Oleh: Diana Anggraeini
Aktivis Remaja Tidore

__________

SEBANYAK 295 anak di tetapkan sebagai tersangka kerusuhan demo pada 25-31 Agustus 2025 di berbagai wilayah Indonesia. Tersangka ditetapkan karena terdapat dasar 246 laporan polisi yang tersebar di 15 polda.

Polisi diingatkan potensi pelanggaran di berbagai wilayah Indonesia, namun  komnas HAM mengatakan ada potensi pelanggaran HAM dalam menetapkan anak-anak sebagai tersangka. Ketua komnas HAM Anis Hidayah mengatakan, polisi harus mengkaji kembali, apakah dengan menetapkan tersangka ini sudah sesuai dengan hukum pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dilansir dari kompas.com (26/9/2025). SPPA ini dilakukan agar polisi tidak melakukan kemungkinan pelanggaran HAM.

Sistem yang mendorong

Kini, Gen Z mulai sadar akan politik saat ini, dan mulai berani menyuarakan suara mereka. Pada rentang Agustus sampai awal September di negara kita, ribuan massa turun ke jalan untuk melakukan aksi protes terhadap pemerintah dalam rangka memprotes kenaikan tunjangan DPR. Aksi unjuk rasa Indonesia akhirnya meluas ke berbagai negara. Seperti Nepal, Prancis, Timor Leste dan yang terbaru Maroko. Situasi ini menunjukkan gejolak sosial dan tekanan terhadap elit politik yang dinilai gagal dalam merespons aspirasi rakyat.

Sayangnya, aksi unjuk rasa di Indonesia sebanyak 295 anak ditetapkan sebagai tersangka. Di tengah generasi muda yang sadar akan politik justru dibungkam dengan dalih anarkis oleh penguasa.

Dalam sistem demokrasi pilarnya adalah kebebasan berpendapat. Namun, ini berbanding terbalik dengan realita yang ada. Penguasa hanya mendengarkan suara yang sejalan dan tidak mengacam kedudukan mereka. Rakyat akan diberikan suaranya ketika ia mendukung penguasa itu. Tapi ketika rakya mengkritisi sesuatu, ruang kebebasan itu akan dipersempit, distigma negatif.

Sistem demokrasi yang katanya memberikan ruang sebebas-bebasnya untuk berpendapat, faktanya membungkam pihak yang beda. Dari sinilah terbukti bahwa sistem demokrasi adalah sistem absurd. Secara teori sistem ini antikritik, namun faktanya sistem ini menjawab kritik dengan represif.

Hal ini wajar terjadi di sistem demokrasi karena berdiri di atas akidah sekularisme yang menjadikan akal manusia sebagai tolak ukur kebenaran. Bagaimana mungkin sistem yang menjadikan akal manusia sebgai tolak ukur kebenaran akan memberikan dapat menciptakan keadilan dan bebas dari kepentingan.

Islam memandang

Pemuda adalah tonggak perubahan. Di tangan merekalah arah sebuah peradaban ditentukan apakah menuju kejayaan atau kehancuran. Karena itu, kesadaran politik dan perjuangan pemuda harus diarahkan kepada Islam kaffah, agar energi mereka tidak hanya menjadi luapan emosi, tetapi terarah untuk memperjuangkan ridha Allah.

Dalam tinta emas sejarah Islam, banyak pemuda tercatat sebagai pengukir peradaban. Muhammad Al-Fatih, yang dikenal sebagai Mehmed II, berhasil menaklukkan Konstantinopel pusat perdagangan dunia saat itu pada usia yang  terbilang muda, yaitu 21 tahun. Begitu juga Thariq bin Ziyad, panglima muda yang membuka jalan bagi peradaban Islam di Andalusia (Spanyol) dengan keberanian dan strategi cemerlang.

Kemenangan para pemuda ini tidak terlepas dari dakwah Rasulullah ﷺ. Beliau membentuk generasi yang berani, berilmu, dan berakhlak. Dari rahim dakwah itu lahir pemimpin-pemimpin muda yang mampu mengubah arah sejarah dunia. Rasulullah ﷺ juga mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk keberanian untuk mengoreksi penguasa yang zalim. Maka, pemuda Islam harus mengambil peran, tidak hanya sebagai pewaris peradaban, tetapi juga sebagai pengawal kebenaran dan keadilan.

Perlu juga disadari oleh gen z bahwa perubahan hakiki pada suatu kaum tidak hanya didasarkan pada perubahan (pergantian) pemimpin. Sekadar pergantian pemimpin tidak menjamin kondisi negeri ini berubah menjadi lebih baik. Sosok pemimpin yang memiliki profil dan rekam jejak baik di dalam sistem rusak seperti demokrasi akan tetap membawa kerusakan karena demokrasi sendiri adalah sistem yang rusak dan merusak. Ini terbukti dari keadaan sejumlah negeri muslim yang bahkan makin memburuk meski telah berganti-ganti pemimpin. Ini juga merupakan bukti nyata bahwa pergantian pemimpin tidak memberikan perubahan yang berarti, kecuali sedikit saja. (*)