Oleh: Sufrin Ridja, SH., MH

Praktisi Hukum

________________

AGENDA rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Maluku Utara ke 35, dan ke 36 masa persidangan ke III tahun sidang 2024/2025 pada hari Kamis tanggal 7 Agustus 2025, salah satu anggota (DPRD) Provinsi Maluku Utara yakni Dr. Haryadi, telah mengingatkan kembali Gubernur Maluku Utara tentang Progres Tim Independen Mitigasi dalam identifikasi dampak lingkungan di teluk Weda, atas aktivitas Industri Pertambangan, artinya sebuah aspirasi tidak terlupakan di ingatan para anggota dewan, ini menunjukan bahwa lembaga legislatif masih berada pada fungsi pengawasannya sebagai legitimasi aktif untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Lalu bagaimana tindak lanjut dari Tim Independen Mitigasi tersebut, apakah Gubernur sudah mendapatkan informasi progres dari Tim dimaksud ataukah Gubernur dan jajarannya juga mengabaikan hal tersebut.

Bahwa sudah bersekitar dua bulan atau tiga bulan yang lalu, isu Logam Berat dengan adanya penelitian dari Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako sejak dirilis pada tanggal 26 Mei 2025 yang mencuat di publik sehingga membuat kekhawatiran bagi masyarakat Halmahera Tengah terkhusus masyarakat di teluk Weda, namun sampai kini belum ada laporan hasil dari tim yang dimaksud. Masalah lingkungan dan masalah kemanusiaan adalah hal yang utama untuk diatasi, penting untuk dicegah dan perlu adanya perlindungan. Sebab masalah tersebut sudah terjadi di berbagai negara.

Perlu ditegaskan lagi bahwa aktivitas industri pertambangan di Weda, Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, sangat memprihatinkan kondisi kesehatan bagi masyarakat, namun pemerintah diam untuk mencegah, kemunculan isu dengan adanya hasil penelitian dari Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako menemukan air dan laut di Weda tercemar logam berat. Anehnya sebuah hasil penelitian tersebut belum ditanggapi secara serius oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat, justru sibuk mengekspansi industri pertambangan di wilayah Republik Indonesia terkhusus Indonesia Timur dan termasuk Maluku Utara, tanpa mencegah dampak kerusakan lingkungan dan ancaman kesehatan masyarakat, tanpa memperketat regulasi serta tanpa pengawasan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Bahwa konsepnya adalah dimana ada aktivitas industri pertambangan di situ ada dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan, tidak ada konsep dan teori di dunia ini yang menjelaskan bahwa aktivitas industri pertambangan tidak merusak lingkungan, maka dari itu pemerintah provinsi Maluku Utara harus menanggapi secara serius karena ini nyata bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan pertambangan yang turut terancam kesehatannya. Logam berat muncul dari akibat aktivitas industri pertambangan untuk mengukur indikator pencemaran air sungai. Sebagimana dalam artikelnya (Thomas Triadi Putranto) bahwa pencemaran logam berat merkuri (Hg) pada air tanah adalah disebabkan oleh bahan buangan padat, bahan bungan organik, bahan bungan anorganik, bahan buangan bahan makanan, bahan buangan cairan berminyak, bahan buangan zat kimia dan bahan buangan berupa panas. Sungai Ake Jira dan sungai Sagea dulunya menjadi penghidupan masyarakat setempat, air sungai tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan utama, seperti memasak dan mandi, akan tetapi terlihat berubah warna menjadi cokelat dan bahkan menurut penelitian di atas bahwa ada tanda-tanda kemunculan logam berat yang bisa mengancam kesehatan masyarakat Lelilef dan bahkan masyarakat Halmahera Tengah akibat sedimentasi dari aktivitas pertambangan nikel, kasus logam berat bukan kasus biasa, tetapi kasus berat yang harus ditangani secara serius oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bukankah kasus logam berat sudah terjadi di beberapa negara?

Kasus keracunan logam berat menjadi noda kelam dalam sejarah perkembangan industri di berbagai belahan dunia. Dari Jepang hingga Peru, dampak destruktif dari pencemaran merkuri, timbal, arsenik, dan kadmium telah meninggalkan luka mendalam bagi kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan. Peristiwa-peristiwa ini menjadi pengingat pahit akan bahaya yang mengintai di balik kemajuan yang mengabaikan aspek lingkungan.

Beberapa kasus di beberapa negara salah satunya kasus paling memilukan adalah Penyakit Minamata di Jepang, sebuah artikel Gol Ismia dalam sejarah penyakit Minamata bahwa terjadi sekitar tahun 1950, banyak warga keluhkan penyakit merkuri yang menewaskan warga hampir 2000 orang, kemudian pada 1 Maret 1956 salah satu dokter di Jepang mempublikasikan laporan kasus epidemi yang menyerang sistem saraf pusat. Tragedi ini disebabkan oleh pembuangan limbah metilmerkuri oleh pabrik kimia Chisso Corporation ke Teluk Minamata. Akumulasi merkuri pada ikan yang menjadi santapan utama warga setempat menyebabkan ribuan orang menderita kerusakan saraf parah, kelumpuhan, cacat lahir, bahkan kematian. Penyakit Minamata menjadi simbol global dari dampak mengerikan pencemaran industri.

Di benua Amerika, Peru menghadapi krisis kesehatan akibat aktivitas pertambangan yang masif. Ribuan warga pribumi di provinsi Espinar dilaporkan mengalami keracunan berbagai jenis logam berat seperti arsenik, kadmium, merkuri, dan mangan. Logam-logam beracun ini mencemari sumber air dan makanan mereka, memicu berbagai masalah kesehatan kronis. Kasus ini menyoroti konflik antara kepentingan ekonomi dari industri ekstraktif dengan hak atas kesehatan dan lingkungan hidup masyarakat adat.

Kabar mengenai penyakit misterius juga sempat menggemparkan India. Ratusan orang di Eluru, negara bagian Andhra Pradesh, dilarikan ke rumah sakit dengan gejala kejang-kejang, mual, dan kehilangan kesadaran. Investigasi awal menunjukkan adanya kandungan logam berat seperti timbal dan nikel dalam darah para pasien, yang diduga berasal dari neurotoksin. Peristiwa ini menggarisbawahi kompleksitas dalam melacak sumber dan dampak paparan logam berat di lingkungan yang padat penduduk.

Peristiwa-peristiwa di berbagai negara ini memiliki benang merah yang sama, kegagalan dalam mengelola limbah industri dan kurangnya penegakan regulasi lingkungan yang ketat. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya terbatas pada penderitaan fisik dan kerusakan lingkungan, tetapi juga memicu krisis sosial dan ekonomi yang berkepanjangan. Kisah-kisah tragis ini menjadi pelajaran penting bagi dunia untuk memprioritaskan pembangunan berkelanjutan yang menempatkan kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan di atas segalanya. Dalam firman Allah SWT. Surat Ar-Rum ayat 41:

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (*)