Oleh: Putri Adrini A Lolory
Kabid Pemberdayaan Perempuan Dema Fakultas Ushuluddin IAIN Ternate
___________________
KAMPUS seharusnya menjadi ruang aman, bukan ladang kekerasan. Dugaan kasus pelecehan seksual yang melibatkan Ketua DEMA FAKULTAS FEBI IAIN Ternate adalah alarm serius akan kerentanan korban di tengah institusi yang semestinya melindungi mereka. Kami mengecam keras tindakan yang dilaporkan, dan menyerukan agar proses klarifikasi yang dijanjikan Senin mendatang tidak menjadi panggung pengaburan fakta, melainkan awal dari pertanggungjawaban moral, etik, dan hukum.
Perlu ditegaskan bahwa pelecehan seksual adalah bentuk kekerasan yang melanggar hak asasi manusia dan hak atas rasa aman setiap warga negara. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya.” Dugaan pelecehan seksual secara langsung mencederai hak tersebut.
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memberikan kerangka hukum tegas: pelecehan seksual, baik verbal maupun nonverbal, adalah tindak pidana. Pasal 5 UU TPKS mengkategorikan pelecehan seksual sebagai bentuk kekerasan seksual yang dapat diusut secara pidana, meski tanpa hubungan fisik. Artinya, sekecil apapun tindakan yang merendahkan martabat korban harus diproses secara adil dan tidak ditoleransi.
Mereka yang hari ini duduk di kursi pimpinan organisasi mahasiswa, apalagi tingkat tertinggi di kampus, seharusnya menjadi pelindung nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender. Jika justru menjadi pelaku, maka secara moral dan sosial, mereka telah kehilangan legitimasi. Apalagi jika terbukti bersalah, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri, menjalani proses hukum, serta dikeluarkan dari semua forum representatif kampus.
Kepada pihak kampus, kami mendesak agar penanganan kasus ini tidak berakhir di ruang klarifikasi informal. Bentuk satuan tugas independen, berikan pendampingan kepada korban, dan libatkan lembaga-lembaga yang kompeten dalam penanganan kekerasan seksual. IAIN Ternate harus menunjukkan bahwa ia berpihak pada korban, bukan pada jabatan.
Penting juga untuk menegaskan bahwa publik memiliki hak untuk bersuara dan mengawal kasus ini. Kebebasan berpendapat dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Selama dilakukan secara proporsional, berdasarkan fakta dan niat membela keadilan, kritik adalah bagian dari kontrol sosial yang sehat. Jangan ada intimidasi, jangan ada pembungkaman.
Hari ini kita bicara lebih dari sekadar dugaan tindakan seorang ketua organisasi. Kita bicara soal wajah kampus yang ingin kita jaga bersama: ruang yang aman, adil, dan bermartabat.
Kekerasan seksual tidak bisa ditoleransi, siapa pun pelakunya. Jangan biarkan kampus dibungkam oleh mereka yang menyalahgunakan kekuasaan.
Penutup:
Sebagai perempuan, keberanian untuk bersuara bukan hanya langkah awal menuntut keadilan dan melindungi sesama, tetapi juga menyalakan api harapan bagi mereka yang masih terdiam dalam kesunyian. Suara kita adalah kekuatan nyata yang mampu meruntuhkan tembok diam, membuka jalan bagi perubahan, dan menulis ulang sejarah di mana perempuan berdiri tegak, didengar, dan dihormati. Jangan biarkan ketakutan membungkam kita, sebab dengan keberanian itulah perubahan sejati dimulai. (*)
Tinggalkan Balasan