Oleh: Mohammad Eko Duhumona    

________________

HUTAN tidak hanya berfungsi sebagai ruang lingkungan, tetapi juga sebagai tempat kehidupan dan jati diri masyarakat. Namun, saat warga berusaha untuk melindunginya dari perluasan pertambangan, hukuman yang mereka terima adalah penjara. Ini adalah gambaran penderitaan yang diakibatkan oleh kebijakan publik yang mengabaikan keadilan.

Hal ini mengingatkan kita akan kejadian serupa di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, di mana masyarakat adat yang menolak pengembangan tambang nikel milik PT Virtue Dragon Nickel Industry juga menghadapi tindakan kriminalisasi dan kekerasan dari aparat. Penanganan kasus tersebut mendapatkan kritik yang luas dari lembaga hak asasi manusia dan organisasi lingkungan internasional, sehingga mendorong pemerintah setempat untuk mengevaluasi situasi dan menciptakan cara dialog yang lebih transparan.

Ada juga kasus warga Wadas 2022 penduduk dianggap menghambat rencana penambangan batu andesit unuk pembangunan bendungan bener, aparat memakai metode yang menekan dan menakuti, berdasarkan UU minerba untuk menjaga proyek nasional yang dianggap vital.

Dan kasus serupa terjadi di Provinsi Maluku Utara, atas penangkapan 27 orang dan penetapan 11 individu sebagai tersangka dengan dugaan membawa senjata tajam serta menghambat operasi tambang bukanlah langkah penegakan hukum yang tepat. Sebaliknya, hal ini merupakan bentuk kriminalisasi yang melanggar hak asasi manusia, sebagaimana diingatkan dalam keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang mengakui keberadaan komunitas adat serta hak-hak mereka terhadap tanah adat.

Secara hukum, perlindungan untuk komunitas adat dan hak atas tanah mereka diatur melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengenai kehutanan, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Di samping itu, prinsip persetujuan konsesi bebas, awal, dan informati (FPIC) yang terdapat dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2018 mensyaratkan adanya persetujuan dari masyarakat adat sebelum proyek pertambangan dimulai di area mereka. Namun, di Halmahera Timur, prinsip tersebut diabaikan secara konsisten.

Idealnya, pemerintah provinsi dan bupati seharusnya menjadi pelindung utama bagai hak masyarakat adat serta pemelihara lingkungan. Namun, dalam situasi warga Maba Sangaji di Halmahera Timur, bukti realitas menunjukan adanya kegagalan mereka, alih-alih memberikan perlindungan, pemerintah daerah malah menjadikan warga yang membela hak mereka atas hutan adat seluas 700 hektare yang telah dirusak oleh PT Position sebagai tersangka.

Kebijakan ini menunjukkan adanya kelemahan signifikan dalam kebijakan publik dan pengelolaan sumber daya alam di Maluku Utara, pemerintah setempat mengabaikan prinsip konsesi bebas, awal, dan informati (FPIC) yang seharusnya menjadi syarat sebelum izin untuk operasi pertambangan diberikan, partisipasi masyarakat secara langsung dan persetujuan mereka seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan, tetapi hal ini diabaikan dalam kasus Maba Sangaji Halmahera Timur.

Seperti yang disampaikan oleh Prof. Budi Santoso, pengamat kebijakan publik, menyatakan, “Kegagalan pemerintah daerah dalam melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan cenderung berpihak pada korporasi tambang mencerminkan sistem yang perlu direformasi untuk memastikan keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis”.

Landasan hukum yang sering digunakan oleh pihak perusahaan seperti, pasal 162 UU minerba melarang menghalangi kegiatan pertambangan yang berizin, pasal 170 KHUP kekerasan terhadap barang/fasilitas, UU ITE apabila warga/aktivis lingkungan jika menyuarakan protes di media sosial dan pasal 160 KUHP tentang penghasutan, inilah landasan-landasan hukum yamg kerap kali kita jumpai di berbagai kasus kriminalisasi atas penolakan tanah yang dirampas oleh industri ekstraktif.

Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur perlu mengambil pelajaran dari situasi di Konawe Selatan dan segera menghentikan tindakan kriminalisasi yang hanya akan memperburuk konflik antara masyarakat dan kerusakan lingkungan. Pemerintah sebaiknya menciptakan kesempatan untuk berdialog dengan komunitas adat serta memastikan bahwa penerapan hukum dilakukan dengan adil, tanpa keberpihakan kepada perusahaan.

Jika tidak, maka pemerintah provinsi dan pembaharu tidak hanya akan mengingkari janji konstitusi dan aturan lingkungan, tetapi juga menciptakan dampak negatif yang mendalam bagi demokrasi serta kesinambungan alam di Indonesia. Kebijakan yang merugikan ini perlu dihentikan dengan cepat agar kerusakan yang lebih besar dan pertikaian yang berkepanjangan tidak merusak masa depan generasi berikutnya.

Pemerintah daerah dan pusat perlu segera melaksanakan pemeriksaan menyeluruh terhadap seluruh izin usaha tambang yang berada di wilayah adat. Izin yang diterbitkan tanpa melalui proses FPIC atau yang terbukti mengganggu hak-hak masyarakat harus dicabut secara permanen, bukan hanya ditunda. (*)