Tivanusantara – Proyek pembangunan Rumah Sakit Pratama di Kabupaten Halmahera Barat kembali menuai sorotan. Tokoh masyarakat Halbar, Asdian Taluke, menyampaikan keprihatinannya atas berbagai kejanggalan dalam pelaksanaan proyek yang menelan anggaran sekitar Rp 42 miliar tersebut.
Menurut Asdian, hingga pertengahan Juli 2025, progres pembangunan rumah sakit belum mencapai 50 persen. Padahal anggaran sudah dikucurkan dalam jumlah besar. Ia menilai proyek ini tidak diawasi secara ketat, baik dari internal pemerintah daerah maupun lembaga pengawas eksternal.
“Proyek ini milik pemerintah, tapi anehnya sejak peletakan batu pertama tidak dilakukan oleh Pemda, melainkan pemilik lahan. Ini menjadi pertanyaan besar,” ujar Asdian, Selasa (15/7).
Proyek ini dikerjakan PT Makayasa Mandala Putra. Dalam pekerjaannya justru mangkrak di tengah jalan. Asdian juga menyoroti dugaan maladministrasi, karena pembangunan dilakukan di lokasi yang tidak sesuai dengan ketentuan awal.
Lebih lanjut, Politisi Gerindra ini mengungkapkan adanya potensi kerugian negara yang cukup besar jika proyek ini diaudit oleh lembaga independen.
“Pertama lahan belum dibayar oleh pemda, lalu terjadi dugaan penggelembungan harga material atas pemindahan lokasi. Bahkan alat kesehatan senilai belasan miliar rupiah disimpan di rumah pemilik lahan, Ko Tiu, karena bangunan rumah sakit belum rampung,” tandasnya.
Asdian menyebut adanya ketidaksesuaian informasi terkait anggaran alat kesehatan. Berdasarkan pengakuan pemilik lahan, anggaran yang digunakan sekitar Rp 13 miliar, sedangkan dari salah satu dinas disebut hanya Rp 7 miliar. Hal ini perlu diusut tuntas oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan Tinggi Maluku Utara.
Selain itu. Pemerintah daerah juga menjanjikan ke pemilik lahan menyewa gudang miliknya untuk penampungan alkes yang dalam setahun nilainya mencapai 30 juta. Ia juga mempertanyakan pernyataan Bupati Halmahera Barat yang menyebutkan proyek akan dilanjutkan setelah audit. Hal ini tentu belum menjawab sumber anggaran baru yang akan digunakan.
“Kalau benar diaudit, apakah auditnya transparan? Apakah BPKP berani mewawancarai pemilik lahan dan mengungkap kenapa lahan belum dibayar, padahal pembangunan sudah berjalan?,” tuturnya.
Tokoh masyarakat lainnya, Frangki Luang juga turut menyoroti proyek RS Pratama Halbar ini. Kata dia, proyek ini menyimpan banyak persoalan sejak awal. Sehingga itu, Kejaksaan Tinggi Maluku Utara maupun Kejaksaan Agung RI segera turun tangan.
“Persoalan ini menyangkut hak masyarakat, penggunaan uang negara, dan dugaan kuat unsur pidana. Jika tidak diseriusi, ini bisa menjadi preseden buruk. Kami meminta APH bertindak sesuai dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, memberantas korupsi tanpa pandang bulu,” pintanya.
Ia juga menyebut bahwa persoalan lahan sampai saat ini belum terselesaikan, dan pemilik lahan merasa dirugikan karena pembayaran tidak sesuai dengan kesepakatan awal.
“Ini bukan hanya soal proyek mangkrak, tapi juga soal hak atas tanah yang dilanggar. Bupati juga harus bertanggung jawab atas kekacauan administrasi ini,” tegas Frangki.
Masyarakat berharap agar aparat penegak hukum benar-benar serius mengusut tuntas persoalan ini demi transparansi, keadilan, dan mencegah kerugian negara yang lebih besar.
Ia juga menyingung peran anggota DPRD Halbar yang sangat lemah dalam melakukan fungsi pengawasan.
“Anggota DPRD 25 orang saat ini hanya diam, padahal DPRD sendiri punya kewajiban merepresentasikan suara rakyat, tapi nyatanya mereka sangat lemah,” pungkasnya. (adi/ask)
Tinggalkan Balasan