Oleh: Riyanto Basahona
Ketua Forum Kajian dan Publikasi Ilmiah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ternate

_______________

DISKUSI mengenai masuknya 10 izin usaha pertambangan (IUP) ke Pulau Mangoli beberapa waktu terakhir menjadi isu hangat di kalangan masyarakat. Tak hanya di media sosial dan grup-grup WhatsApp, tetapi juga ramai dibicarakan di warung-warung kopi, di pesisir, bahkan hingga ke kebun. Isu ini menggugah keresahan kolektif yang semakin hari terasa nyata, karena ancaman itu bukan lagi di depan mata, tapi sudah mengetuk pintu.

Pulau Mangoli, bagi kami yang lahir dan tumbuh di dalamnya, adalah rumah yang sejak lama memberi kehidupan. Dari lautnya yang kaya ikan dasar, dari kebunnya yang menghasilkan kelapa, cengkih, pisang, dan kasbi (singkong). Semua itu bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga jantung kehidupan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat. Mangoli bukan hanya ruang geografis, ia adalah identitas.

Pulau ini memang pernah disentuh industri ekstraktif, terutama sektor kehutanan. Beberapa perusahaan kayu seperti Barito pernah beroperasi di wilayah ini. Memang, pasca-operasi ada upaya rehabilitasi atau penanaman kembali. Walaupun tidak mengembalikan keadaan seperti semula, setidaknya ada niat untuk memulihkan. Tapi dampak ekologis yang ditinggalkan masih terasa hingga hari ini. Banjir musiman, abrasi pantai yang terus menggerus desa-desa pesisir, dan potensi longsor yang kian meningkat saat musim hujan.

Kini, luka itu belum sembuh, tapi Pulau Mangoli kembali dihadapkan pada potensi luka baru. Sepuluh izin usaha pertambangan yang telah masuk akan menjadi awal dari proses eksploitatif berskala besar. Apakah kita akan kembali menanggung risiko demi keuntungan jangka pendek?

Sebagai catatan, Pulau Mangoli memiliki luas wilayah sekitar 2.142,48 km², terletak di koordinat 1.8°LS 125.8°BT, berada di antara Pulau Taliabu dan Sanana. Luas ini tentu sangat kecil jika dibandingkan dengan Halmahera atau Kepulauan Obi, yang selama ini menjadi pusat pertambangan besar di Maluku Utara. Maka wajar jika masyarakat mempertanyakan: bagaimana mungkin pulau sekecil ini dapat menanggung dampak dari 10 IUP sekaligus?

Tambang memang sering datang membawa janji: membuka lapangan pekerjaan, membangun infrastruktur, dan meningkatkan pendapatan daerah. Tapi dari berbagai studi dan pengalaman daerah lain di Indonesia, kita tahu bahwa sering kali yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat adat kehilangan ruang hidupnya, pencemaran air dan tanah meningkat, dan pada akhirnya, yang tersisa hanya lubang tambang serta konflik horizontal yang tak kunjung selesai.

Apakah kita siap menghadapi semua itu?

Pulau Mangoli hari ini masih hijau. Hutan dan lautnya masih memberi. Tapi jika IUP itu benar-benar dijalankan selama 30 tahun ke depan, maka generasi kita selanjutnya hanya akan mengenal Mangoli dari cerita. Mereka mungkin tidak akan melihat pantai yang bersih, sungai yang jernih, atau suara burung-burung di pagi hari. Mereka hanya akan membaca atau mendengar bahwa “dulu di Mangoli ada pohon kelapa yang banyak, ada ikan yang mudah ditangkap, ada air kali yang jernih.”

Karena itu, generasi Mangoli hari ini punya satu tugas penting, menulis. Menulis bukan hanya sebagai bentuk dokumentasi, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan. Kita perlu menulis tentang hutan, tentang laut, tentang kebun, tentang kampung-kampung, tentang orang-orang tua yang bertani dan melaut dengan hati. Tulisan-tulisan itu akan menjadi saksi sejarah, bahwa saat ruang hidup kami terancam, kami tidak diam.

Saya percaya, pembangunan bukanlah musuh. Tetapi pembangunan yang hanya menguntungkan segelintir elite dan menyisakan bencana bagi masyarakat lokal adalah bentuk ketidakadilan. Jika pembangunan benar-benar berpihak pada rakyat, maka suara rakyat harus menjadi pertimbangan utama, bukan sekadar formalitas dalam dokumen AMDAL atau sosialisasi sepihak.

Tulislah Pulau Mangoli 

Tulislah selagi ia masih bernapas, selagi desiran anginnya masih bisa kita dengar, selagi kebunnya masih bisa kita tanami, dan lautnya masih bisa kita arungi. Agar jika suatu saat dunia lupa, tulisan-tulisan kitalah yang mengingatkan bahwa Pulau Mangoli pernah ada dan pernah dijaga dengan cinta oleh anak-anaknya sendiri. (*)