hatian tidak boleh berubah menjadi pembungkaman. Transparansi dan keberpihakan pada korban bisa berjalan seiring dengan tanggung jawab etis dalam menyampaikan informasi.
Bagian lain yang mengundang keprihatinan adalah kalimat “Jika kalian menyebar informasi di media sosial yang mencoreng nama lembaga, saya akan mengejar kalian untuk menuntut pertanggungjawaban.” Kalimat seperti ini, dilihat dari perspektif sosial, dapat dibaca sebagai bentuk tekanan simbolik yang menimbulkan rasa takut untuk berbicara. Dalam konteks kekerasan seksual, keberanian publik untuk bersuara justru menjadi kunci agar lembaga tidak abai dan proses penanganan berjalan transparan serta adil.
Intimidasi, dalam bentuk apa pun, terhadap korban maupun pembela korban hanya akan memperkuat budaya diam dan impunitas yang telah lama membayangi dunia pendidikan. Kampus semestinya menjadi ruang aman untuk berbicara, bukan tempat di mana keberanian dikriminalisasi. Benar bahwa setiap kampus memiliki kode etik dan mekanisme penyelesaian kasus, tetapi keadilan tidak lahir dari prosedur semata. Keadilan sejati lahir dari empati dan keberpihakan, dan keberpihakan itu selayaknya berpihak pada korban. Tanpa itu, birokrasi hanya akan menjadi pagar yang kaku tanpa jiwa.
Surat tersebut ditutup dengan kalimat “Lambang di dada jauh lebih berharga dari nomor di punggung.” Metafora ini memang indah, namun berpotensi dibaca sebagai penegasan bahwa reputasi lembaga harus dijaga di atas segalanya. Jika demikian tafsirnya, maka pandangan itu perlu dikritisi, sebab lambang di dada seharusnya melambangkan nilai, dan nilai tertinggi dari pendidikan adalah kebenaran dan kemanusiaan. Nama baik lembaga hanya bermakna ketika lembaga itu berdiri tegak di sisi korban, bukan bersembunyi di balik tembok administrasi.
Pada akhirnya, mahasiswa yang menulis opini tentang kekerasan seksual tidak sedang melawan lembaga, melainkan sedang mengingatkan lembaga akan tanggung jawab moralnya. Kritik bukan tanda permusuhan, tetapi bentuk cinta paling jujur terhadap dunia pendidikan. Tentu, tidak arif jika tulisan ini dan tulisan sejenis yang sudah dan akan lahir dari tangan-tangan kritis mahasiswa dianggap sebagai upaya mencemar nama baik lembaga tempat daya intelek kita ditimang dan diasuh. Perlu diingat, ukuran kemuliaan sebuah kampus bukan pada seberapa indah visinya di spanduk, melainkan pada seberapa berani ia melindungi yang paling rentan di dalamnya.
Dan untuk itu, mari kita tegaskan berulang-ulang, dengan nalar yang jernih dan hati yang tegas “Tidak Ada Tempat Bagi Pelaku Kekerasan Seksual” di mana pun, dan atas nama siapa pun. (*)
Tinggalkan Balasan