Oleh: Qatrunnada Salsabila
________
DI tengah derasnya arus teknologi dan media sosial, ternyata secara paradoks menghadirkan “kedekatan semu”—orang-orang bisa saling terhubung setiap waktu, namun tetap merasa sendiri. Banyak yang tampak aktif di berbagai platform digital, mengunggah aktivitas, mengomentari tren, atau bahkan menjadi konten kreator, namun di balik layar, mereka justru dilanda kesepian dan keterasingan. Inilah yang disebut fenomena “Lonely in the Crowd“, kesepian di tengah keramaian digital. Sebuah riset oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY yang menyoroti maraknya ekspresi kesepian di TikTok yang dialami generasi Z, riset tersebut juga mengungkap bahwa konten-konten di media seperti TikTok dapat menciptakan hiperrealitas—yakni realitas buatan yang tampak lebih nyata dan memikat daripada kenyataan hidup. Akibatnya, banyak pengguna yang tenggelam dalam ilusi interaksi, tanpa menyadari dampak psikologis dan sosial yang menghantui mereka.
Sosial Media dan Gen Z
Generasi Z kerap disebut sebagai generasi paling kesepian. Dalam sebuah riset yang dikutip oleh Psychology Today, tercatat bahwa 73% Gen Z merasa terisolasi atau kesepian. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti dominasi dunia digital yang mengurangi interaksi langsung, tekanan sosial, hingga harapan yang tinggi terhadap relasi yang sempurna. Tak sedikit konten-konten di media sosial yang diproduksi dengan merekayasa realita, namun narasi tersebut ternyata tak jarang dikonsumsi dan dibenarkan oleh sebagian orang. Sering kali juga konten yang disajikan dipenuhi dengan standar hidup yang tidak realistis, sehingga mendorong banyak individu untuk membandingkan diri mereka dengan orang lain. Akibatnya, tidak sedikit yang mengalami stres, rasa rendah diri, hingga gangguan kepercayaan diri. Ditambah lagi, kebiasaan melakukan scroll tanpa henti di media sosial dapat menyebabkan kelelahan mental yang signifikan. Aktivitas ini tidak hanya menguras energi psikologis, tetapi juga menjauhkan individu dari interaksi sosial di dunia nyata.
Fenomena ini tidak bisa sekadar dipandang sebagai masalah teknis semata, seperti kurangnya literasi digital atau manajemen waktu bermain gadget. Lebih dalam, ini adalah buah dari sistem hidup sekuler liberal yang melahirkan masyarakat individualistik, minim makna, dan terjebak dalam gemerlap palsu media sosial. Industri kapitalis memanfaatkan platform digital sebagai ladang cuan tanpa memikirkan dampak psikologisnya. Platform media sosial didesain bukan untuk mempererat silaturahmi, tapi untuk mempertahankan atensi demi keuntungan iklan dan data. Maka jangan heran algoritma media sosial memicu perasaan tidak aman, FOMO (Fear of Missing Out) dan kompetisi citra sosial. Akhirnya mereka tumbuh dalam bayang-bayang ekspektasi digital dan krisis identitas. Potensi produktif mereka terkikis oleh waktu yang tersita di layar, dan jiwa mereka menjadi lemah karena minimnya interaksi sosial nyata dan pembinaan spiritual. Komunikasi dalam keluarga yang kian dingin, setiap orang sibuk dengan gawai masing-masing. Empati dan kepedulian menurun, karena orang lebih fokus pada algoritma ketimbang kondisi sekitar. Ini adalah bahaya laten yang, jika dibiarkan, maka konstruksi nilai-nilai sosial akan hilang.
Sosial Media Dalam Islam
Generasi muda yang terjebak dalam fenomena lonely in the crowd bukan hanya membawa dampak buruk bagi dirinya tapi juga bagi masyarakat. Perlu diingat bahwa mereka disebut sebagai agent of chance bukan tanpa makna, potensi yang dimiliki generasi muda sebagai aset bagi peradaban dan menjadi harapan dalam menyelesaikan problematika kehidupan di tengah masyarakat.
Islam memandang interaksi sosial sebagai bagian penting dari pembentukan karakter dan akhlak. Dalam Islam, hubungan antarmanusia dibingkai oleh akhlak, tanggung jawab, dan tujuan ukhrawi. Maka, pengelolaan media sosial pun seharusnya diarahkan untuk mendekatkan manusia pada kebaikan, bukan justru menjatuhkan mereka dalam keterasingan yang menyakitkan. Oleh karena itu, pentingnya membangun kesadaran masyarakat bahwa sosial media bukan sekadar alat komunikasi dan eksistensi namun juga berkontribusi membentuk pemahaman dan tingkah laku seseorang.
Islam memandang sosial media sebagai sarana yang netral, tergantung pada cara penggunaannya. Jika digunakan untuk kebaikan, menyebarkan ilmu dan amar ma’ruf nahi munkar, menjalin silaturahmi, dan hal bermanfaat lainnya maka ia akan menjadi ladang amal jariyah. Sebaliknya jika dimanfaatkan untuk menyebarkan hoax, gosip, mencaci, adu domba, menampilkan kemaksiatan dll, maka akan mengantarkan pada dosa dan kehancuran moral. Namun paham sekuler liberalisme yang menjamin kebebasan berekspresi telah berpengaruh besar dalam penggunaan sosial media hari ini. Dengan dalih kebebasan berekspresi, konten-konten diproduksi tanpa memandang batasan nilai-nilai agama dan sosial, yang penting viral dan menghasilkan cuan. Ratusan bahkan ribuan konten-konten tak bermutu dan tak mendidik berperan memengaruhi kehidupan generasi muda. Oleh karena itu, tidak cukup solusi pada ranah individu saja seperti edukasi bagi individi untuk bersosial media dengan sehat, Negara harus hadir untuk melindungi generasi dari bahaya laten media digital, melalui aturan dan kebijakan yang ditujukan untuk membentuk generasi yang cemerlang, bukan hanya demi meraih keuntungan ekonomi. Negara harus memiliki visi membangun masyarakat yang sehat secara mental, kuat secara spiritual, dan kokoh secara sosial. Teknologi dikelola bukan sekadar sebagai industri, tapi sebagai alat edukasi dan penguat peradaban. Generasi muda tidak hanya diajarkan bagaimana menggunakan media sosial, tapi juga dibina untuk menjadi generasi yang sadar peran, produktif, dan peduli terhadap urusan masyarakat. Wallahu a’lam bishawab. (*)
Tinggalkan Balasan