Tivanusantara – Ada yang beda dengan pemilihan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Maluku Utara di akhir 2025 ini. Perbedaan yang terlihat itu bukan jauh lebih baik dari sebelumnya, justru sebaliknya: lebih menurun kualitasnya. Tampak tidak ada ‘gairah’ di tubuh HIPMI selama proses musyarawah daerah (Musda) berlangsung. Yang dilihat hanya proses-proses administrasi organisasi.

Pengurus HIPMI harus sadar bahwa ekspektasi publik terbilang besar. Dari jauh-jauh hari publik menanti sebuah gagasan besar nan berkualitas. Mungkin sudah banyak dari pengagum HIPMI yang kecewa setelah melihat ‘garingnya’ proses musyawarah. Pada dua kandidat yang bertarung, (pun) tidak jelas apa ide dan gagasannya. Tapi, jangan salahkan dua kandidat ini, karena (mungkin) keduanya hanya menyesuaikan dengan skema yang sudah disusun pengurus yang tak lama lagi demisioner. Dua kandidat yang dimaksud adalah Rio C. Pawane dan Firdaus Amir.

Musyawarah kali ini tidak mencerminkan proses sebuah organisasi pengusaha muda. Lalulintas musyawarah yang diatur pengurus (panitia) jauh dari kata bermutu. Yang penting tanggung jawab menjalankan musyawarah bisa jalan dan akan selesai serta pengurus periode sekarang mengakhiri jabatan tanpa ada masalah. Dan, mungkin juga, yang penting banyak bendera HIPMI berjejeran di tepi jalan serta di lokasi agenda pencabutan nomor urut kandidat, termasuk di dalam ruangan itu banyak orang mengenakan kemeja putih, sehingga sudah menjadi symbol bahwa HIPMI sedang melakukan sebuah kegiatan, (mungkin) begitu yang disepakati pengurus pada Rapat Badan Pengurus Lengkap (RBPL).

Atau mungkin juga pengurus HIPMI beranggapan: mengakhiri masa jabatan dengan baik adalah tanpa ada masalah keuangan. Dengan begitu, pengurus juga menganggap tidak penting mewariskan sebuah diskursus positif untuk pengurusan HIPMI selanjutnya. Lantaran tidak ada warisan ide dan gagasan cemerlang dari pengurus yang sekarang, maka berdampak pula pada dua kandidat yang sementara melakukan kegiatan kampanye. Perhatikan saja, tidak ada ide dan gagasan yang spesifik, menarik dan tidak ada gambaran cemerlang.

Tidak ada juga tagline atau slogan yang menjadi symbol untuk dapat dipersepsi positif oleh publik. Yang ada hanya statemen janji layaknya seorang calon kepala daerah. Karena begitu kondisinya, maka bukan tidak mungkin kalau publik akan berargumen dengan persepsinya masing-masing. Bisa saja publik menduga kalau Firdaus terlihat begitu tegang dan terbebani, karena mungkin di belakangnya ada banyak orang yang sudah menyiapkan agenda bisnis tertentu. Bukan untuk HIPMI, tapi untuk manuver pribadi dan kelompok.

Begitu juga ke Rio. Karena tidak ada ciri khas selama menjadi calon Ketua HIPMI, bisa saja kalau publik menganggap kalau ia hanya menjadikan HIPMI untuk mencari kapasitas dan membentuk ketokohan pribadi. Baik Rio atau Firdaus harus menyadari bahwa kapasitas dan ketokohan akan mengalir dengan sendirinya dari ide dan gagasan yang terwujud untuk banyak orang. Semoga HIPMI cepat berbenah. Semoga juga pengurus yang barunya nanti punya kemauan dan mampu membawa organisasi ini miliki nilai tawar di tingkat lokal serta nasional. (*)