Tivanusantara – Aktivis Maluku Utara tak henti-hentinya menyuarakan pembebasan 11 warga Maba Sangaji, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim). 11 orang ini ditangkap polisi pada beberapa waktu lalu ketika mempertahankan tanah adat yang digarap salah satu perusahaan tambang. Kini, 11 warga tersebut telah berstatus terdakwa, sementara menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Kota Tidore Kepulauan.
Bersamaan dengan paripurna di gedung DPRD Maluku Utara, Sofifi, ratusan aktivis menggelar aksi dan menyuarakan pembebasan 11 warga Maba Sangaji itu. Selain tuntutan ini, massa aksi juga menyampaikan aspirasi lainnya. Setelah beberapa menit berorasi, massa aksi ditemui Gubernur Sherly Tjoanda, Kapolda Irjen (Pol) Waris Agono, Danrem 152 Baabullah, Danlanal Ternate dan sejumlah anggota DPRD Provinsi Maluku Utara.
Merespons tuntutan aktivis dalam demonstrasi itu, Kapolda Irjen (Pol) Waris Agono menegaskan, 11 orang tersebut sudah berstatus sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Tidore. Prosesnya sidang sedang berjalan sehingga Polda tidak memiliki kewenangan untuk membebaskan dan itu merupakan kewenangan hakim. “Hakim itu independen dan tidak bisa dicampuri,” ujar Waris.
Jenderal bintang dua itu mengakui 11 warga Maba Sangaji tersebut sudah mengajukan proses hukum secara bertahap dengan mengajukan praperadilan terhadap penyidik dan proses hukum praperadilan tidak diterima oleh majelis hakim dan sekarang melalui proses peradilan.
“Kalau kita ingin membela, membela di praperadilan, dan kalau membantu, kita akan bantu. Karena negara kita adalah negara hukum, bukan berdasarkan kekuasaan, sehingga proses hukum ini harus kita ikuti,” jelasnya.
Selain pembebasan 11 warga Maba Sangaji, massa aksi juga menyampaikan terkait dengan peraturan daerah (perda) yang mengatur terkait dengan tanah adat. Kapolda menyatakan, terkait Perda Adat sudah termuat dalam putusan Mahkamah Konstitusi 35 yang memiliki tiga poin.
Tiga poin itu, lanjut Waris, adalah hutan negara, hutan hak dan hutan adat. Dalam tiga poin tersebut juga ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Di mana, hutan adat harus ditetapkan dalam perda oleh kepala daerah baik bupati maupun wali kota dengan keputusan gubernur.
“Sampai sekarang di 10 kabupaten dan kota belum ada perda itu, dan saya sudah mendukung di beberapa kabupaten baik di Halmahera Timur, Halmahera Utara dan Halmahera Barat, karena tingkat provinsi baik gubernur dan DPRD hanya tinggal melakukan pengesahan saja,” pungkas Waris.
Usai menyampaikan beberapa poin, massa aksi kembali membubarkan diri dengan tertib dan dikawal oleh personel Polresta Tidore yang dibantu oleh personel Dit Samapta dan Brimob Polda Maluku Utara. (sal/xel)
Tinggalkan Balasan