Oleh: Muhamad Asri Adende
Mahasiswa Ilmu Politik UMMU
____________________________
Ketika Fiksi Lebih Jujur dari Realitas
Simbol politik, kekuasaan dan perlawanan yang nyaring. Jika ke realitas, “One Piece meruntuhkan Negeri Konoha” bukan sekadar fantasi lintas semesta anime, tetapi sindiran tajam: rakyat akan selalu punya cara untuk meruntuhkan negara yang gagal melindungi mereka.
Indonesia hari ini tak ubahnya Konoha: karena penuh hierarki, oligarki dan militerisasi yang dibungkus dengan jargon stabilitas, sementara rakyat dengan segala keterbatasannya adalah kru topi jerami berantakan tidak terorganisir secara rapi, tetapi dibalik ada solidaritas dan keberanian. Pertanyaannya, apakah kita akan terus menjadi ninja yang tunduk pada sistem, atau bajak laut yang memilih kebebasan?
Konoha digambarkan sebagai desa yang kokoh, punya sistem militer (Shinobi, punya pemimpin (hokage),dan memiliki legitimasi moral. Jika dilihat lebih dalam, Konoha dibangun di atas kontradiksi mengingat ia mempertahankan stabilitas dengan mengorbankan rakyat kecil, banyak klan di diskriminasi (Seperti Uchiha), banyak Shinobi yang diperlukan sebagai pion perang.
Bukankah ini mirip dengan Indonesia, kita dipaksa tunduk pada simbol negara, tetapi nyawa rakyat kecil tak pernah dihitung. Negara terus berdiri di atas jeritan mereka yang tersingkir: petani, nelayan, buruh, hingga mahasiswa dengan perlawanan.
Konoha hanyalah wajah lain dari negara modern kita, stabil di luar, rapuh di dalam; megah dalam jargon, busuk dalam kenyataan.
Luffy dan Kru Topi Jerami: Alegori Rakyat Kecil
Luffy dan kru topi jerami menolak tunduk pada sistem. Mereka melawan pemerintah dunia, tenryuubito, dan kekuasaan yang korup. Apa yang menggerakkan mereka? Sederhana saja: solidaritas dan keberanian Luffy akan mengajar siapapun yang menyakiti krunya, meski itu berarti menantang seluruh angkatan laut dunia.
Di Indonesia, “topi jerami” itu adalah rakyat biasa. Mereka yang sehari-hari bergelut dengan kemiskinan yang menolak tambang merampas tanahnya, yang turun ke jalan menuntut DPR mendengar suara rakyat, mereka tidak punya senjata, tidak punya kekuatan politik, tetapi ingat mereka punya keberanian dan itulah yang ditakuti penguasa.
Nyawa paling murah di Negeri Konoha, coba kawan bayangkan saja Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas dilindas rantis brimob dalam aksi demonstrasi. Ia bukan aktivis bersuara lantang, bukan provokator; ia hanyalah seorang anak muda bekerja demi keluarga, tetapi dalam sekejap nyawanya hilang.
Di sinilah kita melihat wajah asli Konoha bernama Indonesia, negara tidak segan mengorbankan rakyat kecil demi mempertahankan kekuasaan. Affan adalah dari ribuan rakyat yang menjadi korban kekerasan aparat bebal.
Andai Luffy melihat ini, ia akan berkata: “nyawa kru lebih berharga daripada seribu hukum buatan penguasa!” dan benar adanya nyawa rakyat jauh lebih berharga daripada seribu pasal UU yang lahir dari DPR busuk.
Coba tengok di Halmahera Timur, 11 warga Maba Sangaji yang menolak tambang ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Mereka tidak melakukan kejahatan, mereka hanya mempertahankan tanah, hutan, dan air ialah hal paling mendasar untuk hidup, tetapi negara berpihak pada tambang bukan rakyat.
Ini potret wajah Konoha, rakyat kecil diposisikan sebagai musuh, sementara elit dan korporasi dipeluk erat. Ironisnya, penjara jadi hadiah bagi rakyat yang berani melawan.
Namun justru pada titik inilah menyadari bahwa rakyat adalah kru topi jerami sejati; mereka tahu akan kalah, tetapi berani melawan kekuasaan pongah.
Bubarkan DPR, Jeritan dari Lautan
Seruan “Bubarkan DPR” per hari ini bukan sekadar emosi jalanan, namun itu adalah jeritan kolektif. DPR yang seharusnya menjadi rumah rakyat telah berubah pasar gelap politik, mereka sibuk memperdagangkan pasal, menggadaikan suara rakyat dan membangun benteng untuk kepentingan elit.
DPR adalah Konoha agak lain, gedung megah penuh simbol, tetapi bobrok di dalam dan seruan ‘Bubarkan DPR’ mirip dengan pekikan pemerintah dunia; “pemerintah busuk tidak bisa diperbaiki, harus dihancurkan!” dan rakyat, seperti kru topi jerami, punya hak penuh untuk menuntut perubahan tersebut.
Jika mencermati Indonesia akhir-akhir ini lewat kacamata Miriam Budiardjo, ia mengingatkan bahwa inti demokrasi adalah partisipasi rakyat. Adapun Joseph Schumpeter menyebut Demokrasi bukan sekadar memilih elite, tetapi mekanisme rakyat untuk mengganti mereka yang gagal, Roseuau bahkan lebih keras: kedaulatan ada di tangan rakyat dan negara mengkhianati kontrak sosial maka rakyat berhak menggulingkannya.
Mari bayangkan sejenak, Luffy dan kru topi jerami berlabuh di senayan, gedung DPR dengan kubah hijau itu diserbu. Luffy menghajar politisi yang sibuk menghitung uang, Zoro membabat meja-meja rapat, Sanji menendang para anggota dewan yang tidur saat sidang, sementara Nami mencatat berapa banyak anggaran dikorupsi.
Yakin dan percaya saja, DPR akan runtuh pada waktunya dan itu terbukti belakangan ini, satu pukulan gomu–gomu no pistol sudah cukup membuat rakyat sadar: gedung berdiri bak istana namun kosong dari keadilan.
Terpisah, “One Piece meruntuhkan Negeri Konoha” adalah satire tetapi juga ramalan. Negara yang menindas rakyatnya akan runtuh, cepat atau lambat dan ingat dalam ingatan. Affan Kurniawan, 11 warga Maba Sangaji Halmahera Timur hingga jeritan bubarkan DPR dan problem Indonesia lainnya adalah tanda-tanda bahwa rakyat mulai lelah.
Konoha di dunia fiksi, bisa runtuh oleh keberanian kru topi jerami, maka Indonesia pun berubah oleh keberanian rakyatnya. Dan jangan lupa, rakyat punya hak menuntut keadilan, bahkan jika itu berarti menghancurkan Konoha bernama Indonesia.
Sementara, menurut Helber Blumer dalam symbolic interactionism, perspective and method ialah “manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimilikinya, bagi mereka”.
Jika simbol negara seperti aparat, DPR, pembangunan, atau hukum tak lagi bermakna sebagai pelindung rakyat, maka rakyat akan bertindak sesuai makna baru yang mereka ciptakan, itulah terjadi di Indonesia saat ini dan rakyat akan menafsir ulang negara bagian dari mesin penindas, bukan pelindung.
Blumer juga menegaskan, bahwa makna lahir dari interaksi sosia. Maka pengalaman rakyat dengan aparat represif, DPR yang korup, dan kebijakan tambang merampas tanah melahirkan simbol baru: negara adalah musuh, interprestasi tersebut kemudian memodifikasi perilaku rakyat dari diam menjadi melawan, dari tunduk menjadi menggugat sekaligus memberontak.
Seperti kata Blumer, makna selalu dinegosiasikan ulang dan rakyat seperti “kru topi jerami”, sedang menciptakan makna baru tentang demokrasi: bukan milik elite melainkan milik mereka yang berani menembus kejahatan tirani. (*)
Tinggalkan Balasan