Oleh: Riyanto Basahona
_____________________
PROVINSI Maluku Utara dikenal sebagai daerah yang kaya akan nilai-nilai keislaman. Berdasarkan data resmi dari Kementerian Agama RI, pada tahun 2023 tercatat sebayak 1.020.356 penduduk Maluku Utara yang beragama Islam. Presentasi sekitar 74,50% dari total populasi. Di beberapa wilayah seperti Kota Ternate dan Kota Tidore, persentase umat Islam bahkan melampaui 90 persen. Fakta ini memperlihatkan bahwa ajaran Islam memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial masyarakat.
Namun ironisnya, nilai-nilai Islam yang menjadi fondasi kultural masyarakat justru sering kali diabaikan dalam praktik ketenagakerjaan. Banyak pekerja Muslimah di Maluku Utara menghadapi dilema serius ketika memasuki dunia kerja. Mereka dihadapkan pada pilihan antara mempertahankan prinsip agama untuk menutup aurat atau menyesuaikan diri dengan aturan perusahaan yang mewajibkan pakaian tertentu yang bertentangan dengan syariat.
Beberapa kasus memperlihatkan bagaimana perusahaan melarang penggunaan rok panjang dan mewajibkan celana ketat sebagai bagian dari seragam kerja. Lebih parah lagi, ada yang secara terang-terangan melarang penggunaan jilbab, atau setidaknya menciptakan suasana kerja yang membuat pengguna jilbab merasa tidak diterima. Bagi mereka yang menggunakan jilbab syar’i atau bahkan cadar, tantangan menjadi lebih berat: sebagian dari mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan, karena penampilan dianggap tidak sesuai dengan “standar visual” perusahaan.
Fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa diskriminasi terhadap ekspresi keagamaan masih terjadi, bahkan di daerah yang notabene mayoritas penduduknya Muslim. Bukan hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang tidak inklusif dan bertentangan dengan semangat konstitusi negara. Padahal, UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2) menegaskan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Artinya, negara melalui lembaga-lembaganya, termasuk Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap pekerja agar dapat menjalankan ajaran agamanya secara utuh, termasuk dalam urusan berpakaian. Ketika pekerja Muslimah dipaksa meninggalkan prinsip berpakaian syar’i demi memenuhi aturan internal perusahaan, maka negara telah gagal menjalankan fungsinya dalam menjamin kebebasan beragama di ruang publik.
Sayangnya, hingga saat ini, belum ada aturan tegas dari Disnaker Provinsi Maluku Utara yang mengatur secara eksplisit hak pekerja untuk berpakaian sesuai dengan keyakinannya. Ini adalah kekosongan regulasi yang berdampak langsung pada kehidupan ribuan Muslimah di sektor formal maupun informal. Ketidakhadiran negara dalam bentuk regulasi ini seakan memberi ruang bagi perusahaan untuk semena-mena menyusun aturan kerja yang tidak menghormati nilai-nilai keagamaan.
Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah dengan mayoritas Muslim seharusnya memiliki kesadaran untuk menghormati kultur masyarakat lokal. Hal ini bukan hanya soal toleransi, tetapi juga bagian dari etika bisnis yang berkelanjutan. Menyesuaikan kebijakan internal perusahaan dengan nilai-nilai keagamaan setempat merupakan bentuk penghargaan terhadap konteks sosial tempat mereka mencari keuntungan.
Selain itu, perlu ditegaskan bahwa pakaian syar’i tidak bertentangan dengan profesionalisme kerja. Banyak negara mayoritas Muslim, bahkan negara-negara sekuler seperti Inggris dan Kanada, telah memberikan ruang yang besar bagi pekerja Muslim untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan agamanya. Mereka memahami bahwa identitas keagamaan bukanlah penghalang bagi kinerja, tetapi justru bagian dari kebebasan individu yang harus dijaga.
Di sisi lain, para pekerja Muslimah yang berkomitmen menjaga auratnya sesungguhnya menunjukkan loyalitas yang tinggi terhadap prinsip hidupnya. Mereka bukan hanya bekerja demi materi, tetapi juga berupaya tetap istiqamah dalam menjalankan ajaran agama. Semangat seperti ini semestinya dihargai, bukan ditekan.
Oleh karena itu, sudah waktunya Disnaker Provinsi Maluku Utara mengambil langkah tegas dan konkret dengan menyusun regulasi perlindungan pekerja Muslimah dalam berpakaian, terutama dalam menjamin hak mereka untuk menutup aurat dengan sempurna. Regulasi tersebut dapat berupa peraturan gubernur, surat edaran resmi, atau bahkan usulan peraturan daerah (Perda) yang mengatur secara eksplisit bahwa pekerja perempuan Muslim memiliki hak penuh untuk mengenakan pakaian sesuai syariat, seperti rok panjang, jilbab, bahkan cadar, selama tidak mengganggu tugas dan keselamatan kerja. Regulasi semacam ini bukan hanya memberikan perlindungan hukum, tetapi juga menjadi bentuk pengakuan negara terhadap keragaman identitas dan keyakinan warga.
Jika dunia kerja terus dibiarkan menjadi ruang yang menekan ekspresi keagamaan, maka akan semakin banyak generasi muda Muslim yang merasa tercerabut dari identitasnya sendiri saat memasuki dunia profesional. Ini bisa menimbulkan alienasi sosial dan melemahkan komitmen terhadap ajaran agama yang seharusnya menjadi fondasi moral dan etika kerja. Apalagi di daerah seperti Maluku Utara yang secara historis dikenal sebagai kawasan religius dan beradab.
Perlu diingat bahwa ketertiban kerja dan profesionalisme tidak harus dibayar dengan mengorbankan prinsip iman. Banyak sektor pekerjaan yang sebenarnya tidak memiliki alasan rasional untuk melarang pakaian syar’i, tetapi tetap melakukannya atas dasar “citra perusahaan” atau “standar penampilan”. Standar-standar ini pada akhirnya menjadi tirani estetika yang diskriminatif, yang meminggirkan kelompok tertentu demi kenyamanan korporat.
Tanggung jawab atas perlindungan pekerja tidak hanya berada di tangan Disnaker. Pemerintah daerah, DPRD provinsi, tokoh agama, dan lembaga keagamaan juga harus bersinergi mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak kepada umat. Pendidikan keagamaan yang diajarkan di sekolah-sekolah dan madrasah tentang pentingnya menutup aurat harus menemukan ruang aktualisasi dalam dunia nyata, termasuk di tempat kerja.
Lebih jauh lagi, permasalahan ini tidak boleh dianggap remeh atau hanya diselesaikan secara kasuistik. Diskriminasi terhadap ekspresi keagamaan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia, dan setiap bentuknya harus dilawan dengan regulasi, pendidikan, dan advokasi. Setiap Muslimah berhak merasa aman, nyaman, dan bermartabat saat bekerja tanpa harus menanggalkan jilbab atau cadarnya.
Sudah saatnya Maluku Utara menjadi contoh provinsi yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan sosial dan nilai-nilai Islam dalam sistem ketenagakerjaan. Dengan mayoritas penduduk yang memeluk Islam, sangat wajar jika provinsi ini memiliki aturan ketenagakerjaan yang ramah terhadap syariat. Ini bukan bentuk pemaksaan agama, melainkan perlindungan terhadap keyakinan mayoritas, yang juga tidak bertentangan dengan semangat kebhinekaan.
Kesadaran kolektif juga harus dibangun dari masyarakat. Konsumen, pelanggan, dan publik luas juga seharusnya mulai mengapresiasi perusahaan-perusahaan yang memberikan ruang bagi pekerjanya untuk menjalankan ajaran agama secara penuh. Perusahaan yang adil dalam hal ini layak mendapat dukungan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial.
Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang melarang jilbab atau memaksa pekerja Muslimah berpakaian tidak sesuai syariat perlu diberi peringatan tegas, bahkan sanksi, jika perlu. Negara tidak boleh membiarkan nilai-nilai agama diinjak-injak atas nama efisiensi atau gaya kerja global yang mengabaikan konteks lokal dan identitas keagamaan.
Dengan komitmen bersama, dunia kerja di Maluku Utara dapat menjadi ruang yang adil, beretika, dan selaras dengan jati diri masyarakatnya. Pekerja Muslimah tidak lagi harus memilih antara bekerja atau melanggar syariat, karena negara hadir melindungi mereka. Dan pada akhirnya, keadilan ini akan menciptakan harmoni sosial, produktivitas yang tinggi, serta keberkahan dalam dunia kerja. (*)
Tinggalkan Balasan