Tivanusantara – Bappeda Provinsi Maluku Utara dinilai lemah dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Lemahnya policy translation Bappeda Provinsi Maluku Utara ini terlihat dari RPJMD yang masih bersifat top-down, minim inovasi, dan kurang mengakomodasi keragaman spasial.

Padahal, penerjemahan visi-misi kepala daerah seharusnya menembus kebutuhan dasar wilayah dengan tantangan unik seperti Kabupaten Pulau Taliabu, bukan berhenti pada target makro semata.

Idealnya, RPJMD provinsi menjadi connecting framework antara program provinsi dan kabupaten/kota. Namun, tanpa sinkronisasi berbasis data, tantangan unik Taliabu, konektivitas, logistik, dan infrastruktur tidak terakomodasi, sehingga RPJMD berisiko menjadi dokumen formalitas tanpa relevansi strategis.

Kebijakan tidak cukup sekadar membagi alokasi anggaran secara proporsional berdasarkan populasi, tetapi juga mempertimbangkan biaya layanan publik yang lebih tinggi di daerah terluar, kebutuhan konektivitas antar-pulau, serta kerentanan terhadap bencana.

“Tanpa paradigm shift ini, RPJMD akan terus bias ke wilayah-wilayah yang lebih mudah dijangkau dan memiliki daya tawar politik yang kuat,” ujar pengamat perencanaan kota dan pembangunan daerah, Rusydan Arby, Selasa (5/8).

Menurut Rusydan, mungkin saja Bappeda Provinsi Maluku Utara masih menggunakan paradigma pembagian anggaran yang seragam, seolah biaya pembangunan di Taliabu sama dengan di Sofifi atau Ternate.

Padahal, membangun satu kilometer jalan di Taliabu memerlukan biaya logistik yang jauh lebih tinggi karena material harus diangkut dari luar pulau. Akibatnya, banyak proyek infrastruktur di Taliabu berhenti di tahap perencanaan karena realisasi anggaran tidak mencukupi.

“Jika Bappeda tidak mengubah kerangka pikir dan metodologi perencanaan untuk mengakomodasi variabel geografis, Taliabu akan terus berada di pinggiran pembangunan. Akhirnya, kelemahan ini dapat dilihat sebagai bentuk kegagalan institutional learning dalam birokrasi perencanaan daerah,” kata mahasiswa doktor The Universitas of Alabama, Amerika.

Bappeda seharusnya belajar dari RPJMD periode sebelumnya, mengevaluasi gap antara rencana dan realisasi, serta mengidentifikasi wilayah yang tertinggal akibat desain kebijakan yang tidak adaptif. Taliabu dan wilayah kepulauan lainnya membutuhkan rencana yang tidak hanya “tercermin” dalam dokumen, tetapi benar-benar diikuti dengan langkah operasional yang terukur, indikator kinerja yang jelas, dan dukungan lintas sektor.

“Tanpa perbaikan ini, RPJMD akan terus menjadi sekadar ritual lima tahunan yang gagal menjadi instrumen perubahan,” pungkasnya. (nox/ask)